Massa aksi Front Perjuangan Rakyat Obi (FPRO) pasca aksi tolak rencana pembuangan limbah tailing di Taman Nukila, Senin (30/11/2020). FOTO: Upiawan Umar/FPRO |
lpmkultura.com – Sejumlah anak muda asal Kepulauan Obi melakukan unjuk rasa di depan Dodoku Ali, Jalan Sultan Khairun, Salero, Ternate Utara sampai Taman Nukila Ternate Tengah, pada Senin (30/11/2020). Mereka menentang rencana pembuangan limbah tailing di perairan Kepulauan Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara dan menolak SK yang diterbitkan Gubernur Malut, Abdul Gani Kasuba dengan nomor: 507/7/DPMPTSP/VII/2019 pada 2 Juli 2019 lalu.
Surat keputusan itu dinilai memfasilitasi proyek Deep Sea Tailing Placement (DSTP) atau ‘pembuangan limbah tailing ke laut dalam’ untuk pabrik hidrometalurgi PT. Trimegah Bangun Persada (TBP), anak perusahaan PT. Harita Group. Dikatakan, PT. TBP hendak membuang tailing di kedalaman 170 meter perairan barat pulau Obi dengan besaran 5,75 juta ton tailing per/tahun.
“Proyek pembuangan tailing ini, secara tidak langsung tengah mematikan sumber penghidupan masyarakat kepulauan Obi, terutama bagi lebih dari 3000 keluarga nelayan perikanan tangkap yang menjadikan laut sebagai satu-satunya tempat mencari nafkah,” kata Risko Lacapa, koordinator aksi Front Perjuangan Rakyat Obi (FPRO) seperti dikutip dalam keterangan persnya.
Bagi Risko, proyek pembuangan limbah tailing di perairan laut Kepulauan Obi ini beresiko besar bagi kesehatan masyarakat, baik karena terpapar secara langsung akibat aktivitas di laut maupun terpapar secara tidak langsung karena mengonsumsi pangan laut.
Padahal dalam Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2018 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) Provinsi Maluku Utara, disebutkan alokasi ruang perairan kepulauan Obi tidak dialokasikan untuk pembuangan limbah tailing, tetapi merupakan zona perikanan tangkap untuk ikan yang di permukaan hingga di dasar laut.
Perairan kepulauan Obi juga dikatakan masuk dalam alur migrasi mamalia laut, namun ada dugaan bahwa Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang memberikan surat rekomendasi pemanfaatan ruang laut dan Gubernur Maluku Utara yang mengeluarkan kebijakan menerbitkan izin lokasi perairan kepada PT. Trimegah Bangun Persada.
“Ini mencerminkan sikap dan posisi pemerintah yang secara terbuka menjadi pengabdi korproasi, lalu secara sadar abai, bahkan 'membunuh' sumber penghidupan masyarakat,” pungkas Risko.
Disisi lain, ribuan petani disana juga akan terdampak akibat lahan-lahan pertanian, perkebunan dan pemukiman sebagai ruang hidup tengah diobrak-abrik oleh 14 izin perusahaan pertambangan nikel, termasuk milik Harita Group.
Krisis sosial ekolgis ini tambah Risko, akan semakin diperpara dengan disahkanya Undang-Undang No 11 tahun 2020 Cipta kerja (Omnibus Law) sebab, sebagian besar pasal-pasal yang tercantum dalam UU sapu jagad ini memprioritaskan kepentingan pengusaha.
Beberapa diantaranya seperti masa berlaku izin konsesi tambang sesuai dengan umur tambang, perusahaan tambang yang melakukan pengolahan dan pemurnian diberikan kelonggaran dalam membayar royalti (royalti 0%) dan hilangnya sanksi pidana bagi pejabat yang dalam mengeluarkan izin bertentangan dengan UU Minerba.
“Seluruh peraturan, UU, dan produk kebijakan tersebut, menunjukkan betapa pemerintah memfasilitasi pelanggengan industri ekstraktif di Indonesia, dan pada akhirnya nasib masyarakat menjadi pengungsi di atas tanah sendiri, tanpa jaminan keselamatan diri atau ruang hidup, tanpa suara untuk menentukan ataupun menolak aliran modal atas pembangunan di tempat kita menetap.”
Dalam keterangan resmi Front Perjuangan Rakyat Obi (FPRO) disebutkan, selain anak perusahaan Harita Group, ada salah satu perusahaan lagi yang sudah diberikan izin oleh Gubernur AGK untuk melakukan eksplorasi yakni PT. Amazing Tabara. Perusahaan yang mengelola emas dengan wilayah operasi di Desa Sambiki, Desa Anggai, dan Desa Airmangga ini juga didesak agar dicabut izinnya karena bakal mengancam masyarakat sekitar.
Upiawan Umar, Kordinator Front Nahdliyin Kedaulatan untuk Sumber Daya Alam (FNKSDA) Cabang Ternate mengatakan praktek pertambangan dan pembuangan tailing di laut Kepulauan Obi itu sangkatlah bertentangan dengan prinsip-prinsip dalam ajaran islam.
Dia mengutip salah satu firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surat Al-A‘raaf:56, “Wala tufsidu fi al-ard ba’da islahiha” yang berarti “Dan janganlah kalian membuat kerusakan di atas muka bumi setelah Allah memperbaikinya”.
Oleh Al-Qurthubi, tambah Upiawan yang juga warga Obi, ayat ini ditafsirkan sebagai larangan Allah pada umat manusia untuk berbuat kerusakan di atas bumi, baik sedikit maupun banyak.
“Persoalan semacam ini dalam konteks fiqih dikatakan sebagai persoalan yang mengandung mafsadah (kerusakan),” tuturnya melalui pesan singkat.
Tujuan pokok hukum Islam (fiqih) sendiri bagi dia adalah menarik mashlahah (kebaikan) dan menghindari atau menghilangkan mafsadah (kerusakan) baik untuk diri sendiri maupun untuk orang lain atau umum dan di dalam kaedah Fiqih dikenal dengan "Mudarat harus ditolak atau dicegah semampu mungkin” & "Mencegah kerusakan lebih utama daripada menarik kemaslahatan”
Praktek pertambangan dan Pembuangan Tailing di perairan Kepulauan Obi justru akan membawa kemudaratan buat warga Obi dan masyarakat di Maluku Utara. “Oleh karena itu menolak Tambang dan pembuangan tailing hukumnya wajib bagi kami,” cetusnya.
Reporter: Ajun