Ilustrasi google |
“Kisah keluarga penyu yang berusaha untuk pulang dalam laut yang rusak dan terus mengalami perubahan adalah kenyataan bagi banyak sekali satwa laut yang habitatnya dirusak oleh aktivitas manusia. Saya harap film ini menginspirasi lebih banyak orang untuk bereaksi melindungi laut kita.” Olivia Colman, dalam Greenpeace.
Awalnya bingung. Ini kura-kura atau penyu. Saat googgling dengan kata kunci “kura-kura”, saya temukan. Ternyata, penyu adalah superfamili dari kura-kura. Alias, kura-kura itu penyu, dan tidak bisa menjadi lain.
Saya memang jarang sekali mencari kata kunci kura-kura. Dalam riwayat search di google, mungkin ini yang pertama kali. Search saya tentang kura-kura karena beberapa waktu lalu menonton film pendek berjudul Turtle Journey: the crisis in our oceans. Durasinya cuman satu menit lima puluh detik (1.50). Sangat pendek.
Teman saya sampai bilang, itu story bukan film. Tidak masalah. Saya pikir, itu wajar. Pertama, karena dia mahasiswa teknik, kedua, karena sering kepo insastory orang-orang di media sosial. Hehe. Ada benarnya.
Ada beberapa film yang kami temukan. Misalnya “Turtle: The Incredible Journey (full documentary)” produk New Atlantis. Film itu cukup panjang. Durasinya sejam lebih. Dia menceritakan juga perjalanan seekor penyu betina yang ikut jejak leluhurnya. Dengan mengendarai Gulf Stream menuju dari Atlantik Utara ke Afrika dan kembali ke pantai tempat ia dilahirkan. Dalam perjalanan, penyu itu juga menghadapi banyak bahaya. Sama seperti, film Turtle Journey, namun kehidupannya berbeda.
Film pendek yang mengisahkan 'Perjalanan Penyu' disutradarai Jim Carter, Olivia Colma, dan beberapa pentolan greenpeace itu punya nilai realistis yang cukup kuat. Pesannya mengalir. Tak bisa di bayangkan. Fakta bahwa laut jadi ancaman bagi kehidupan penyu tak lain akibat dari ulat manusia yang merusak biota laut.
Film kolaborasi Greenpeace dan Aardman Animations, Kreator Wallace dan Gromit, Shaun the Sheep ini menampilkan sebuah keluarga penyu yang hidup bahagia. Bahagia itu mereka rasakan bahkan tak sampai semenit, sesaat perjanan pulang ke rumah. Dalam perjalanan, bak badai, satwa-satwa di laut di hempas oleh penghancuran laut.
Ketika seekor diantara mau masuk ke rumah, kekejaman manusia datang dengan alatnya. Wajah kura-kura yang sebelumnya sumringah, berubah menjadi murung. Air mata tak tahan menetes.
Di akhir cerita, penyu-penyu itu tak bisa mendapatkan tempat tinggal lagi di lautan. “Six out of seven sea turle species are threatened with extincition.” Kalimat terakhir ini sarat makna. Penyu-penyu itu membutuhkan tempat tinggal yang nyaman, “We need sanctuaries across a third of the world's oceans to keep turtles and other animals safe.”
Tak lain. Film yang aktornya dari Greenpeace ini ingin member kesan bahwa sekeluarga penyu membutuhkan perlindungan. Setelah menelusuri film pendek yang tayang di akun youtube Greenpeace UK sejak 15 Januari 2020 pekan lalu ini, tak lain sebagai visualisasi kehidupan nyata melalui animasi spesies penyu.
Penderitaan yang dialami penyu, benar-benar nyata dirasakan di dunia nyata. Ini fakta. National Geographic Indonesia misalnya mengatakan, enam dari tujuh spesies penyu di seluruh dunia terancam punah. Aktivitas manusia kian mendorong penyu semakin dekat dengan kepunahan.
Lukas Awi Tristanto dalam Panggilan Melestarikan Ciptaan (2015) mengatakan dengan merusak alam ciptaan, manusia sebenarnya sedang menghancurkan peradaban dirinya sendiri.
Laporan National Geographic itu juga menyebut empat hal yang menyebabkan penyu terncam punah, satu; perdagangan karapas. Karena keunikannya, penyu diburu untuk dijadikan hiasan, dua; perubahan iklim. Suhu lingkungan yang hangat akibat perubahan iklim, membuat pengurangan reproduksi, lahirnya penyu betina dengan jumlah banyak, habitat penyu terkikis akibat es kutub mencari dan lainnya.
Ketiga; perburuan. Walau sudah dilarang, perburuan atasnya masih saja terjadi. Dan yang terakhir; hilangnya habitat. Penghancuran habitat, mengganggu penyu betina bertelur hingga benar-benar berhenti. Apalagi banya terumbuh karang yang dirusak karena pariwisata.
Keempat penyebab ini patut diwaspadai. Jangan anggap ini masalah sepeleh. Sadar tidak sadar, kehidupan ekosistem biota laut dan lautan punya sumbangsi yang cukup penting dalam menyerap emisi gas rumah kaca. Jadi, memulihkan lautan lebih dari sekadar melindungi satwa.
Laut memainkan peran penting dalam menyerap karbon perusak iklim dari atmosfer, dan menguncinya agar tidak berkontribusi dalam krisis iklim. Demikian kata Will McCallum, saat menulis soal animasi singkat ‘Turtle Journey’ yang terbit di web Greenpace Indonesia.
Will menyebut, lautan kita mengalami tekanan dari berbagai sudut. Kerusakan iklim menyebabkan laut bertambah asam dan hangat, yang akhirnya mengganggu persediaan makanan untuk satwa laut dan merusak ekosistem. Penangkapan ikan berlebih, pengeboran minya, polusi plastik dan industri yang merusak seperti PLTU Batu Bara menambah tekanan bagi laut yang terlanjur rusak dan menurun kualitas laut.
Penyebab dari kerusakan iklim itu tak lain, perspektif manusia terhadap alam yang cukup diskriminatif. Yusup Rogo Yuono dalam Jurnal "Melawan Etika Lingkungan Antroposentris Melalui Interpretasi Teologi Penciptaan Sebagai Landasan Bagi Pengelolaan-Pelestarian Lingkungan" (Pdf) mengatakan penyebab pokok dari krisis bumi/lingkungan hidup ini adalah pola pendekatan manusia modern terhadap alam yang keliru.
Sebagai konsekuensinya, kita membutuhkan sebuah pendekatan baru. Salah satunya paradigma Hak asasi alam. Dalam Etika Lingkungan (2000), A. Sonny Keraf mengatakan dalam konsep ini, mahluk hidup membutuhkan ekosistem atau habitat untuk berkembang oleh karena itu, harus pula diterima bahwa mahluk hidup di luar manusia mempunyai hak asasi terhadap ekosistem atau habitatnya.
Kita kerap menafsirkan hak asasi hanya berlaku bagi manusia. Menganggap aneh ketika orang mengatakan satwa flora dan fauna (laut dan darat) juga punya hak asasi atas alam. Logika semacam ini tidak lain, dari paradigma antroposentris, yang menganggap alam bagian dari objek ekspolitasi. Pikiran yang terlanjur jadi budak peradaban ini tentu membahayakan keberlanjutan alam.
Paul Teylor mengakui binatang dan tumbuhan punya hak legal, dan harus dilindungi. Kalau manusia mengakui itu, dan menghormati alam. Itu saja sudah cukup untuk menyelamatkan ekosistem yang ada di bumi, terutama eksosistem laut.
Jika kita menjaga alam, menjaga satwa flora dan fauna, memelihara hewan layaknya menjaga diri sendiri, sudah barang tentu kita menjaga kehidupan tidak saja manusia tapi seisi bumi.[]
Ditulis oleh: Ajun Thanjer
Mahasiswa Kehutanan Fakultas Pertanian Unkhair