Burung Bidadari Halmahera (Foto: TN Aketajawe Lolobata) |
LPMKULTURA.COM — Udara dingin menusuk kulit, sesekali menggigil, meski masih subuh dan waktu menunjukan pukul 05.15, Farid telah duluan bangun. Saya ikut bangun lalu menghampirinya yang sedang duduk di tempat pengempul bara api sembari minum kopi dan merokok. Farid adalah petugas Taman Nasional Aketajawe Lolobata (TNAL) Resort Tayawi bersama rekannya, Sukardi, mendampingi kami selama Magang.
Dengan beralaskan terpal dan beratap langit, kami Camping di-base camp Burung Bidadari tepat di malam Minggu. Tak lama, satu persatu teman-teman kami terbangun dan bersiap-siap menuju ke lokasi pengamatan Burung Bidadari Halmahera.
Tak ada yang sarapan, karena lokasi pengamatan tidak jauh, sekitar 500 meter dari basecamp. Medannya tak berat seperti awal menuju basecamp Bidadari, Sabtu, (23/2/19) kemarin sore dari Resort Tayawi.
Hari itu, Saya bersama Farid dari belakang dengan dua teman perempuannya, Wahyuni dan Sartika, yang mau ikut untuk melihat pesona dan rupa burung yang menjadi icon di Halmahera, Maluku Utara (Malut) ini, sebagian lainnya sudah pergi lebih awal bersama Sukardi.
Karena itulah, kami harus berhadapan dengan banjir sungai Tayawi yang begitu deras. Memilih menyebrang sungai atau menyusuri bukit. Akhirnya kami putuskan mendaki bukit disebelah kanan sungai untuk menghindari banjir.
“Kita harus berangkat ikuti bukit itu, agar tidak sampai malam disana [camp Burung Bidadari]. Jalannya agak ekstrim tapi tidak apa-apa,” ujar Farid mengakui.
Setelah mendaki bukit yang agak ekstrim untuk menghindari acaman banjir sungai Tayawi, tidak jauh dari situ, kami berempat bertemu sebagian teman-teman kami yang bersama Sukardi. Mereka kesulitan melintasi sungai menuju basecamp yang akan menjadi tempat peristirahatan kami semalam itu [basecamp]. Namun 2 orang teman kami, Firman dan Zulrahman, sudah lebih dulu menyebrang sebelum banjir menghadang.
“Kami tidak sempat menyebrang, dorang (mereka berdua) sudah duluan bawa terpal, akhirnya kami balik sterahat disini sambil menunggu banjir redah,” tutur Kardi seraya bercanda dengan teman-teman.
Suasana sore itu mulai redup, senja tampak surut diganti gelap gulita. Malam itu, sebagian memilih menyebrang ke basecamp, dan sebagian kami terpaksa menunggu banjir surut di seberang sungai berhadapan dengan basecamp. Hingga jam 11.20 malam, kami terpaksa menyebrang walau banjir belum benar-benar surut.
Berjinjingan tangan, menahan deras air sungai, kedinginan, mengangkat barang-barang saling menyelamatkan satu-persatu sesama teman kami. Horas. Selamat. “Malam Minggu [Sabtu malam, 23/2/19-Red] kami penuh tantangan, baru pertama kali ini. Sungguh menyenangkan,” akuh salah seorang teman kami, Ibnu.
Letih. Semua terbaring, sebagian masak supermi, dan lainnya menuang kopi sembari menanti subuh untuk menyusuri tempat pengamatan Burung Bidadari Halmahera.
**
Suara burung Bidadari Halmahera mulai bersahutan dari kejauhan, menyambut mentari pagi dari hutan Taman Nasional Aketajawe Lolobata Resort Tayawi. Rasa letih dan lelah bak terbayarkan olehnya. Paras senyum kian tampak diraut wajah kami masing-masing.
“Mana burung bidadari,” pertanyaan itu secara otomatis berkumat-kamit dimulut kami. Rasa penasaran semakin memuncak saat mendaki bukit Selamat Pagi kurang lebih 150 meter itu. Akhirnya, kami sampai di spot pengamatan Burung dengan nama latin Semioptera wallacii yang banyak diburuh para peneliti, wisatawan, termasuk kami yang akan mengambil data pengamatan burung ini.
Suatu kesalahan, saya membawa Camera Nikon tapi cahayanya tak tampak bagus. Sesekali mencari tempat yang bagus untuk melihat secara langsung burung ini untuk diabadikan gambarnya, namun sayang, hanya Camera Sukardi yang bisa menangkap dengan jelas sepasang Bidadari Halmahera yang menyibakkan sayap sembari melompat kesana-kemari dirimbunan pepohonan.
Bak disambut, suaranya begitu nyaring dari tajuk dan ranting pohon hiru, kami agak kesulitan melihatnya karena burung ini bermain didahang pepohonan seakan malu menampakkan rupanya olek secara langsung.
“Agak kesulitan kalau mengamati waktu subuh, kita harus tenang, jangan banyak bicara,” pungkas Sukardi seraya menghadapkan Cameranya ke rating pohon yang jadi tempat bermain Bidadari Halmahera ini.
Agar melihatnya lebih dekat, Sukardi zoom Camera. Teman-teman kami berkumpul melihat dari sini. Sebagian lainnya naik dirumah pohon, namun kesulitan karena di atasnya ada atap.
Burung berbulu indah ini layaknya bidadari ini merupakan salah satu jenis burung Cenderawasih karena, selain mempunyai bulu yang indah juga mempunyai gerak tarian indah, terkesan genit terutama saat merayu pasangannya.
Saya sesekali membaca buku di "Rumah Baca Rimba" samping kanan basecamp Resort Tayawi, beberapa sumber mengatakan, Burung bidadari merupakan fauna endemik di Pulau Halmahera, Malut, karena, selain rupanya yang cantik, gayanya yang unik, suaranya pun cetar membahana.
Burung ini ditemukan pertama kali oleh Alfred Russel Wallace di Pulau Bacan, Malut, pada tahun 1858. Wallace menyebutnya sebagai bird of paradise karena kecantikan burung ini. Penemuan itu lalu ditulisnya dalam sebuah laporan yang dikirim ke Inggris. Setahun kemudian, laporannya menjadi bahan kajian para ornitholog di Inggris.
Data populasi TN Ake Tajawe 2015, menyebutkan, bidadari Halmahera untuk pengamatan Seksi Pengelolaan Resort Weda menyebutkan di Hutan Tayawi dan Bakim 200,96 hektar ditemukan ada 329 burung bidadari.
“Di Resort Buli Halmahera Timur SPTN- II Maba di kawasan pegunungan Uni-uni ditemukan 25 burung bidadari. Di Resort Binagara SPTN III Subaim ada 16 bidadari,” tulis rilis tersebut.
Selain di Tayawi, ada beberapa kawasan yang menjadi tempat pengamatan burung Bidadari di Malut. “Ada di Gunung Tanah Putih, Halmahera Barat, Binagara Halmahera Timur dan Resort Buli di Gunung Uni-uni,” kata Farid petugas Resort Tayawi yang pernah menjadi Guru di Tului.
Dia mengatakan, icon Tayawi yang paling menarik selain Masyarakat Tobelo Dalam (kerap disebut Togutil) adalah burung Bidadari. “Burung ini memiliki daya tarik yang sangat tinggi, baik buat pecinta burung dan fotografer fauna, maupun peneliti dan mahasiswa,” cetusnya.
Warna bulu burung ini hijau zamrud dibagian dada dan warna ungu di bagian mahkota. Terdapat dua pasang bulu putih memanjang di balik lekuk sayap. Siapapun yang melihatnya, pasti tertarik untuk mengamatinya.
Hingga usai pengamatan sekitar pukul 08.25, kami kemudian balik ke basecamp dan berkemas lalu bersiap-siap menuju ke Air Terjun Havo. Lokasi dari basecamp Bidadari ke Havo hanya sejauh 2.5 kilo meter. (bersambung)
Penulis: Ajun
(Terbit pertama kali di lentera.co.id)