Aksi unjuk rasa di depan rektorat (LPM Kultura/Ajun) |
Pasalnya, aksi damai ini digelar untuk mendesak Rektor Dr. Husen Alting agar mencabut Surat Keputusan (SK) Rektor nomor: 1860/UN44/KP/2019 tentang pemberhentian studi atau drop out empat mahasiswa.
Mahasiswa menilai, SK tersebut timpang dan cacat secara prosedur. Ke empat mahasiswa yang di DO tanpa ada surat panggilan terlebih dahulu.
Namun, aksi yang berencana untuk menduduki rektorat Unkhair tersebut tak membuahkan hasil. Mahasiswa dari berbagai Universitas itu dibubarkan secara paksa oleh Satuan Pengamanan (Satpam) atau security kampus.
Pembubaran itu bermula saat seorang mahasiswa berorasi di pelataran rektorat. Ia dihalangi security. Sontak sorokan mahasisiwa yang melihat kejadian itu. Cekcok sempat terjadi namun berhasil dibubarkan sekira pukul 01.30 WIT.
Saat pembubaran dan massa mahasiswa membubarkan diri dikeruman orang (Lpmkultura/Ajun) |
Mahasiswa kemudian lari mengamankan diri. Beberapa diantaranya dipukul dan diseret. Represifitas itu memakan beberapa korban dipihak mahasiswa. Ada yang luka-luka dan memar dibagian tubuh.
Salah satu korban represif security, Taufik Masmin, mahasiswa asal Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) menjerit kesakitan saat di bawa ke Fakultas Kedokteran untuk dirawat.
Ia mengaku dikeroyok oleh oknum Satpam kampus saat aksi ricuh. Taufik menuturkan bahwa, saat itu ia menegur seorang satpam untuk tidak melakukan kekerasan terhadap mahasiswa, namun mahasiswa Program Studi Kelautan tersebut justru dipukul. Kepalanya berdarah, bibirnya lebam, bagian rahang kanan sakit.
"Saya bilang ke security, 'pak jangan terlalu kasar-kasar' terus dia siku (pukul) saya pe sini," ujar Taufik sembari menunjukan bagian yang terkena siku.
Saat Taufik hendak berbalik menuju massa aksi, seorang Satpam kembali memukulnya. Tak terima, Taufik sempat melakukan perlawanan. "Ada seorang satpam yang kembali memukuli saya, kemudian saya balas menendangnya,” terang mahasiswa semester tiga itu.
Ia kemudian dilarikan di Fakultas Kedokteran dan mendapat perawatan di bagian kepalanya.
Pun seorang crew media kampus, LPM Mantra, Fadli terkena lemparan batu. Bagian dagunya berdarah. ia juga dilarikan ke Fakultas Kedokteran untuk mendapat perawatan medis bersama Taufik.
Selain Taufik, ada juga Nisa. Perempuan yang ikut aksi unjuk rasa itu pun mengalami luka-luka di bagian lutut dan tangan. Ia mengaku dikejar oleh Satpam hingga jatuh tersungkur dari tangga. Bagian lengannya memar-memar.
Tindakan represif keamanan kampus itu dibenarkan oleh Kordinator SPDK, Fandi Pomsa. Setelah diidentifikasi, kata Fandi ada sekitar 7 orang mahasiswa yang terkena represifitas.
Tindakan itu, kata Fandi mencederai hak mahasiswa menyampaikan pendapat. Ia bersama rekan-rekannya akan melaporkan oknum yang melakukan represifitas itu kepada Polres Ternate.
“Kami juga sudah memiliki pendamping hukum dan akan menyurat ke Unkhair untuk melakukan pertemuan guna membahas SK DO tersebut” tambahnya sembari menjelaskan bahwa mereka juga akan melapor ke PTUN.
SPDK juga menuntut agar kampus tidak mengintervensi kepentingan militerisme serta menuntut Rektor Unkhair untuk tidak membatasi hak politik mahasiswa di luar kampus.
Seperti diberitakan sebelumnya, SK Drop Out itu terlampir nama ke empat mahasiswa, diantaranya, Arbi M. Nur dan Ikra S. Alkatiri masing-masing dari Program Studi (Prodi) Kimia dan PPKN Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), Fahyudi Kabir dari Prodi Elektro Fakultas Teknik dan Fahrul Abdullah Prodi Kehutanan Fakultas Pertanian.
Selain alasan melakukan gerakan yang mengancam integritas bangsa, Arbi dan tiga kawannya diidentifikasi telah melanggar beberapa aturan yang berkaitan dengan Misi Universitas Khairun, yakni Statuta Universitas Khairun pasal 82 ayat (3), Peraturan Akademik Pasal 32 ayat (3), serta melanggar Kode Etik Mahasiswa Universitas Khairun Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 13.
Aksi yang dimaksud ialah refleksi hari lahirnya embrio Bangsa West Papua yang jatuh pada tanggal 1 Desember 1961 atau 58 tahun silam dan aksi penuntutan dibebaskan 6 (enam) Tahanan Politik (Tapol) Papua, yang dilakukan oleh aktivis dari Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP) dan Komunitas Mahasiswa Papua (KMP), Senin (2/11/2019) lalu di depan kampus UMMU.
Aksi tersebut berujung pada pemukulan, pembubaran dan penangkapan. 10 (sepuluh) aktivis kemudian diamankan Polres setelah massa dibubarkan secara paksa oleh aparat gabungan TNI-Polri. Data diri atau identitas ke sepuluh mahasiswa itu dikantongi oleh Polres, yang setelahnya diberikan kepada pihak kampus tempat aktivis mahasiswa menempu studi.
Reporter: Firman dan Man
Editor: Ajun
Salah satu korban represif security, Taufik Masmin, mahasiswa asal Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) menjerit kesakitan saat di bawa ke Fakultas Kedokteran untuk dirawat.
Ia mengaku dikeroyok oleh oknum Satpam kampus saat aksi ricuh. Taufik menuturkan bahwa, saat itu ia menegur seorang satpam untuk tidak melakukan kekerasan terhadap mahasiswa, namun mahasiswa Program Studi Kelautan tersebut justru dipukul. Kepalanya berdarah, bibirnya lebam, bagian rahang kanan sakit.
"Saya bilang ke security, 'pak jangan terlalu kasar-kasar' terus dia siku (pukul) saya pe sini," ujar Taufik sembari menunjukan bagian yang terkena siku.
Saat Taufik hendak berbalik menuju massa aksi, seorang Satpam kembali memukulnya. Tak terima, Taufik sempat melakukan perlawanan. "Ada seorang satpam yang kembali memukuli saya, kemudian saya balas menendangnya,” terang mahasiswa semester tiga itu.
Ia kemudian dilarikan di Fakultas Kedokteran dan mendapat perawatan di bagian kepalanya.
Pun seorang crew media kampus, LPM Mantra, Fadli terkena lemparan batu. Bagian dagunya berdarah. ia juga dilarikan ke Fakultas Kedokteran untuk mendapat perawatan medis bersama Taufik.
Selain Taufik, ada juga Nisa. Perempuan yang ikut aksi unjuk rasa itu pun mengalami luka-luka di bagian lutut dan tangan. Ia mengaku dikejar oleh Satpam hingga jatuh tersungkur dari tangga. Bagian lengannya memar-memar.
Tindakan represif keamanan kampus itu dibenarkan oleh Kordinator SPDK, Fandi Pomsa. Setelah diidentifikasi, kata Fandi ada sekitar 7 orang mahasiswa yang terkena represifitas.
Tindakan itu, kata Fandi mencederai hak mahasiswa menyampaikan pendapat. Ia bersama rekan-rekannya akan melaporkan oknum yang melakukan represifitas itu kepada Polres Ternate.
“Kami juga sudah memiliki pendamping hukum dan akan menyurat ke Unkhair untuk melakukan pertemuan guna membahas SK DO tersebut” tambahnya sembari menjelaskan bahwa mereka juga akan melapor ke PTUN.
SPDK juga menuntut agar kampus tidak mengintervensi kepentingan militerisme serta menuntut Rektor Unkhair untuk tidak membatasi hak politik mahasiswa di luar kampus.
Seperti diberitakan sebelumnya, SK Drop Out itu terlampir nama ke empat mahasiswa, diantaranya, Arbi M. Nur dan Ikra S. Alkatiri masing-masing dari Program Studi (Prodi) Kimia dan PPKN Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), Fahyudi Kabir dari Prodi Elektro Fakultas Teknik dan Fahrul Abdullah Prodi Kehutanan Fakultas Pertanian.
Selain alasan melakukan gerakan yang mengancam integritas bangsa, Arbi dan tiga kawannya diidentifikasi telah melanggar beberapa aturan yang berkaitan dengan Misi Universitas Khairun, yakni Statuta Universitas Khairun pasal 82 ayat (3), Peraturan Akademik Pasal 32 ayat (3), serta melanggar Kode Etik Mahasiswa Universitas Khairun Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 13.
Aksi yang dimaksud ialah refleksi hari lahirnya embrio Bangsa West Papua yang jatuh pada tanggal 1 Desember 1961 atau 58 tahun silam dan aksi penuntutan dibebaskan 6 (enam) Tahanan Politik (Tapol) Papua, yang dilakukan oleh aktivis dari Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP) dan Komunitas Mahasiswa Papua (KMP), Senin (2/11/2019) lalu di depan kampus UMMU.
Aksi tersebut berujung pada pemukulan, pembubaran dan penangkapan. 10 (sepuluh) aktivis kemudian diamankan Polres setelah massa dibubarkan secara paksa oleh aparat gabungan TNI-Polri. Data diri atau identitas ke sepuluh mahasiswa itu dikantongi oleh Polres, yang setelahnya diberikan kepada pihak kampus tempat aktivis mahasiswa menempu studi.
Reporter: Firman dan Man
Editor: Ajun