Mahasiswa IAIN kembali aksi protes, menuntut UKT digratiskan selama pandemi, Senin (27/7/2020). FOTO Kultura/Amran Tawary |
lpmkultura.com -- Aksi mahasiswa Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ternate terus berlanjut pada Senin (27/7/2020). Sejak mendirikan posko perjuangan di lingkungan kampus kurang lebih 40 hari, mereka terus mendesak pihak kampus agar memberi keringanan pembebasan Uang Kuliah Tunggal (UKT) selama pandemi.
Aksi mahasiswa dengan mengatasnamakan Aliansi Mahasiswa IAIN Bersatu ini melakukan demonstrasi di depan rektorat kampus, di mulai sejak pukul 8.00 Wit pagi. Ini merupakan aksi lanjutan dari aksi beberapa pekan kemarin, baik aksi online maupun secara langsung.
Aliansi mahasiswa ini merasa kecewa karena tuntutan mereka yang di layangkan kepada pihak lembaga kampus pada Jumat dua pekan lalu belum juga diakomodir. Depalan tuntutan aliansi diantaranya, menolak Surat Keputusan (SK) Rektor IAIN Nomor 133 Tahun 2020 tentang Mekanisme Keringanan Uang Kuliah Tunggal (UKT) bagi Mahasiswa di Tengah Wabah Pandemi Covid-19. Mereka meminta agar SK ini dicabut karena dinilai tidak berpihak pada mahasiswa.
Mereka juga menolak SK Menteri Agama (Menag) Nomor 515 tentang Keringanan Uang Kuliah Tunggal (UKT) pada Perguruan Tinggi Keagamaan Negeri (PTKN), meminta transparansi anggaran kampus dan dispensasi pembayaran UKT tanpa syarat.
Kordinator Aksi, Riskiyawan mengungkapkan bagaimana lembaga kampus tidak mau kompromi menurunkan standar pembayaran bahkan di level terkecil kisaran 50 persen.
"Kalau pun semisalnya berbagai kondisi saat ini yang di alami pihak lembaga dan tidak mampu mengakomodir, maka titik kompromis kami minimum 50%," ujar Riskiyawan kepada tim LPM Kultura di tengah aksi berjalan.
Riski bersama teman-teman yang tergabung dalam aliansi mahasiswa ini bertahan di posko sejak aksi protes menolak UKT menggema di berbagai daerah. Sampai saat ini, karena di terpa pandemi, sebagian besar dari mereka juga belum membayar UKT.
Disisi lain, organisasi kemahasiswaan di intra kampus pun tak berkutik lantaran sudah dibekukan pihak kampus.
Aksi yang berjalan selama kurang-lebih 8 jam itu usai hingga 15:30 WIT. Aksi berjalan masif, suara lantang beberapa orator penyampaikan keresahan atas kekecewaan mereka terhadap lembaga kampus.
Riskiyawan orasi di depan gedung rektorat kampus IAIN, Senin (27/7/2020) FOTO Kultura/Amran Tawary |
"Sampai saat ini rektor institut agama Islam Ternate belum menempati janji," teriak massa aksi di kerumunan.
Kampus islam negeri itu memang sudah punya skema penurunan pembayaran UKT melalui SK Rektor IAIN, Samlan Ahmad, yang terbit pada 18 Juni 2020 lalu. Namun, hanya 10 persen besaran keringanan uang kuliah yang dipangkas. Itupun hanya diperuntukan kepada mahasiswa yang terkena dampak. Berdasarkan SK Rektor, klasifikasi mahasiswa yang terkena dampak Covid-19 itu seperti orang tua meninggal, di-PHK dari pekerjaan, usaha bangkrut, dan pendapatan menurun drastis.
Selain dari itu, termasuk mahasiswa yang baru mendaftar melalui jalur seleksi masuk tahun akademi 2020/2021 tidak berlaku. Kampus mengabstraksikan mahasiswa yang terkena dampak Covid-19 hanya kelompok masyarakat tertentu.
Besaran keringanan UKT 10 persen, menurut hasil pertemuan mahasiswa dengan pihak kampus di ruang aula IAIN, dikatakan tidak lagi dengan persyaratan alias tanpa syarat. Namun, permintaan pengratisan UKT tidak bisa dipenuhi. Sekalipun sudah ditawarkan 50 persen.
Kampus berdalih keuangan lembaga masih bergantung pada UKT dan salah satunya status kampus belum jadi Badan Layanan Umum (BLU).
Suroyono, mahasiswa Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Pendidikan di IAIN Ternate menyebut, harusnya kampus memberikan keringanan, karena selama pandemi, mahasiswa sudah membayar UKT, ditambah harus membeli qouta interntet.
Hasil investigasi yang dibentuk aliansi mahasiswa, kata Suryono mengungkapkan bahwa sepanjang bulan Maret sampai perkuliahan selesai, pengeluaran mahasiswa saat mengikuti kuliah online bahkan mencapai Rp.500.000 sampai Rp. 1.000.000 untuk beli qouta internet.
Besaran pengeluaran itu, tidak sepadan dengan perkuliahan jarak jauh yang dirasa tidak maksimal. Perkuliahan yang harus berjalan 16 kali pertemuan, sebagian hanya ikut 8 kali. Belum lagi yang tidak memiliki qouta internet dan berada di kampung halaman.
"Apalagi jaringan di kampung (yang tidak stabil) dan pulsa data (qouta internet,red) di kampung itu memang mahal," tutur mahasiswa semester lima Prodi Pendidikan Agama Islam itu.
Pendapatan orang tua selama pandemi memang down. Apalagi, kebanyakan mahasiswa rata-rata dari keluarga yang kurang mampu.
Aliansi mahasiswa tetap bersikukuh menuntut pembebasan UKT sekalipun keputusan kampus tak lagi bisa dikompromikan.
"Kami masih tetap istiqomah berjuang menuntut pendidikan gratis," tambah Suryono.
Mereka akan mengupayakan membangun koordinasi dengan seluruh mahasiswa di Kota Ternate untuk mendorong pemerintah daerah turun bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan yang tertuang dalam Undang-Undang Perguruan Tinggi (UU PT).
"Karena di dalam UU PT, Pemerentidah Daerah punya kewajiban yang sama untuk melihat kondisi ekonomi mahasiswa yang benar-benar tidak mampu," pungkas Riskiyawan.
Reporter: Amran Tawary dan Laode Julmin
Editor: Ajun