Ilustrasi: Uang Kuliah Tunggal (kalderanews.com) |
Oleh: Ajun Thanjer*
PROTES MAHASISWA TERUS TERJADI. Baik via online maupun aksi turun ke jalan menolak uang kuliah tunggal (UKT) di tengah pandemi. Walaupun belum begitu masif—dalam pengertian tidak dengan aksi massa besar-besaran turun ke jalan--namum patut diperhatikan.Demonstrasi ini terjadi bukan tanpa sebab. Pasalnya, kebijakan pemerintah dalam menerapkan kuliah online cukup meresahkan. Terutama di perguruan tinggi masing-masing.
Belajar daring (dalam jaringan) justru tak efektif selama semester berjalan. Keluh-kesah tertimpa jadi beban. Qouta dan kemudahan akses internet sama sekali tak jadi perhatian pemerintah. Padahal fasilitas kampus tak digunakan sama sekali. Sialnya lagi, uang kuliah tetap harus dibayar.
Pemerintah harus di protes terlebih dahulu. Mendikbud Nadiem Makarim harus jadi buronan di media sosial oleh mahasiswa. Hingga akhirnya dia menerbitkan Permendikbud nomor 25 tahun 2020 tentang standar satuan biaya operasional pendidikan tinggi pada perguruan tinggi negeri di lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, pada 19 Juni kemarin.
Ada dua kebijakan baru yang digagas (selain dari sekolah): kebijakan penyesuaian UKT dan kebijakan bantuan pandemi bagi mahasiswa. Isinya soal peringanan uang kuliah tunggal (UKT) bagi mahasiswa perguruan tinggi negeri (PTN) dan perguruan tinggi swasta (PTS). Namun siapa sangka. Banyak sekali prasayat yang harus dipenuhi mahasiswa.
Kita bisa lihat empat opsi arah kebijakan peringanan yang dirumuskan itu; pertama, UKT dapat disesuaikan untuk mahasiswa yang keluarganya mengalami kendala finansial akibat pandemi COVID-19; kedua, mahasiswa tidak wajib membayar UKT jika sedang cuti kuliah atau tidak mengambil sks sama sekali; ketiga, pemimpin perguruan tinggi dapat memberikan keringanan UKT dan/atau memberlakukan UTK baru terhadap mahasiswa, dan; keempat, mahasiswa di akhir kuliah membayar paling tinggi 50% UKT jika mengambil kurang lebih 6 sks.
Empat kebijakan itu, berkelindan dengan 5 jenis keringanan yang Nadeim rumuskan, yang menurutnya efektif diterapkan. Lima jenis keringanan itu ia bagi dengan; (i) cicilan UKT; (ii) penundaan UKT; (iii) penurunan UKT, (iv) beasiswa, dan; (v) bantuan infrastruktur (lihat Permendikbud).
Inti dari lima jenis keringanan ini adalah bagaiamana mahasiswa di jerat ke dalam skema subsidi silang dan tetap membayar UKT dengan embel-embel “memberikan keringanan”. Tampak sekali tidak ada perubahan apapun kecuali meredam protes gerakan mahasiswa.
Bila kita telaah lagi, kriteria "orang-orang terkena dampak" yang Nadiem bikin itu pun, justru paradoks dengan kondisi masyarakat saat ini. Nadiem justru tidak 'peduli' pada situasi sekarang, dimana jutaan buruh kena PHK (pemutusan hubungan kerja), produksi petani terancam menurun, nelayan terpaksa berhenti melaut, hingga pedagang kaki lima yang terus mengais hidup tiap hari di pasar.
Mahasiswa kebanyakan lahir dari keluarga ini. Sudah tentu, sulit sekali memproteksi kebutuhan dan memenuhi apalagi sampai cukup uang membayar uang kuliah di tengah pandemi. Nadiem bukannya mengharuskan mahasiswa tidak membayar UKT, tapi justru mempertegas bagaimana sistem pendidikan kita–yang sudah kacau balau ini–tidak berpihak kepada mayoritas masyarakat, terutama kaum miskin.
Pendidikan yang seharusnya menjadi jalan membebaskan bagi kaum miskin, mengangkat harkat dan martabat mereka justru sebaliknya; menyerang tanpa ampun. Ini pula yang mempertegas stigma yang kian mengakar “ada uang, ada barang”. Siapa pula yang bisa bertahan dan bisa membayar uang kuliah bila sedang dihantam badai dan diterpa bencana virus mematikan ini.
Komersialisasi Pendidikan
Pendidikan yang mahal pada hari ini, tidak lahir begitu saja. Ia berkelindan dengan akar dimana ada sistem ekonomi-politik yang memengaruhinya. Artinya ada keterkaitan dengan sistem dunia, dimana bila kita telusuri saat Indonesia mulai bergabung dengan World Trade Organization (WTO) atau Organisasi Perdagangan Dunia sejak tahun 1994 silam. WTO jelas kepentingannya; mengatur masalah perdagangan antar negara dengan prinsip liberalisasi. Semua sektor di liberalisasi, termasuk pendidikan.
Inilah yang menjadi dasar sistem kapitalisme--sebuah sistem picik dan menindas--dalam merumuskan Undang-Undang Perguruan Tinggi, yakni Undang-Undang Perguruan Tinggi Nomor 12 Tahun 2012.UU PT ini juga yang bikin pendidikan kita semakin terpuruk. Apalagi ketika Indonesia menandatangi General Agreement on Trade and Services (GATS) yang mengatur liberalisasi 12 sektor jasa, salah satunya pendidikan. Pendidikan dengan sendirinya menjadi sebuah barang mahal karena telah diatur dengan mekanisme pasar.
Perguruan Tinggi Swasta (PTS) adalah contoh, dimana negara melepaskan tanggung-jawabnya dan memberikan wewenang kepada pihak swasta untuk mengelola. Dengan meliberalisasi sektor pendidikan, menjadi peluang bagi kapitalis untuk bersaing dalam pasar pendidikan.
Pendidikan kemudian dijual-belikan hingga ke skala internasional. Dalam logika kapitalis, pendidikan akan menguntungkan bila menjadi sebuah komoditas--barang dagangan. Pemerintah memang tidak punya nawacita menurunkan--bila tidak mau digratiskan--biaya pendidikan untuk bisa diakses publik.
Payung hukum liberalisasi pendidikan tergambar jelas dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Di dalam UU Sisdiknas, jelas menjadi legitimasi aturan otonomi dan badan hukum pendidikan.
Lalu bagaimana bisa lahir Uang Kuliah Tunggal? UKT tidak turun dari langit. Dia dititip oleh kapitalis melalui UU Perguruan Tinggi. Karena dititipkan, pemerintah serahkan pembiayaannya kepada kita sepenuhnya agar uang kuliah yang kita bayar mengalir ke kantong kapitalis birokrat.
Hanya ada sedikit embel-embel pembiayaan yang ditanggung negara. UKT merupakan hasil pembagian seluruh beban pembiayaan operasional pendidikan tinggi. Biaya operasional inilah yang disebut Biaya Kuliah Tunggal atau BKT. BKT dirumuskan sebagai dasar penetapan biaya yang akan dibebani kepada mahasiswa, masyarakat dan pemerintah.
Orang kadang berfikir bahwa UKT adalah sistem pendidikan yang cukup “baik” melayani masyarakat karena ditentukan berdasarkan kemampuan masyarakat. Padahal, itu adalah bukti bagaimana pemerintah melepaskan tanggungjawabnya dan memberikan kewenangan sepenuhnya kepada pasar bebas. Pasar yang menentukan harga pembiayaannya. Mulai diterapkan kategori/kelompok-kelompok, dari kategori 1 sampai kategori 8.
Jika kita melihat di masa pemerintahan Soekarno, pendidikan dapat dikatakan gratis karena semua ditanggung oleh negara. Oritentasi sistem pendidikannya pun tegas: menekankan pentingnya Perguruan Tinggi anti imperialisme. Namun sejak Orde Baru Soeharto berdiri, semua diubah. Haluan ekonomi diganti dengan pembangunanisme. Sektor pendidikan dikendalikan, dan seiring menjadi komoditas yang menguntungkan kapitalis.
Ini pula yang bikin Nadiem tidak berani menggratiskan pendidikan walau hanya dituntut gratis selama pandemi--bukan gratis selamanya. Nadiem menjadi ‘kaki tangan’ dalam memuluskan agenda neoliberalisme untuk memprivatisasi sektor pendidikan. Ditangannya, sistem UKT yang sudah ganas tersebut menjadi lebih otoritatian.
Lantas, kita berharap agar perguruan tinggi di daerah kita digratiskan? Ini harapan absurd. Bila tidak ada persatuan dan konsolidasi dengan gerakan sosial dan mahasiswa secara masif dan kuat. Terutama, memutus akar permasalahan sistem pendidikan, yakni kapitalisme.[]
*Penulis jalanan