Sejumlah mahasiswa yang tidur didepan Polres Ternate, Selasa (3/12/19) [lpmkultura/ajun) |
LPMKULTURA.COM - "Solidaritas terhadap aktivis pro-demokrasi yang ditahan adalah kewajiban gerakan mahasiswa untuk melakukannya, memperjuangkannya," ujar Uphy, mahasiswa IAIN yang juga bermalam didepan Polres Ternate menanti dibebaskan 10 rekan mahasiswa yang ditahan pada, Senin (2/12/19) siang kemarin.
Asal-muasal penahanan Arbi, Aken, Harun, Yudi, Iqra dan kelima aktivis yang tengah mendekam dalam Polres itu terjadi saat aksi di depan Universitas Muhammadiyah Maluku Utara Senin kemarin. Mereka melakukan mimbar orasi dengan tuntutan; berikan hak menentukan nasib sendiri bagi bangsa West Papua dan bebaskan tahanan politik.
Tahanan politik yang dimaksud itu Jubir FRI-WP, Surya Anta dan 5 kawan Papua lainnya yang ditahan di Mako Brimob. Sedang, mereka juga memperingati hari lahirnya embrio bangsa West Papua ke-58, atau 1 Desember 1961.
Dalam aksi atas nama Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP) dan Komunitas Mahasiswa Papua (KMP) itu digelar sekitar pukul 10.30 WIT, berselang setengah jam kemudian massa aksi dibubarkan oleh satuan aparat keamanan gabungan TNI-Polri, sebagian berserangam lengkap, lainnya memakai pakaian preman.
Semua massa aksi berhamburan tak terkecuali Aken, yang sedang mengambil gambar aksi, langsung diseret oleh seorang intel. Ia tak bisa berbuat apa-apa lagi. Setengah badannya dirangkul, handphone ditangannya pun dirampas.
"Kami dipukul, kawan-kawan kami ditangkap, sekarang diangkut entah kemana," ujar Gamaria mengisahkan kejadian itu, mengutip lentera.co.id
Tak ada kabar setelah pembubaran dan penangkapan siang itu. Hingga menjelang malam, waktu menunjukan pukul 22.00 WIT, berdatangan Mahasiswa ke Polres Ternate untuk meminta agar 10 rekanya dibebaskan. Puluhan hingga ratusan mahasiswa terus menghujani pelataran dan emperan depan Polres.
"Ini solidaritas mahasiswa terhadap kawan-kawan aktivis mahasiswa, bukan lagi sekte," teriak sejumlah orang yang terus berdatangan.
"Kami bisa beda pendapat, beda Ideologi, tapi kebebasan menyampaikan pendapat adalah hak asasi manusia yang telah diatur dalam UUD 1945," ujar Muktamim Amin, mahasiswa asal Unkhair yang turut hadir bersolidaritas.
Mahasiswa yang duduk dipelataran Polres Ternate jelang Subuh, Selasa (3/12/19) [lpmkultura/ajun) |
Waktu terus bergulir. Adzan subuh berkumandang diseluruh Masjid. Artinya waktu menunjukan sudah pagi. Namun, gerombolan mahasiswa tak terkedor. Mereka bahkan rela tidur di emperan jalan dan trotoar depan Polres.
Kecaman bertubi-tubi diutarakan. "Aparat mesin represif," "segera bebaskan kawan kami,". Hingga fajar mulai menyingsing ceria, 10 rekan mahasiswa tak kunjung dibebaskan.
Bagi mereka solidaritas adalah kekuatan. Menentang represif dan kriminalisasi sebagai upaya menyelamatkan demokrasi yang kerap kali dibungkam.
Kebebasan menyampaikan pendapat, telah tertuang dalam UUD bahkan kovenan internasional tentang hak-hak sipil politik yang telah diratifikasi oleh Indonesia.
"Ini wajah buruk demokrasi bangsa, bila tak ditentang dengan kekuatan solidaritas, maka persatuan hanyalah bualan dan kekuatan hanyalah pepesan," tutur Rudhy.
Reporter: Ajun