Massa aksi aliansi Perempuan Maluku Utara Bergerak aksi di depan gedung DRPD Kota Ternate mendesak DPR-RI mensahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS), Kamis, 9 Juli 2020 (FOTO/Fahdi) |
lpmkultura.com – Lebih dari 30 orang mahasiswa dari berbagai kampus memenuhi ruas jalan Tugu Makugawene, Kalumata Puncak, Ternate, sekitar pukul 11.00 Wit. Mereka tergabung dalam Perempuan Maluku Utara Bergerak, menyoroti Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) yang ditarik dari program legislasi nasional prioritas 2020.
Mereka membawa beragam atribut, mulai dari poster dan spanduk dengan tertulis desakan terhadap DPR-RI mengsahkan RUU PKS dan menolak Omnibus Law – regulasi ‘sapu jagat’ yang dinilai lebih berpihak pada kepentingan bisnis ketimbang kesejahteraan rakyat.
“RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) yang masuk dalam prolegnas prioritas 2020 ini harus segera disahkan sebagai produk UU karena dapat melindungi kaum perempuan dan anak dari pelaku kekerasan yang hingga kini masih terus meningkat,” ujar Dea Kaijely, kordinator perempuan Maluku Utara, pada Kamis, 9 Juli 2020.
Dea mengutip data dari Komnas Perempuan 2019, bahwa kasus-kasus pelecehan dan kekerasan terhadap perempuan dari 2014 sebanyak 293.220 kasus hingga 2018 meningkat menjadi 406.178 kasus. Kemudian, pada 2019 meningkat lagi menjadi 431.471 kasus.
Angka kasus ini, menurutnya, yang terakumulasi dari kasus yang terlaporkan saja. Masih banyak yang tidak terlaporkan. Dalam masyarakat patriarkis, kekerasan seksual terhadap perempuan dianggap tabu, sehingga harus ditutup rapat.
“Kasus kekerasan ini tidak bisa hanya dilihat sebagai angka-angka belaka, melainkan ada kehidupan yang dihancurkan, fisik dan psikis terganggu dan membutuhkan bantuan untuk keluar dari rasa traumatik yang besar, bahkan tak jarang juga ada korban mengakhiri hidupnya karena tekanan dari berbagai pihak,” terang Dea mengutip pernyataan sikap aliansi Perempuan Malut Bergerak.
RUU Penghapusan Kekerasan Seksual memang sudah lama mandeg di DPR sejak berhasil dimasukkan dalam prolegnas prioritas 2015-2019. Sampai tahun 2020 bahkan dicabut dari prolegnas. DPR RI memang tidak pernah serius membahas undang-undang yang melindungi perempuan, anak-anak, kelompok rentan seperti difabel, LGBTQ, bahkan laki-laki dari kekerasan seksual.
DPR lebih memilih mengebut RUU Omnibus Law Cipta Kerja, regulasi yang banyak ditolak kalangan organisasi dan masyarakat sipil ini. Paket kebijakan dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja kabarnya akan dibahas dalam sidang paripurna DPR-RI pada 16 Juli 2020 nanti.
Perempuan Maluku Utara Bergerak pasca aksi duduk di depan kantor DPRD Kota Ternate (FOTO/Ajun) |
Logika Omnibus Law, bagi Dea, murni logika kapital yang keberadaannya mempermudah laju investasi dalam negeri yang sarat akan kehancuran ekologi, perampasan lahan petani secara masif, pemutusan hubungan kerja (PHK)buruh, marginalisasi perempuan, dan lainnya.
“Sejatinya Omnibus Law mengkonsolidasikan para oligarki untuk mendulang kekayaan dengan mengorbankan rakyat Indonesia.”
Aliansi perempuan Maluku Utara Bergerak yang sudah berkumpul dan berorasi di Tugu Makugawene itu kemudian bergerak menuju ke kantor DPRD Kota Ternate, Maluku Utara, yang tak jauh dari tugu.
Di depan pintu depan DPRD, mereka menampilkan aksi triatikal dengan dramatik kekerasan terhadap perempuan, baik di ruang privat maupun publik. Isak tangis tak terbendung. Tetesan air mata mengalir perlahan. Seperti peluit menabuh tragedi.
DPRD Ternate justru menabur janji di tengah terhimpitnya kasus-kasus kekerasan yang tak kunjung diselesaikan. “Ada yang manis tapi bukan gula,” teriak salah satu orator “Janji” sahut massa aksi ramai-ramai.
Tidak lama kemudian, massa aksi aliansi Perempuan Bergerak Maluku Utara, membubarkan diri. Menurut Dea, mereka akan terus mengawal RUU PKS sampai disahkan. Baik melalui sosial media, dan pergerakan di aksi lanjutan nanti.
Mereka juga akan intens mengawal RUU PKS dengan melakukan edukasi-edukasi terkait urgensi pengesahan rancangan undang-undang perlindungan terhadap kelompok rentan ini, baik di kampus maupun di ruang diskusi dan masyarakat secara luas.[]
Reporter: Fahdi AR. Jusuf
Editor: Ajun