Ilustrasi |
“Gadis yang pikirannya sudah dicerdaskan, pemandangannya sudah diperluas, tidak akan sanggup lagi hidup di dalam dunia nenek moyangnya” R.A KartiniSenyum yang begitu lebar dan manis seperti memiliki energi tak terbatas. Ia adalah R.A Kartini yang lahir pada 21 April 1879 di Jepara Jawa Tengah. Anak seorang Bupati yang berani melawan berbagai ketidakadilan terutama terhadap perempuan pada masanya.
Apalagi kehidupan perempuan Jawa saat itu sangat jauh dari setara. Artinya bahwa budaya patriarki yang masih kental dan sangat melekat, sehingga perempuan sering dipandang sebagai objek, perempuan harus patuh terhadap lelaki, perempuan harus melayani dan bukan sama-sama melayani, perempuan harus di dapur, perempuan tidak harus berpendidikan, ada hierarkis kekuasaan disana hingga akhirnya perempuan terjebak dalam konsep yang sengaja diciptakan juga dipelihara dan dilanggengkan.
Inilah kemudian hadir seorang tokoh emansipasi dengan bersenjatakan pena dan berpeluru tinta hingga menembakkan di dalam kertas abadi. Agustus 1900, R. A. Kartini menulis “Kami Perempuan Jawa, terutama sekali wajib bersifat menurut dan menyerah, kami harus seperti tanah liat yang dibentuk sesuka hati.”
Ini adalah apa yang disaksikan sekaligus menjadi keprihatinanya terhadap perempuan Jawa pada masa itu, ialah R.A Kartini. Kita mengenalnnya sebagai ibu emansipasi.
Cinta akan pendidikan membuat Kartini muda tumbuh menjadi seorang yang cerdas dan memiliki semangat literasi yang memumpuni juga kebetulan ia terlahir dari keluarga ningrat yang bisa mengenyam pendidikan. Dan menghasilkan berbagai macam karya tersohor, juga aktif melakukan korespondensi atau surat-menyurat dengan temannya yang berada di belanda. Karya Kartini terkenal berjudul “Door Duistermis toc Licht” atau dalam bahasa Indonesia-nya ialah “Habis Gelap Terbitlah Terang”.
Buku ini adalah kumpulan surat-surat Kartini untuk teman-temanya di Belanda, sekaligus bukti bahwa bagaimana Kartini sangat memperhatikan perempuan pribumi atau perempuan Jawa yang sangat jauh berbeda dengan kehidupan perempuan Eropa. Buku tersebut menjadi spirit perjuangan perempuan Indonesia untuk menuntut hak mereka hingga sekarang.
Api perjuangan itu tidak pernah redam, karena dengan melawan sistem itu maka perempuan dan laki-laki akan terbebaskan.
Di usianya yang ke-20, ia banyak membaca buku-buku karya Louis Coperus yang berjudul De Stille Kraacht (kekuatan diam). Ia juga sering membaca roman-roman beraliran feminis yang berbahasa Belanda dan juga buku karya Multatuli berjudul Max Havelaar dan surat-surat cinta.
Kartini juga tidak hanya jago dan lihai dalam menulis tapi ia juga mendirikan sekolah khusus perempuan di Rembang dan Jepara, karena bagi kartini sampai kapanpun perempuan itu selalu menjadi faktor penting dalam peradaban bangsa.
Namun sayang 25 usianya, ia dipanggil pencipta. Tepat 17 September 1904 Kartini meninggal, jasadnya dimasukkan ke dalam tanah. Ia lenyap. Tapi ada yang abadi dari dia: ialah kata-kata.
Ia hidup dalam satu barisan yang komplit.
Ia abadi hingga Pramodya Ananta Toer, penulis besar yang dikenal dunia mengabadikan dalam karyanya "Panggil Aku Kartini Saja" “...Kartini tidak punya massa, apalagi uang. Yang dipunya Kartini adalah kepekaan dan keprihatinan dan ia tulislah segala-gala perasaannya yang tertekan itu. Dan hasilnya luar biasa, selain melabungkan nama Kartini, suaranya bisa terdengar sampai jauh, bahkan sampai kenegeri asal dan akar segala kehancuran manusia Pribumi”.
Kartini tidak punya masa, kartini tidak mengangkat tombak untuk bertempur, tapi ia hidup karena MENULIS.
Penulis: Wahida A. Abd Rahim
Mahasiswa Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ternate, Pegiat Literasi, dan aktif di Kopri PMII.
Top
BalasHapusMembaca dan menulislah
BalasHapus