Siti Halima memungut sampah plastik yang berserakan di area unjuk rasa menolak pengesahan Omnibus Law RUU Cipta Kerja di depan kantor Walikota Ternate, Kamis (8/10/2020). FOTO/Istimewa |
lpmkultura.com -- Fahmi Lolahi bersama beberapa kawannya membawa kantong sampah plastik dan berkeliling di area unjuk rasa yang menolak pengesahan Omnibus Law Cipta Kerja pada Kamis (8/10/2020) lalu di depan kantor Walikota Ternate.
Di lingkungan taman kota Landmark, Jl. Pahlawan Revolusi, Muhajirin, Ternate Tengah itu mereka, yang juga bagian dari massa aksi tergabung dalam Komite Aksi Bersama, memunguti sampah-sampah plastik air mineral bekas pakai massa demonstran.
Ami, begitu sapaan akrabnya, yang juga menginisiasi gerakan membangun Pulau Tulang di depan Kampung Dufa-Dufa, Desa Gamsungi, Tobelo, Halmahera Utara itu, tampak risih melihat bagaimana sampah plastik dibuang begitu saja di jalanan.
Menurutnya, sampah non-organik ini sudah menjadi masalah baru di sektor kota. Padahal sangat berbahaya bagi kelestarian ekosistem dan kesehatan manusia. Plastik sendiri merupakan salah satu jenis sampah yang cukup lama terurai. Butuh waktu puluhan hingga ratusan tahun untuk bisa hancur.
Selain itu, dampak sampah plastik sangat berbahaya bagi Bumi maupun makhluk hidup yang ada di dalamnya, serta berpengaruh buruk terhadap siklus kehidupan.
"Jika lingkungan rusak maka akan berpengaruh pada kesehatan manusia. Kerusakan lingkungan juga berdampak terhadap sektor pertanian dan keluatan yang merupakan sumber kebutuhan pangan kita," terang alumni Program Studi Sosiologi, Universitas Muhammadiyah Maluku Utara itu.
Dia menjelaskan bahwa wilayah pesisir laut akan paling merasakan dampak dari masifnya penggunaan sampah plastik.
"Terutama di wilayah pesisir, karena kebanyakan sampah plastik yang dibuang itu akan bermuara ke laut dan akan mempengaruhi ekosistem laut," tambahnya.
Menurutnya, memungut sampah itu soal kesadaran, terlebih bagi manusia yang memiliki kesadaran sekaligus menjadi bagian dari makhluk hidup yang dikandung alam.
Ami sendiri yang terlibat bersama massa aksi lainnya melakukan longmarch dari Ternate Selatan ke pusat kota, sudah memperkirakan bahwa akan ada banyak sampah yang berserakan di sepanjang rute dan titik aksi. Karena itulah, ia telah menyiapkan kantong plastik untuk dijadikan sebagai tempat menampung pungutan sampah yang dihasilkan massa aksi.
Sependapat dengan Fahmi, Siti Halima, salah seorang perempuan yang juga terlibat memungut sampah pada saat aksi yang berujung ricuh dan direpresi oleh aparat hingga 28 orang ditangkap itu, menyebut bahwa sekalipun sampah telah dibuang pada tempatnya, tetap saja tidak efektif, sebab semua sampah itu akan kembali ke alam dan merusak alam.
Menurutnya, aksi pungut sampah plastik bekas pakai saat demonstrasi berlangsung merupakan bagian dari protes gerakan pecinta lingkungan terhadap pola konsumsi massa yang tidak ekologis.
"Agar setiap melakukan aksi, kawan-kawan tidak terus mengonsumsi minuman kemasan, maka kawan-kawan harus punya persiapan saat melakukan aksi," ujar Halima sembari menganjurkan massa aksi untuk membawa tumbler (tempat air) yang sudah terisi air dan berhenti menggunakan kantong plastik sekali pakai.
Seperti yang dijelaskan Fahmi, sampah plastik merupakan masalah krusial di sektor kota, terutama kota pulau seperti Ternate. Penggunaan plastik yang masif seperti saat ini akan berdampak terhadap pencemaran ekosistem darat dan laut, mengingat luas daratan kota yang sangat sempit. Kedepannya, manusia akan bertumpukan dengan sampah karena terbatasnya ruang.
Fahmi bersama beberapa kelompok memungut sampah plastik di aksi tolak pengesahan omnibus law RUU Cipta Kerja di Ternate, Kamis (8/10/2020). FOTO/Ajun |
Pada 2019 lalu, mengutip Antara, berdasarkan laporan dari Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Ternate, disebutkan bahwa setiap harinya produksi sampah mencapai 300 ton yang kemudian ditampung ke tempat Pembuangan Akhir (TPA) di Kelurahan Takome. Kepala Bidang Persampahan DLH Ternate, Yus Karim, mengatakan masih banyak sampah yang berserakan di luar dari penampungan.
Mengurangi Penggunaan Plastik Saat Demonstrasi
Akademisi dan Pegiat Lingkungan, Astuti N. Kilwouw, mengatakan sampah plastik yang berserakan di jalanan saat aksi tentu bermasalah, karena mengurangi estetika demonstrasi maupun kota.
Dia menuturkan bahwa aksi demonstrasi yang mengatasnamakan rakyat mestinya berupaya agar hal-hal yang dapat menambah beban kerja buruh (pembersih lingkungan) kebersihan kota harus juga diperhatikan.
"Mama-mama dan om-om yang tiap subuh menyapu jalanan kota, saat teman-teman massa aksi masih lelap dibuai mimpi, juga bagian dari rakyat yang dengan lantang diatasnamakan dari balik corong," tutur penulis buku Tabobo: Jerit Sang Puan di Atas Bongkahan Emas, yang juga terlibat dalam aksi tolak UU sapu jagad yang telah disahkan dalam rapat paripurna di gedung DPR-RI pada Senin (5/10/2020) lalu itu.
Namun, dia tidak sepenuhnya menyalahkan pengunjuk rasa di jalanan. Menurutnya, setiap demonstrasi tentu menghasilkan banyak sampah (kebanyakan sampah bekas air kemasan, red), yang tentunya, terjadi karena minimnya kesadaran ekologis dan terlalu lama dimanjakan sekaligus diindoktrinasi oleh industri serba instan ini.
Lanjutnya, sistem ini mengajarkan setiap individu tidak punya alternatif lain selain mengonsumsi air kemasan. "Terkecuali di tempat aksi, secara kultural masih menerapkan budaya kampong-kampong (di desa, misalnya) yang masih toleran memberi air minum gratis. Nyatanya kan tidak lagi demikian. Akhirnya, air kemasan dipandang lebih praktis, walaupun harus merogoh saku untuk itu," terangnya.
Astuti N. Kilwouw memungut sampah di tengah-tengah demonstrasi menolak Omnibusn Law berlangsung depan kantor Walikota Ternate, Kamis (8/10/2020). FOTO/Istimewa |
Tertumpuknya sampah, kata Tuty, sapaan akrab salah satu kontributor dalam buku Politik Ruang dan Perlawanan: Kisah Konflik Atas Ruang di Tingkat Lokal, itu dikarenakan sebagian masa aksi tidak memiliki botol minum yang membuat masa aksi diharuskan membeli air kemasan.
Dia berharap agar setiap kali aksi demonstrasi, pengunjuk rasa tidak terlalu bergantung pada air kemasan, "dengan membawa botol minum masing-masing, sehingga tidak menghasilkan sampah plastik dan tidak semakin memperkaya industri air kemasan."
"Selain itu, tidak memperkuat basis penggusuran sumber air minum masyarakat untuk kepentingan industri air mineral tersebut," pungkasnya seraya memberikan pertanyaan retoris bahwa air itu diberikan alam secara gratis, kenapa kita harus membayar pada si kapitalis.
Fahmi Lolahi mengatakan menjaga alam bukan hanya sekadar tolak tambang, tolak Omnibus Law, dan lain-lain, namun juga hal terkecil seperti kesadaran menggunakan botol plastik. Dia juga menyerukan supaya setiap kali unjuk rasa, massa aksi sudah punya kesadaran untuk mengurangi penggunaan air kemasan.
"Sebagai orang terpelajar harus sadar dalam bertindak, karena kita hanya punya satu bumi untuk ditempati, maka mari bersama menjaga dan merawatnya," cetusnya.
Reporter: Ajun