Rudi, salah satu peserta aksi yang kena represif aparat kepolisian di tangga naik kantor DPRD Ternate sewaktu akan diamankan (sumber: MARAK) |
Informasi
yang terhimpun, keempatnya adalah Rudhy, Chay, dan Risdat (ketiganya anggota
Pembebasan) dan Andrean (Anggota PMII).
Awalnya, puluhan mahasiswa
berkumpul di tugu Makugawene, Kelurahan Kalamata, Ternate Selatan, menunggu
kawan-kawannya yang lain dari arah Ternate Utara menuju ke DPRD untuk melakukan
aksi bersama. Namun belum lama kemudian, polisi dengan pelaratan lengkap
mengumumkan agar mahasiswa membubarkan diri.
Hingga sekitar pukul 12.35 WIT, polisi
langsung merengsek masuk di kerumunan massa yang duduk tepat di pelataran jalan di tugu tersebut dan melakukan tidakan represif terhadap mahasiswa. Mahasiswa langsung dikejar-kejar dan dihujani
dengan water canon hingga massa berhamburan mengamankan diri.
“Kami baru
berkumpul, menunggu kawan-kawan yang lain. Tiba-tiba sudah ada imbauan dari
Polres agar kami bubar. Disitu, saya langsung di tangkap, dan diseret lalu di
pukul,” aku Rudhy Pravda, salah satu peserta aksi yang kena represif aparat dan ditangkap.
Wajahnya
memar, hampir sebagian tubuhnya luka-luka, dibagian pelipis matanya bengkek
keluar darah. Dia dipukul oleh polisi dan intel berpakaian preman.
Detik-detik massa mahasiswa dibubarkan aparat kepolisian (Foto/Darman) |
Selain Rudi, ketiga
kawannya yang ikut diseret oleh Polres dan katanya diamankan ke lingkungan
kantor DPRD yang berjarak hampir 100 meter dari tugu Makugawene itu juga
mengalami hal serupa. Badan-badan mereka penuh memar.
Menurut pengakuan salah
satunya, Dhat, mereka bertiga awalnya lari mengamankan diri di sebuah gudang
berdekatan dengan tugu Makugawene, namun polisi berhasil melihat mereka.
Ketiganya mengaku dikeroyok oleh polisi di dalam gudang tersebut hingga salah
seorang diantara mereka hidungnya keluar darah dan bengkak.
Menurut keterangan
Kordinator MARAK, Aslan Syarifudin, padahal rencana aksi itu aksi damai walau
tak mengantongi ijin aksi. Dia bilang surat sudah dimasukkan, namun polisi
beralasan belum bisa karena antisipasi penyebaran dan penularan virus corona.
“Kalau
polisi mau mengambil tindakan persuatif, tapi ini tidak, baru saja aba-aba,
langsung bubarkan massa aksi dan tangkap,” kata Aslan.
“Kami juga takut
virus corona, pengen sehat, tapi ancaman Omnibus Law inilah yang membuat kami
harus bergerak!.”
Aslan bilang, kawan-kawannya yang longmarch dari arah utara sudah sampai di Kelurahan Jati, Ternate Tengah, namun tak bisa lagi melanjutkan perjalanan ke kantor DPRD Ternate karena sudah mendapat kabar bahwa rencana aksi menolak Omnibus Law--sebuah regulasi yang menyederhanakan, memangkas, dan menghapus sejumlah aturan--telah dibubarkan paksa aparat.
Koordinator aksi, Adi
Gipantara juga mengatakan bahwa aksi tersebut belum dilaksanakan, poster dan
spanduk belum dibentangkan, mereka masih duduk-duduk menunggu kawan-kawannya
dan melakukan breafing terkait imbaun polisi soal tidak bisa aksi dan massa
harus membubarkan diri.
“Semua perlengkapan
aksi pun belum di buka, tapi masih merapikan massa aksi untuk membicarakan
hasil imbauan kepolisian. Dalam perjalannya, baru merapikan kawan-kawan untuk
breafing, membicarakan imbauan polisi itu, Ada kawan yang surat diseret,
ditangkap, lalu dihujani water cannon, akhirnya bubar,” ujarnya kepada lpmkultura.com, pasca aksi tadi.
Adi bilang, bila tadi
kawan-kawannya belum dibebaskan dari Polres, mereka akan menggeruduk Polres “Kami
sangat mengecam tindakan represif tersebut dan akan membuat pernyataan sikap
kecaman,” tambahnya.
Tindakan aparat
tersebut, bagi Adi cukup memperburuk situasi demokrasi Indonesia. Represifitas
itu menjadi catatan, bagaimana demokrasi kian hari terancam.
“Kita akan tetap
menolak Omnibus Law, dan perampasan ruang hidup lainnya,” tutur Adi.
Reporter: Ajun