Diskusi memperingati Hari Tani Nasional di Tanam Soe Hok Gie, FIB Unkhair, Rabu (30/9/2020) malam. FOTO: Ajun/LPM Kultura |
lpmkultura.com -- Memperingati Hari Tani Nasional, Gerakan Rakyat Menggugat (GRANAT) Ternate mengadakan festival dan diskusi, Rabu (30/9/2020) malam, di Taman Soe Hok Gie, Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Khairun (Unkhair). Topik diskusi di Festival malam 30 September itu "Tanah untuk Petani Penggarap" dengan diakhir diskusi membacakan sebuah teks manifesto politik.
Pemateri yang hadir diantaranya, Supriyadi Sawai, mewakili Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Maluku Utara, Aslan mewakili Sekolah Critis (SC) Maluku Utara, Supriyadi Husen dari Front Nahdlyin Kedaulatan untuk Sumber Daya Alam (FNKSDA), Astuti N. Kilwow, pegiat isu perempuan, dan Fajri Ibrahim mewakili GRANAT.
Supriyadi Sawai membuka diskusi dengan mengkritik frasa "penggarap" di tema acara. Dia mengatakan, frasa penggarap tidak tepat untuk petani. Bila itu disematkan, sama halnya mengamini tanah itu milik negara. Dengan kata lain petani kalah lebih dulu saat berjuang merebut hak atas tanah oleh negara. "Jadi sewaktu-waktu torang (kami) dapat gusur karena cuma (petani) penggarap."
Dia memaparkan problem-problem yang terjadi pada masyarakat adat, bagaimana masyarakat adat berjuang mempertahankan tanahnya, apa saja hak-hak masyarakat adat atas tanah hingga perjuangan pengakuan negara atas hak masyarakat adat. Tanah, kata Supriyadi sebagai identitas masyakarat adat yang tidak bisa dilepas pisahkan. Namun, negara abai dan lebih mementingkan investasi ketimbangan hak rakyatnya, terutama merampas tanah atas nama hukum. "Negara justru melegalkan investasi, tapi kejujuran hukum tidak ada."
AMAN, bagi dia optimis memperjuangkan pengakuan atas tanah masyarakat adat. Hingga saat ini mereka berjuang secara normatif, mulai dari melakukan pemetaan secara adat berbasis partisipatif, mendorong di daerah untuk pengakuan masyarakat adat hingga level nasional agar supaya Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat disahkan.
Aslan melihat dari sisi dimana perampasan tanah terjadi secara masif di wilayah Halmahera Tengah sejak hadirnya perusahaan sekira 1970-an silam. Warga di bagian Gebe misalnya masih alami pemiskinan dan ketimpangan penguasaan hak atas tanah. Apalagi, beberapa daerah lain, misal di daerah Weda Tengah, yang saat ini digerogoti industri ekstraktif pertambangan. Ketimpangan semakin tajam.
Menurut data AMAN sendiri, di daerah Halteng memiliki izin tambang yang terbilang banyak. Terdapat 66 izin tambang, 1 izin perkebunan sawit dan 2 izin UPHHK-HA. "Perampasan-perampasan yang terjadi adalah kepentingan elit oligarki nasional, pejabat di daerah termasuk kesultanan Tidore yang ikut terlibat di industri tambang," bebernya.
Sementara, Supriyadi Husen menuturkan bagaimana agama (terutama islam) juga terlibat aktif melawan perampasan hak atas tanah. Dia mengambil sebuah contoh dimana K.H. Zainal Mustafa melakukan perlawanan terhadap fasisme Jepang yang saat itu menduduki wilayah Indonesia. Pertempuran tersebut pun dikenal dengan pertempuran singaparna. Mempertanahkan tanah dari keserakahan fasisme termasuk kolonialisme.
Bagi dia, perampasan tanah tak dibenarkan dalam islam. "Merampas tanah adalah haram dan termasuk perbuatan zdolim yang dilarang dalam agama," tandasnya.
Perjuangan Perempuan Melawan Perampasan Tanah
Keterlibatan perempuan dalam menegakkan kedaulatannya atas tanah tentu tak lepas dari sistem ekonomi politik hari ini yang menindas. Perempuan termasuk yang paling dirugikan dan dimiskinkan. Astuti melihat itu dengan mengutip istilah "feminisasi kemiskinan". Kemiskinan terhadap perempuan akibat dari sistem sosial yang timpang.
Bagi penulis buku "Tabobo, Jerit Sang Puan di Atas Bongkahan Emas" ini, problem agraria dan ekologi--tak terkecuali masyarakat adat--tidak terlepas dari praktik perampasan ruang hidup oleh korporasi padat modal dan dibekengi kekuatan politik dalam hal ini kekuasaan negara.
Dia menuturkan kondisi di Teluk Kao yang sungainya diduga tercemar akibat aktivitas pertambangan. Hasil riset juga menemukan warga terdampak berbagai penyakit, mulai dari panu, bisul hingga kangker. Termasuk salah seorang perempuan yang kena kangker namun penyebabnya tak diperiksa lebih lanjut.
"Kemungkinan bahwa aktivitas perempuan yang berhubungan dengan sungai sehingga rentan terserang penyakit."
Astuti juga menyentil industri kepala sawit di Gane, Kabupaten Halmahera Selatan yang juga memberi dampak terhadap perempuan dan warga disana. Tanaman monokultur ini cukup memberi dampak perampasan ruang hingga konflik horizontal yang diciptakan koroporasi. Konflik itu juga tambah Astuti sampai petani yang menolak hadirnya kepala sawit membangun sebuah mesjid dan diberi nama "mesjid perjuangan".
Dia ingat betul pembangunan mesjid itu juga diinisiasi oleh perempuan-perempuan Gane. Salahnya mama Yani. Astuti ingat percakapan dia dengan mama Yani. Saat ditanyakan kenapa tidak menerima saja perusahaan, "saya tolak ini bukan untuk saya, tapi untuk dorang ini ni," sembari tangannya menunjuk seorang bocah SD cucunya. Lanjutnya, "kalau saya ini hidup so tra (tidak) lama, so mau mati sudah. Tapi dorang (mereka), kalau saya mati dorang tinggal dimana lagi."
Perjuangan perempuan ini harus dilihat tidak saja mengembalikan hak atas tanah, namun juga memulihkan martabat dan masa depan anak cucunya.
Dilain sisi, Fajri Ibrahim mengungkap juga panjang lebar terkait dengan problem agraria dan menyoal bagaimana perlawanan atas ketimpangan dan perampasan ruang hidup di Maluku Utara khususnya.
"Untuk melawan itu, kita tidak saja membutuhkan diskusi, namun harus dimaterilkan melalui aksi, pengorganisiran petani, hingga pendidikan politik kepada rakyat agar bisa melawan," pungkasnya diakhir diskusi.
Reporter: Ajun