Massa aksi Gerakan Rakyat Menggugat (Granat) gelar sidang rakyat di kantor DPRD Ternate (FOTO/Ajun) |
lpmkultura.com – Aksi mahasiswa yang terhimpun dari berbagai
organisasi pergerakan menduduki kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
Kota Ternate, Maluku Utara, pada Kamis (16/7/2020). Massa aksi ini menolak
Omnibus Law dengan mosi tidak percaya kepada DPR dan pemerintah dan meminta
agar selama pandemi, pendidikan harus digratiskan.
Mereka juga menggelar sidang rakyat di depan lingkungan kantor DPRD Ternate, dengan membentuk komite pemilihan demokratik untuk menetukan pilihan secara terbuka terkait Ombibus Law. Komite ini sekaligus mengawal berjalannya sidang dengan melibatkan seluruh peserta aksi secara terbuka.
“Teman-teman kalau menolak (Omnibus Law), berarti memasukkannya ke dalam kotak suara, bila tidak menolak berarti tidak memasukkan,” terang Fandi, salah satu massa aksi yang menjadi pimpinan sidang, sembari mengetok palu.
Kurang lebih 10 menit pungutan suara itu dilakukan, pimpinan sidang kemudian membacakan hasilnya di depan umum.
“Kami libatkan rakyat yang hadir disini dalam komite pemilihan demokratik telah memberi hasil secara mayoritas, atau kita rakyat indonesia atau kita yang hadir disini menolak Omnibus Law disahkan oleh DPR. Sah atau tidak?,” tutur Akes, pimpinan sidang lainnya.
Tulisan kantor DPRD Ternate disabot dan diganti spanduk mosi tidak percaya DPR dan Pemerintah serta Tolak Omnibus Law (FOTO/Rizal SMI) |
Sebelumnya, massa aksi yang mengatasnamakan Gerakan Rakyat Menggugat atau Granat ini berkumpul di depan tugu makugawene, Kelurahan Kalumata, Ternate Selatan, sekitar pukul 11.00 WIT. Kemudian longmarch ke depan gedung DPRD Ternate.
Kordinator aksi, Fajri Ibrahim mengungkapkan dua alasan kenapa mereka menolak RUU ‘sapu jagat’ itu disahkan. pertama, Omnibus Law Cipta Kerja sejak awal cacat secara hukum. Bila berpedoman pada Undang-Undang nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan UU, pemerintah harusnya terlebih dahulu memyebarluaskan RUU sejak awal penyusuannya kepada masyarakat luas, namun justru proses penyusunannya hanya melibatkan pemerintah, pengusaha, akademisi tanpa melibatkan rakyat.
Sementara, kedua, Fajri menyebut, menurut pengkajian aliansi, konsep hukum dalam Omnibus Law sejatinya kapret merah bagi kepentingan kapitalis global. Ini menurut mereka, akibat dari resesi ekonomi global yang tak kunjung pulih dan desakan dari negara-negara imprealisme terhadap negara berkembang, Indonesia salah satunya. Sehingga, Omnibus Law menjadi sebuah kebijakan yang muaranya pada kepentingan kapitalisme.
“Omnibus Law ini menjadi payung hukum, melegitimasi perampasan ruang hidup, demi akumulasi kapital. Menguntungkan siapa? sudah tentu investor, dan merugikan siapa? jelas kelas buruh, petani, kaum perempuan dan kaum tertindas lainnya,” terang Korlap yang akrab disapa Elvara, kepada lpm kultura (16/7/2020).
Gerakan Rakyat Menggugat aksi di depan kantor DPRD Ternate (Foto/Ajun) |
Bagi dia, Omnibus Law ini sangat
berbahaya terhadap seluruh rakyat. Dampaknya juga merasuk ke segala sektor,
termasuk sektor agraria dan perempuan. Di sektor buruh juga cukup fatal.
Pesangon akan dihapus, PHK terhadap buruh akan mudah terjadi, cuti dari haid
hingga melahirkan dihilangkan hingga disektor lingkungan Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan (Amdal) akan dihilangkan.
Tak hanya itu, RUU Cipta Kerja juga dianggap berdampak pada sektor pendidikan bila disahkan. Sebab, akan melanggengkan neoliberalisme di institusi pendidikan tinggi dan berorientasi pasar dan mengabaikan pendidikan kritis serta akses pendidikan bagi rakyat miskin.
“Pendidikan sekarang sudah diliberalisasi, bila disahkan lagi (Omnibus Law), maka barang tentu pendidikan kita akan tercerabut ke dalam jurang, jadi budak,” tutur Ahmad, salah satu orator.
Gerakan Rakyat Mengguggat menilai, disituasi pandemi saat ini, pendidikan harus digratiskan karena banyak pelajar dan mahasiswa tidak mampu membayar uang semester atau uang kuliah. Wabah menjadi penyebab dimana, pelajar dan mahasiswa yang rata-rata dari keluarga ekonomi rendah dan kelompok rentan tak mampu membiayai kebutuhan sekolah.
Hingga sejauh ini, tidak ada tindakan progresif dari pemerintah disektor pendidikan. Gerakan Rakyat Mengguggat mengatakan seharusnya pemerintah mengambil kebijakan melindungi rakyat dari kebodohan, kesehatan dan kesejahteraan bukan sebaliknya, bikin susah rakyat.
Tak hanya itu, mereka juga menyoroti pencabutan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) dari program legislasi nasional (Prolegnas) prioritas tahun 2020 yang dinilai dapat melindungi korban kekerasan seksual dan kelompok rentan.
Bagi mereka, dicabutnya RUU PKS dari Prolegnas menandakan pemerintah ‘membiarkan’ pelaku kekerasan terhadap perempuan bebas keliaran dan tidak melindungi korban dari ancaman tersebut.
Apalagi, dalam catatan tahunan Komnas Perempuan tahun 2019 kasus kekerasan terhadap perempuan meningkat dari tahun sebelumnya menjadi 431.471 kasus atau naik sekitar 6 persen.
“Bila dicabut, maka terbukti pemerintah dan DPR melegitimasi peningkatan angka kekerasan seksual,” tutur Fajri, korlap Gerakan Rakyat Menggugat.
Reporter: Harisa Tarsono dan Fahdi Ar.
Editor: Ajun