Foto usai sidang ke gugatan kasus drop out di depan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Ambon, Maluku pada Selasa 4 Agustus 2020 (Dok/istimewa) |
lpmkultura.com -- Human Rights Watch mendesak Universitas Khairun agar memulihkan kembali hak empat mahasiswa yang di drop out (DO) setelah ikut aksi protes damai menyuarakan aspirasi rakyat Papua di depan kampus Muhammadiyah Maluku Utara pada 2 Desember 2019 lalu.
“Universitas Khairun harus mendukung kebebasan akademik dan kebebasan berekspresi, bukan malah mengusir mahasiswa, secara damai, mengungkapkan pandangan mereka,” kata Andreas Harsono, peneliti senior Indonesia dari Human Rights Watch. “Universitas Khairun seyogyanya memasukkan para mahasiswa tersebut lanjut studi mereka semester ini dan memastikan lingkungan universitas yang melindungi kebebasan berperndapat.”
Gugatan atas kasus dikeluarkan secara sepihak dari kampus ini juga sedang berlangsung di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Ambon, Maluku, sejak 27 April 2020 di dampingi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Ansor. Namun, di tengah berlangsungnya penggugatan, pada tanggal 13 Juli 2020, Polres Ternate justru menuduh Arbi M. Nur, salah satu mahasiswa korban DO, dengan dakwaan "makar" dan "penghasutan".
Arbi Nur disebut menghadapi kemungkinan 20 tahun penjara atas tuduhan makar dan 6 tahun atas tuduhan penghasutan. Ia belum ditangkap karena berada di Ambon.
Dikutip dari keterangan tertulis Human Rights Watch yang diterima lpm kultura pada Kamis (6/8/2020) Andreas mengatakan, pemerintah Indonesia harus selidiki masalah ini terutama dugaan penggunaan kekuatan berlebihan oleh polisi terhadap para mahasiswa.
Seperti diberitakan sebelumnya, selain Arbi M. Nur (Prodi Kimia), tiga orang lainnya--Ikra S Alkatiri (Prodi PPKn) dari Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Fahyudi Kabir (Prodi Elektro dari Fakultas Teknik, serta Fahrul Abdullah dari Prodi Kehutanan, Fakultas Pertanian-- ikut terlibat dalam aksi yang di gelar Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP) Maluku Utara.
Mereka menyuarakan pelanggaran hak asasi manusia di Papua, menuntut pemerintah Indonesia membebaskan tahahan politik Papua dan memberikan penentuan nasib sendiri kepada orang Papua di peringatan hari deklarasi kemerdekaan west Papua 58 tahun silam, tepat 1 Desember 1961.
Aksi depan kampus Universitas Muhammadiyah Maluku Utara pada 2 Desember 2019 (FOTO/Ajun) |
Aksi ini kemudian dibubarkan secara paksa oleh gabungan anggota TNI-Polri. 10 orang ditangkap, termasuk keempat mahasiswa dan satu orang mahasiswa dari Universitas Muhammadiyah, setelah sebelumnya direpresif. Beberapa diantaranya babak belur dan baru dibebaskan usai ditahan selama 27 jam di Polres.
Data identitas mahasiswa di kantongi polisi dan diserahkan kepada pihak kampus. Ini juga yang menjadi dalih rektor Unkhair, Husen Alting, menerbitkan Surat Keputusan (SK) pemberhentian studi (DO) empat mahasiswa pada 12 Desember. Mahasiswa dinyatakan telah telah "mencoreng nama baik universitas, melanggar etika mahasiswa, dan mengancam keamanan nasional.". Walau begitu, keempatnya tanpa dimintai keterangan seperti pengakuan Arbi M. Nur kepada lpm kultura 26 Desember lalu.
Organisasi nirlaba yang berbasis di Amerika Serikat ini mendesak agar Polres Ternate mencabut tuntutan terhadap Arbi M. Nur yang melanggar hak atas kebebasan berekspresi. "Dia tidak melakukan kesalahan dalam memprotes secara damai tentang tahanan politik atau penentuan nasib sendiri di Papua," kata Harsono
Organisasi ini juga mendesak pemerintah Indonesia harus mencabut tuntutan terhadap tahanan politik Papua dan Maluku yang sekarang ditahan di beberapa kota di Indonesia, termasuk Ambon, Fakfak, Wamena, Sorong, dan Jayapura.
Reporter: Ajun