Aksi Ikatan Mahasiswa Papua (IMP) Maluku Utara Tolak Otsus Jilid II, pada Kamis (30/7/2020). FOTO/Dokumentasi pendemo |
lpmkultura.com -- Solidaritas dan mahasiswa Papua yang tergabung dalam Ikatan Mahasiswa Papua (IMP) Maluku Utara menggelar aksi unjuk rasa di depan Taman Landmark, Jalan Pahlawan Revolusi, Ternate Tengah, pada Kamis (30/7/2020).
Aksi itu di gelar secara serentak di berbagai kota, termasuk di Papua. Di Ternate, mereka menyerukan 12 tuntutan mendesak yang harus diselesaikan pemerintah Indonesia, terutama menolak otonomi khusus atau otsus jilid dua yang dinilai tidak merepresentasikan kepentingan rakyat Papua.
Otsus disebut hadir di Papua hanya sebagai respon pemerintah Indonesia terhadap manifesto politik orang papua yang terus menyuarakan aspirasi menuntut referendum.
Hendrik, koordinator aksi Ikatan Mahasiswa Papua saat membacakan pernyataan resmi mengungkapkan fakta bahwa sejak diberlakukan Undang-Undang Otsus Nomor 21 Tahun 2001 sampai saat ini "implementasinya hanya berupa uang bukan sebuah kewenangan kekuasaan kepada pemerintah daerah."
"Ini dibuktikan dengan masih banyak pelanggaran ham, krisis kemanusiaan, kelaparan, ketimpangan ekonomi, sosial, politik, kesehatan bahkan ketimpangan jati diri orang papua yang belum diakui sampai saat ini," kata Hendrik mahasiswa asal Papua yang menempuh studi di salah satu Perguruan Tinggi di Ternate.
Dia juga menyebut, selama otsus berjalan sudah 20 tahun terakhir, tidak pernah ada perlindungan, pemberdayaan, dan sebagainya kepada orang Papua.
"Otsus harus ditolak karena tidak ada jaminan perlindungan yang pasti kepada keberlangsungan hidup orang Papua kedepan."
Dia juga mengingat kembali peristiwa rasisme yang terjadi di Surabaya Agustus 2019 lalu, kasus Obi Kogoya 2016 silam, peristiwa Paniai, Deiyai, Dogiyai dan teranyar kasus Nduga yang masih dalam pengungsian.
"Sekarang telah membuktikan jikalau pemerintah Indonesia tidak sungguh-sunguh memberikan otsus sebagai perlindungan hak, martabat dan kedaulatan politik orang papua," terangnya.
Dalam pantauan, aksi yang di gelar sejak pukul 10.00 WIT dan mengatasnamakan mahasiswa Papua itu terdapat beberapa mahasiswa Indonesia yang bukan asal Papua. Mereka turut bersolidaritas terhadap rakyat Papua.
Aksi itu juga punya 12 tuntutan, diantaranya pertama, bebaskan tahanan politik (tapol) Papua tanpa syarat. Kedua, meminta kasus pelanggaran HAM di Papua dituntaskan dan pelakunya diadili.
Ketiga, menuntut militer organik dan non organik di tarik dari tanah Papua; keempat, tolak revisi UU Otsus No. 21 Tahun 2001.
Kelima, mendesak cabut Surat Keputusan (SK) Drop Out empat mahasiswa Universitas Khairun.
Keenam, mendesak penuntasan kasus kekerasan seksual terhadap perempuan Papua. Ketujuh, mereka juga menolak RUU Omnibus Law Cipta Kerja dan mendesak sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
Hendrik melanjutkan, tuntutan kedelapan, yaitu desak agar PT. Freeport Indonesia di tutup.
Kesembilan, mendesak pelaku rasisme di Surabaya dan Wamena ditangkap dan diadili; kesepuluh, stop intimidasi, kriminalisasi, dan pemenjaraan aktivis papua.
Sebelas, meminta agar diberhentikan mobilisasi militer ke tanah Papua, dan terakhir hentikan operasi gelap di Nduga Papua.
Yosafat, Ketua IMP Maluku Utara, dalam orasinya mengutarakan alasan penolakan otsus itu dasarkan pada kebijakan otsus jilid satu yang gagal menjamin kesejahteraan dan keberlangsungan hidup rakyat Papua
Otsus juga disebut sebagai pelegalan kolonialisasi di tanah Papua.
Reporter: Ajun