Salah seorang peserta aksi penolak Omnibus Law pada 8 Oktober 2020 yang ditangkap dan dipukul oleh polisi. FOTO/Tandaseru |
lpmkultura.com -- Demonstrasi yang memprotes disahkannya Omnibus Law UU Cipta Kerja sepanjang bulan Oktober di seluruh tanah air banyak yang menjadi korban kriminalisasi aparat kepolisian. Mereka ditangkap, dipukul, ditahan hingga ditetapkan sebagai tersangka dan "provokator" dalam aksi.
Walau begitu gelombang protes kian hari meluas dan membekak dimana-mana. Hampir semua kalangan organisasi mahasiswa, buruh, petani, perempuan, pelajar hingga masyarakat sipil turun ke jalan.
Di Ternate, demonstrasi menolak UU sapu jagad juga masif terjadi sejak 6 Oktober--puncaknya pada 8 Oktober. Kantor walikota, DPRD, Jalan Bandara Babullah, dan sepanjang jalan di pusat kota jadi lapangan arak-arakan protes. Hampir setiap hari rapat akbar menentukan tanggal aksi mengepung pusat kota dan menutup akses jalan umum.
Ratusan aparat kepolisian dengan pelaratan lengkap juga diarahkan mengamankan demonstrasi. Yang terjadi seperti rahasia umum: ricuh, bentrok, bubar dan ditangkapi peserta demonya. Dibalik itu tak jarang nama "anarko" dikait-kaitkan sebagai dalang--walau tak pernah terbukti atau dibuktikan polisi.
Dalih aparat "mengamankan" massa demonstran tak berlaku di lapangan. Massa aksi justru dikejar, dipukul hingga babak belur lalu ditahan. Ada yang dibebaskan dengan wajah lebam, badan memar dan lemas, hingga kepalanya sobek dan harus dijahit. Sebagian lagi dikatakan reaktif COVID-19.
Semua itu bermula dari diketoknya palu sidang pada 5 Oktober lalu dalam rapat paripurna DPR sebagai petanda sahnya RUU Cipta Kerja jadi undang-undang.
Dari situ pula, semacam dimulainya drama: naskah berubah-ubah dari versi DPR 5 Oktober setebal 905 halaman, naik setebal 1.052 halaman pada 9 Oktober, kemudian hilang 17 halaman hanya dalam tiga hari jadi 1.035 halaman. Berubah drastis ketika diserahkan ke pemerintah jadi 812 halaman dan membekak lagi jadi 1.187 halaman. Artinya ada 375 lembar yang ditambahkan. Entah dari mana asal dan datangnya ratusan lembar itu.
Simpang-siurnya UU Cipta Kerja dan versi aslinya masih mengawang tak membuat pemerintah menindak warga dan menyebut hoax bagi yang mengkritisinya dan memaksa publik percaya bahwa UU yang banyak ditentang itu dibuat demi kemaslahatan rakyat Indonesia.
Apa yang ada dalam benak pemerintah bisa ditebak: mengebut untuk menyengsarakan buruh dan rakyat dan memberi jalan bagi oligarki mengeruk habis sumber daya alam. Artinya aturan ini dibikin agar "asal bapak (oligarki) senang" walau boroknya regulasi itu sudah ditelanjangi berbagai riset dari kalangan akademisi hingga buruh dan masyarakat sipil lainnya.
Represi Berulang Kali
Pada 8 Oktober, di Jalan Pahlawan Revolusi, Kelurahan Muhajirin, Ternate Tengah tepat depan kantor Walikota Ternate dan taman kota Land Mark, kericuhan dan bentrok antar aparat dengan massa demonstrasi terjadi. Massa dipukul mundur oleh aparat menggunakan gas air mata (lacrimator) dan water cannon hingga melewati pasar Higienis, Gamalama. Sepanjang jalan Sultan M. Djabir Sjah, Ternate Tengah massa demonstran melakukan aksi vandalis hingga sejumlah fasilitas umum dirusak.
Akhir dari kericuhan itu, 28 mahasiswa ditangkap. Dua orang diantaranya dilarikan ke rumah sakit. Pasca ricuh, Kabid Pertanaman dan Taman Disperkim, Muchlis Latif mengatakan setelah menerjunkan tim Disperkim untuk melakukan pendataan sekaligus pembersihan terhadap fasilitas umum yang dirusak massa aksi, mereka mengantongi kerugian fasilitas publik di kawasan zona ekonomi terpadu, hampir Rp 1 miliar. Tak sampai disitu, 5 mahasiswa dinyatakan reaktif.
Fahri Taher mengisahkan bagaimana represi aparat dibalik ricuh. Sekira 16.10 dia mengamankan diri dibalik polisi karena massa melempar batu ke arah polisi di kantor walikota. Dia pikir akan aman disana, namun yang terjadi diluar dugaan. Polisi dan Satpol PP yang melihatnya langsung menyerobot ke arahnya.
"Saya sudah tidak bisa berbuat apa-apa karena banyak sekali pukulan dan tendangan yang kena bagian badan dan wajah saya," kisahnya. Dia hampir tidak sadarkan diri hingga diseret ke Polres Ternate.
Demonstrasi menolak UU Cipta Kerja hari itu terjadi dihampir sepanjang pusat kota. Diantaranya depan kantor DPRD, Walikota, dan di jalan Bandara Babullah--depan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, kampus I Universitas Kahirun--yang belakangan juga bergabung di pusat kota.
Pada 13 Oktober, ribuan massa demonstrasi kembali menduduki kawasan kantor walikota. Mereka tetap memprotes regulasi yang memangkas, menghapus dan menyederhanakan sejumlah aturan yang disebut dalam Omnibus Law. Hingga pukul 18.00, ricuh terjadi. Massa aksi tunggang langgang mengamankan diri berpencar: sebagain lari ke arah utara jalan Pahlawan Revolusi, yang lain lari ke arah Falajawa arah selatan kota.
Namun, 21 orang dibekuk aparat. Bukannya di proses oleh Polres Ternate, namun diangkut ke Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Maluku Utara untuk diperiksa. 10 orang lainnya sempat dijerat unsur pidana pasal 212 dan akan diproses hukum namun dibebaskan karena belum cukup bukti.
Seorang siswa SMA sempat menceritakan kepada kami Selasa 13 Oktober malam itu sesaat setelah keluar dari Ditreskrimum Polda Malut. Dia merupakan salah satu peserta aksi yang ditangkap. "Saya dipukul di bagian kaki dan dirusuk. Saya mencoba untuk melindungi wajah saya dari pukulan sehingga tidak kena,"terang pelajar itu yang sudah digunduli kepalanya.
Tujuh hari sesudahnya, protes berlangsung kembali. Tepat pada 20 Oktober ruas jalan utama di depan Jatilland Mall dan Masjid Raya Almunawwar dilumpuhkan oleh ribuan pengunjuk rasa sebelum ke kawasan walikota hingga pukul 16.15 WIT. Ricuh hampir pecah, beruntung ketegangan dapat dilerai, namun demikian polisi mengamankan satu pendemo.
Pendemo yang disebut diamankan ini lantas mendapat perhatian sejumlah wartawan. Dia diseret naik ke lantai dua gedung kantor walikota. Wartawan yang menyertainya dari belakang dengan maksud merekam dan mengambil dokumentasi untuk kepentingan reportase justru tak diindahkan sejumlah aparat yang berada disana. Saling dorong terjadi di tangga.
Yunita Kadir, jurnalis halmaherapost.com, sempat terjepit dan nyaris tersungkur. Insiden ini berujung sampai ke proses hukum. Forum Pimpinan Redaksi Media Maluku Utara bahkan melaporkan kasus itu ke Polda Malut, kasus itu dalam tahap penyelidikan.
Sumpah Pemuda dan Penangkapan Membabi Buta
Ketegangan terjadi sekira pukul 17.56 WIT di depan kantor walikota. Demonstrasi memperingati Hari Sumpah Pemuda yang jatuh pada tanggal 28 Oktober, 92 tahun lalu itu bersitegang dengan aparat kepolisian. Massa aksi membentuk lingkaran menutup jalan Pahlawan Revolusi, Muhajirin, Ternate Tengah sambil berorasi.
Dari dalam lingkungan kantor walikota, tampak Kapolres Ternate AKBP Aditya Laksimada memberi imbauan agar massa aksi membubarkan diri. Massa aksi yang sebelumnya bernegosiasi untuk menggelar aksi hingga malam hari tak digubris aparat.
Sekitar 550 personil polisi dan 50 personil TNI yang diturunkan mengawal aksi menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja ini bersiap siaga. Semua titik evakuasi telah dipenuhi aparat kepolisian dengan pelaratan lengkap. Massa aksi tampak terkepung. Mobil water cannon maju ke arah massa hingga berjarak sekira 4 meter. Polisi lalu maju mendorong massa aksi ke arah Pantai Falajawa di ikuti tembakan water cannon.
Massa aksi yang tidak melawan dan hanya berdiam diri ini dipaksa bubar. Mereka yang dibagian paling belakang tunggang langgang lari dan dikejar polisi. Sebagian lompak ke pantai Falajawa, yang lain ditangkap dan sebagian lagi lari masuk ke lorong-lorong rumah warga. Walhasil, 14 orang dikabarkan ditangkap.
Pada keesokan harinya, 29 Oktober kemarin, 15 mahasiswa dibekuk polisi lagi depan Polres Ternate dengan alasan tidak ada aksi saat dihari libur peringati Maulid Nabi Muhammad SAW.
Sebelumnya di hari Kamis itu dua gelombang demonstrasi datangi Polres dengan maksud meminta kawan-kawannya yang ditangkap pada peringatan Hari Sumpah Pemuda dibebaskan. Sialnya polisi menanggapi itu dengan brutalitas. Massa aksi dipukul mundur dan dikeroyok. Ada yang babak belur, memar di wajah dan bagian kepala pecah.
Tak lama sejumlah mahasiswa datangi lagi Polres tanpa menggunakan pengeras suara--aksi bisudengan tuntutan serupa, termasuk mendesak pembebasan kawan-kawan yang baru saja ditangkap beberapa jam lalu. Polisi justru merepresi dengan membabi buta. Mereka ditangkap lagi. Dipukul dan diseret masuk ke dalam Polres hingga sekira pukul 21.20 malam Jumat itu dibebaskan.
Tapi usai dilepas, banyak yang babak belur dan memar-memar. Ada yang lemas tak berdaya. Akes, peserta yang ditangkap mengisahkan bahwa lehernya dicekik dan hampir tak bernafas. Rambutnya ditarik dan dipukul bagian mata, rusuk kiri dan kanan.
"Di dalam ruangan saat diambil data, kami ditendang dan ada kawan yang tergeletak karena merasa sakit dibagian bahu akibat dipukul polisi sampai (mungkin) bahu kirinya patah," ujar Akes saat diwawancarai lpmkultura.com, Jumat (30/10/2020).
"Kawan kami berkata tangannya sakir saat diminta data oleh polisi, namun polisi justru bilang secara tidak manusiawi: 'kan belum mati jadi tidak apa'," tambahnya. Ada juga yang dilabrak pakai botol saat diintrogasi.
Namun, Wakapolres Ternate, Kompol Jufri Dukumalamo mengaku para mahasiswa yang baru ditangkap itu dinilai sebagai provokator.
“Mereka yang kita tahan ini karena diduga memprovokasi sehingga diamankan,” kata Jufri ketika dikonfirmasi, Kamis (29/10/2020) kemarin seperti dikutip kabarmalut.com
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) TRUST Maluku Utara Anto Yunus Faruk mengatakan tindakan aparat dalam menindak massa aksi pada 28-29 Oktober merupakan pelanggaran terhadap hukum. Dia bilang, ada yang terluka bahkan kepala bocor karena dipukul.
“Kalaupun ini dipukul oleh polisi maka saya meminta pihak kepolisian untuk bertanggung jawab karena secara etik tindakan-tindakan itu dapat dilakukan dengan pencegahan atau preventif tidak dengan represif," ujar Anto yang juga mendampingi massa aksi yang ditangkap depan Polres.
Menurutnya, aparat kepolisian yang merempresif mahasiswa harus diproses biar ada equality for the law, equality protection of the law, equality under justice the law. Jadi kedudukan yang sama di depan hukum, tambahnya.
Polisi Melanggar Aturan Sendiri
Sepanjang aksi demonstrasi menolak Omnibus Law pada bulan Oktober ini kami mencatat sebanyak 79 orang--belum termasuk wartawan yang diintimidasi--yang sudah ditangkap aparat kepolisian dengan perlakuan di luar batas dan melanggar hak asasi manusia.
Pusat Bantuan Hukum PERADI Ternate dalam keterangan tertulis kepada lpmkultura.com, Jumat (30/10/2020) sore tadi menyebut sikap Kepolisian Resor Ternate saat menangani aksi yang berlangsung beberapa waktu lalu telah keluar dari tugas dan fungsi kepolisian sebagaimana tertuang dalam Pasal 2 dan 13 UU No.2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Disebutkan, polisi harusnya bertindak sesuai ketentuan yang berlaku, bukan dengan cara represif tetapi harus persuasif.
"Jadikanlah kelompok orang yang mengeluarkan pendapat di muka umum itu selayaknya manusia, bukan dengan cara-cara tidak beradab," kata Abdullah Adam, Sekertaris PBH PERADI Ternate. Dia tegaskan agar polisi bekerja sesuai tugasnya sebagai pelayan dan pengayom masyarakat dan juga meminta agar polisi yang bertindak represif diproses secara hukum.
Melihat represifitas aparat belakangan ini terutama saat memprotes Omnibus Law UU Cipta Kerja tak bisa tidak harus merujuk juga pada Surat Telegram Kaporli Jendral Idham Azis nomor: STR/645/X/PAM.3.2./2020 tertanggal 2 Oktober 2020. Surat ini intinya melarang demonstrasi menentang UU Cipta Kerja di tengah pandemi dengan alasannya takut ada klaster COVID-19 terbaru.
Dengan begitu, pemrotes undang-undang Cipta Kerja kerap jadi bulan-bulanan kekerasan aparat.
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dalam laporan "Satu Tahun Jokowi-Maruf: Menginjak-injak Hukum dan Hak Asasi Manusia" menyebut surat Polri itu bertentangan dengan hak menyampaikan pendapat dan Perkaporli No. 9 tahun 2008 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Pelayanan Pengamanan dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapata di Muka Umum.
Masih dalam laporan YLBHI yang terbit pada 20 Oktober itu mengatakan polisi juga telah menjadi alat kekuasaan dan bukan lagi alat negar dengan turut menyisir pernyataan-pernyataan yang mencoba membangun narasi menolak Ominbus Law UU Cipta Kerja.
Dalam kontek kekerasan terhadap massa aksi, YLBHI mencatat dari data kepolisian per 13 Oktober 2020 ada 5.198 peserta aksi yang ditangkap polisi.
Sementara Jejaring Gerakan Rakyat Akar Rumput yang terhimpun puluhan organisasi gerakan masyarakat sipil menerbitkan laporan pada 24 Oktober lalu yang diberi judul "Temuan Tindakan Kekerasan Aparat & Pembungkaman Negara Terhadap Aksi-Aksi Protes Menolak Omnibus Law di Berbagai Wilayah".
Ada 3 temuan lain dalam membungkam aspirasi menolak UU Cipta Kerja diantaranya; ancaman melalui pendidikan, penghalangan aksi massa dan terakhir serangan digital.
Selain itu sepanjang aksi-aksi demonstrasi yang terjadi tanggal 6 Oktober hingga 22 Oktober mereka mencatat fakta-fakta tindak brutalitas aparat dalam penanganan aksi. Yakni menangkap dan merepsesi pelajar dan mahasiswa yang ikut demonstrasi; tidak sedikit diantar massa aksi yang mengalami penyiksaan setelah ditangkap polisi; hingga memanggil dan memburu ketua, anggota dan kordinator aksi.
Kordinator Komite Aksi Bersama Ternate Bastian Malaha mengatakan, tindakan aparat kepolisian tidak bisa dibenarkan. Fakta-fakta represif belakangan ini bagi dia mencermeninkan buruknya demokrasi Indonesia.
Reporter: Ajun