Mahasiswa IAIN bangun posko tolak bayar UKT (Foto/istimewa) |
lpmkultura.com – Sejumlah mahasiswa Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ternate membangun posko penolakan bayar uang kuliah tunggal (UKT) selama pandemi sejak, Senin (22/6/2020) kemarin. Posko yang diinisiasi oleh Aliansi Mahasiswa IAIN Bersatu ini sebagai protes terhadap kebijakan Kementerian Agama (Kemenag) yang hanya meringankan biaya kuliah tanpa mempertimbangkan kondisi mahasiswa di tengah keterpurukan ekonomi orang tua.
Mereka juga memprotes pernyataan Wakil Rektor I IAIN, Adnan Muhammad, yang menyatakan “tidak ada yang digratiskan” di salah satu media cetak beberapa waktu lalu saat merespon aksi online mahasiswa sekitar pekan lalu.
Pernyataan Adnan itu didasari pada Keputusan Menteri Agama (KMA), Fachrul Razi, Nomor 515 Tahun 2020 tentang Keringanan Uang Kuliah Tunggal (UKT) pada Perguruan Tinggi Keagamaan Negeri (PTKN) atas dampak Bencana Wabah COVID-19. Adnan tampak bersikukuh bahwa ‘keputusan tersebut tidak bisa diubah’. Artinya, UKT tetap dibayar dengan mengurangi biaya kuliah dan tidak bisa digratiskan.
Nafiar Kuntani, Koordinator alinasi dalam keterangan tertulis mengatakan kebijakan Menag, Fachrul Razi, bagi mahasiswa sangat diberatkan di situasi pandemi yang kian melonjak naik.
“Tidak cukup di soal UKT/SPP, kami mahasiswa juga merasa bahwa sistem perkuliahan yang menggunakan pembelajaran daring (dalam jaringan) atau online turut memperparah situasi ekonomi mahasiswa,” ujar Nafiar, seperti dikutip dari penyataan sikap yang diterima lpm kultura, Rabu (24/6/2020).
Nafiar bilang, ketimpangan pembangunan infrastruktur jaringan internet yang tidak merata di seluruh tanah air, terutama di wilayah Maluku Utara, turut memperparah akses mahasiswa dalam mengikuti kuliah online.
“Sebagiannya tidak dapat mengikuti pembelajaran karena tidak memiliki akses jaringan internet, pembelajaran daring sangat membebankan mahasiswa karena harus membeli kuota internet setiap mengikuti perkuliahan tidak ditanggung oleh kampus.”
Selama pandemi – seperti di universitas pada umumnya, mahasiswa tidak menggunakan fasilitas sama sekali, namun harus tetap membayar UKT walau dengan mengikuti aturan baru tentang peringanan UKT. Ini yang dia sebut sebagai “kebijakan tanpa mengkaji kondisi ekonomi yang dihadapi masyarakat.”
Secara umum, mayoritas masyarakat yang anaknya kuliah, kata dia, berasal dari pedesaan yang mengandalkan bercocok tanam, di kota dengan menjadi pedagang kaki lima (PKL), hidup di jalanan, menjadi nelayan, pegawai rendahan termasuk buruh industri, kebanyakan kerja di industri ekstraktif, pertambangan.
Disisi lain, masyarakat juga harus menerima kenyataan pelik dari sistem tagihan listrik yang melonjak naik, dan diperparah dengan anjloknya harga kopra (kelapa dalam), menjadi beban bagi mahasiswa melanjutkan pendidikan.
Kampus, tambah dia, seharusnya tidak menutup mata dengan persoalan yang dihadapi mahasiswa. Mengutip Pasal 85 ayat (2) dalam UU No. 12 Tahun 2012 tentang pendidikan Perguruan Tinggi yang berbunyi "pendanaan Pendidikan Tinggi dapat juga bersumber dari biaya pendidikan yang di tanggung oleh mahasiswa sesuai dengan kemampuan mahasiswa, orang tua mahasiswa, atau pihak lain yang membiayainya”, dia tegaskan agar kampus menjalankan amanat UU Pendidikan Tinggi tersebut.
Nafiar menerangkan bahwa kampus juga harus memahami frasa “sesuai dengan kemampuan” di tengah terpaan bencana global ini.
Aliansi yang sudah membangun posko beberapa hari di lingkungan kampus ini, menegaskan tetap menolak membayar UKT di masa pandemi.
Reporter: Ajun