Ilustrasi/rencamu.id |
Oleh: Zul Moti*
"Senior bukan dewa yang selalu disembah, dan junior bukan kerbau yang selalu diperintah."
UNGKAPAN INI LAHIR KARENA penulis terinspirasi dengan sabda seorang aktivis pergerakan yakni Soe Hok Gie, Guru bukan dewa yang selalu disembah dan murid bukan kerbau yang selalu diperintah, dan penulis mereduksinya dalam konteks klasifikasi klas dalam mahasiswa.
Sejatinya, dunia kampus bisa disebut sebagai proses transformasi dan pengembangan pengetahuan yang sifatnya ilmiah dan demokratis. Kampus juga menjadi media komunikasi formal yang cenderung membentuk karakter mahasiswa yang beradab serta sebagai sarana pembentuk hubungan emosional antara mahasiwa dengan dosen maupun antara mahasiswa dengan mahasiswa. Kampus juga haruslah menjadi ruang pertarungan argumen dan semacamnya.
Tapi terkadang kampus juga dijadikan sebagai tempat pemenuhan nafsu atas tindakan kekerasan yang beriorientasi pada perbudakan.
"Senior" dan "Junior" adalah dua label yang melekat pada setiap individu maupun kelompok yang tak asing dalam setiap universitas. Relasi klas senior dan junior sama halnya relasi kuasa di lingkungan sosial kampus, dimana ada yang menguasai dan ada yang dikuasai. Relasi senior dan junior ini terjadi silih berganti dan relasi ini terus meluas dan menular ke dalam mindset dan akhirnya menetap dan menjadi semacam budaya atau doktrinan politik mahasiswa yang terus diadopsi.
Kedua kata ini direduksi menjadi semacam otoritisasi kuasa sama halnya "akak" dan "adik". Dan ini identik dengan zaman perbudakan, dimana kata "akak" plesetan dari "tuan" dan "adik" tak lain adalah "budak".
Senioritas, secara sederhana dapat diartikan sebagai orang yang lebih tua dalam segala hal serta berperilaku yang memprioritaskan status dan diperoleh dari umur atau lamanya bekerja. Dalam dunia kampus, kata senioritas dijadikan sebagai power untuk menguasai segalanya terhadap junioritas.
Secara faktual, hal ini nampak berlaku di kegiatan Inforient/Ospek disetiap penerimaan mahasiswa baru yang lebih pada tindakan kekerasan atas nama mendidik. Problem mendasar dari relasi ini (senior dan junior) adalah martabat dan status senior seringkali dianggap sebagai harkat tertinggi di kampus, dan nuansa ini mirip sistem feodal zaman dulu. Tidak heran jika muncul berbagai praktek kekerasan yang mengatasnamakan senioritas di berbagai kampus-kampus.
Hal ini sangatlah mengerikan, dan satu perbudakan klas yang coba dipraktekkan dalam lingkaran kampus yang dianggap wajar. Alhasil, akan menciptakan sebuah proses perbudakan, tekanan psikologi dan tindakan kekerasan yang berujung pada kematian. Seperti kejadian di salah satu mahasiswi kedokteran asal perguruan tinggi swasta terkemuka di Makassar. Ia harus meninggal karena diduga dipelonco oleh seniornya. Atau kasus serupa di Malang, seorang mahasiswa tingkat atas terbukti melakukan tindakan tidak manusiawi kepada mahasiswa baru saat ospek berlangsung, serta aksi minum air ludah yang dilakukan oleh senior terhadap junior di Universitas Khairun pada tahun lalu.
Sebuah perilaku yang tidak manusiawi juga didorong oleh matinya cara berpikir mahasiswa, membunuh mental dan psikologi mahasiswa ini biasanya penulis sebut sebagai patologi. Kartini Kartono dalam bukunya, Patologi Sosial (2009) menyebutkan bahwa patologi (penyakit, ,masalah sosial) adalah sebuah tingkah laku yang bertentangan dengan norma kebaikan, stabilitas lokal, pola kesederhanaan, moral, hak milik, solidaritas kekeluargaan, hidup rukun bertetangga, disiplin, kebaikan dan hukum formal.
Dari gambaran diatas, jika digiring ke dunia kampus yang membentuk relasi klas antara senior-junior, dapat disimpulkan secara sederhana bahwa relasi klas ini adalah sebuah perilaku dehumanisasi yang diberlakukan dan memproduksi watak dan corak berfikir yang otoriter ketimbang edukatif dan transformatif. Dengan keadaan seperti ini, sudah tentu menjadi sebuah embrio patologi dari mahasiswa lama ke yang baru dan akan memperpanjang garis perbudakan antar mahasiswa dalam lingkungan kampus.
Relasi senior dan junior ini harus di bangun dengan moralitas, humanis dan nilai-nilai ideal mahasiswa. Menurut Durkheim dalam buku Teori Sosiologi, Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Postmodern, Edisi Kedelapan (2012) yang ditulis oleh George Ritzer, menyebut moralitas adalah suatu fakta sosial maka ia dapat memaksakan kewajiban kepada para individu yang menggantikan kepentingan diri mereka. Akibatnya, Durkheim percaya bahwa masyarakat harus membutuhkan suatu moralitas utama yang kuat.
Dari ungkapan Durkheim, dapat disimpulkan bahwa setiap perilaku harus didasarkan pada moralitas, etika, edukasi dan sudah tentu harus manusiawi sebagai basis utamanya agar memperoleh kesetaraan dan kebebasan bagi setiap individu maupun kelompok. Namun jika tidak berlandaskan pada moralitas, maka segala kehendak dan nafsu berkuasa akan selalu menjadi tujuan bagi setiap manusia.
Olehnya itu, relasi ini harus dikritik untuk merekonstruksi paradigma berfikir mahasiswa bahwa musuh kita yang sesungguhnya adalah kekuasaan yang menindas, serta agar tidak menciptakan satu dendam masa lalu bagi mahasiswa yang akan diwariskan di setiap regenerasi. Kita harus kembali menelaah apa esensi dan eksistensi mahasiswa, agar dapat memutarbalikan tradisi yang berlandaskan nilai ideal mahasiswa, sehingga kampus menciptakan nuansa yang mendidik, manusiawi dan etis.
*Penulis adalah Aktivis Mahasiswa, Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI) Ternate
Note: Tulisan penulis merupakan tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi LPM Kultura. Ingin berkontribusi, baca ketentuannya disini.