Ilustrasi mahasiswa Unkhair yang kena drop out dari kampus |
lpmkultura.com -- Setelah jadi bulan-bulanan kekerasan aparat di depan kampus II Universitas Muhammadiyah Maluku Utara, Fahyudi Kabir dan tiga kawannya harus menghadapi represi dari kampus sendiri.
Tepat hari ini, satu tahun lalu, 12 Desember 2019, surat keputusan resmi dari Universitas Khairun menyatakan Fahyudi Kabir, Fahrul Abdullah, Arbi M. Nur dan Ikra S. Alkatiri dipecat (drop out/DO) dari kampus. Keempatnya adalah mahasiswa Universitas Khairun.
Fahyudi dan tiga kawannya tak tahu apapun. Sejak dikriminalisasi aparat ketika aksi memeringati deklarasi bangsa west Papua dan menuntut tahanan politik Papua dibebaskan pada 2 Desember tahun lalu, mereka masih beraktifitas di kampus seperti biasanya.
Dua minggu kemudian, 26 Desember 2019, barulah keempatnya tahu kalau nama mereka telah dicoret dari kampus berdasarkan SK yang ditandatangani rektor Unkhair, Husen Alting dengan nomor: 1860/UN44/KP/2019. Sialnya, surat keputusan itu mengacu pada surat pemberitahuan dari kepolisian resort Ternate.
"Saya kaget," kata Fahyudi Kabir, salah satu dari empat mahasiswa yang dipecat. "Waktu itu saya kaget, bingung, bagaimana bisa kami dikeluarkan tanpa terlebih dahulu dipanggil?"
Namun, jauh sebelum itu, desas-desus perihal pemecetan mereka sudah bereder luas di kalangan mahasiswa. Ikra S. Alkatiri tahu dari seorang temannya saat ke kampus. Arbi sendiri tengah konsultasi judul studi akhir, dan diberitahu Kaprodi. Begitu pula dengan Fahyudi dan Fahrul.
Dalam penelusuran kami tahun lalu, mereka berempat memang tidak dipanggil sama sekali sesuai prosedur civitas akademika sejak dan sebelum SK pemecetan diterbitkan.
Namun Wakil Rektor III Unkhair Syawal Abdulajid berkilah bahwa keempat mahasiswa itu sudah menerima SK DO tanggal 12 Desember, tepat SK itu diterbitkan. Dalam penuturannya kepada kami 26 Desember 2019, Syawal menyebutkan bahwa Fahyudi dan ketiga kawannya termasuk mahasiswa yang "mencederai nilai-nilai kehidupan bangsa, provokasi disintegrasi, dan melanggar konstitusi." Termaksud melanggar Misi Universitas Khairun, Pasal 82 ayat (3) Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi nomor 83 Tahun 2017, tentang Statuta Universitas Khairun.
Kalah dan Maju Lagi
Sejak tahu mereka di-drop out, perlawanan menuntut pemulihan hak-hak sebagai mahasiswa terus berlangsung. Solidaritas dari berbagai gerakan sosial muncul dimana-mana. Media media nasional dan internasional turut memantau berjalannya proses perkara pemberangusan ruang demokrasi yang melibatkan problem di Papua ini.
Namun, hukum memang tak ramah terhadap kelompok rentan, termasuk mahasiswa yang kerap menyuarakan aspirasi rakyat. Proses penggugatan terhadap rektor Unkhair di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Ambon, Maluku yang di dampingi LBH Ansor Ambon sejak bulan April ini ditolak seluruhnya oleh Majelis Hakim.
Dengan kata lain, mahasiswa dinyatakan bersalah dan proses perkara sidangnya dinilai tidak memenuhi asas proporsionalitas hukum alias kalah di jalur hukum yang berjalan 5 bulan itu.
Saat ini, keempat mahasiswa itu, bersama Kuasa Hukum Al Walid Muhammad Umamit, tengah melakukan banding dan telah didaftarkan secara resmi ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Makassar, Sulawesi Selatan melalui PTUN Ambon pada 12 November 2020 dan proses banding masih berjalan hingga kini.
Dalil di balik SK DO: Kriminalisasi dan pemberangusan demokrasi
Hari itu sekira pukul 10.00 WIT, 2 Desember 2019, 10 orang mahasiswa yang tergabung dalam Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI WP) bersama Komunitas Mahasiswa Papua (KMP) direpresi aparat gabungan TNI-Polri di depan kampus UMMU, Sasa, Ternate Selatan. Mereka dikeroyok, dipukul, diinjak dan diangkut ke dalam mobil menuju Polres Ternate.
Sekitar 24 jam ditahan di Polres dan sehari setelahnya baru dibebaskan. Kapolres Ternate ketika itu ialah AKBP Azhari Juanda. Kini sudah diganti yang baru.
Ini adalah aksi peringati deklarasi kemerdekaan west Papua ke 58 tahun lalu, 1 Desember 1961 sejak 2016 lalu di Ternate (dan beberapa daerah lain) oleh organisasi sosial FRI WP yang tergabung orang Indonesia dan sejumlah mahasiswa Papua.
Selain soal penentuan nasib sendiri, isu rasisme yang kerap menimpa rakyat dan mahasiswa Papua juga disuarakan.
Fahyudi Kabir bercerita, kala itu mereka ditangkap secara tidak manusiawi. Mereka dipukul, ditendang, diinjak, bahkan pelipisnya sobek karena dipukul.
Azhari Juanda (2/12/2019) mengatakan proses pembubaran aksi unjuk rasa itu tidak mengantongi surat pemberitahuan pengamanan. Dia menilai mereka yang aksi bukan dari mahasiswa tapi organisasi pembebasan Papua.
Usut punya usut, tepat 12 Desember surat dari Kapolres Ternate masuk ke berbagai kampus. Unkhair antusias menanganinya. Di hari itu juga, SK DO terhadap empat mahasiswa diterbitkan.
Dalih kampus ketika itu ialah keempat mahasiswa Unkhair termasuk telah melakukan tindakan "makar", provokatif, dan memecah bela NKRI. "Dan itulah yang kita larang," tambah Syawal Abdulajid, Wakil Rektor III Bidang Kemahasiswaan pada 16 Desember 2019.
Tindakan ini diambil karena, menurut Syawal, ada tiga hal: pertama, sudah mencoret nama institusi; kedua, tidak mendukung pemerintah di bidang keamanan dan bela negara, dan; ketiga sebagai mahasiswa (Unkhair) itu sudah keluar dari kode etik.
Mundurnya Mimbar Akademik
Proses sidang berjalan begitu menegangkan. Jatuh, tertimpa tangga, lalu dilabrak berkali-kali. Arbi M. Nur, pada 13 Juli 2020 dilaporkan oleh seseorang yang diduga anggota polisi, Bripka Sabone Moni dengan dugaan tindak pidana makar. Laporan itu acuannya sama yang diperkarakan pihak kampus: aksi 2 Desember 2019.
Tigor Hutapea, Pengacara Publik Papua Itu Kita, waktu itu mengungkapkan yang dilakukan oleh Arbi adalah menyampaikann pendapat (freedom expresion) dan hak konstitusional yang tidak dapat dibatasi melalui hukum pidana. "Sehingga pemanggilan arbi dengan tuduhan melalui pasal makar adalah keliru."
Tigor bilang, penerapan pasal makar tidak bisa dilakukan terhadap seseorang yang menyampaikan pendapat.
Andreas Harsono dari Human Rights Watch (HRW) juga mendesak Unkhair agar hak-hak empat mahasiswa dikembalikan seperti sedia kala.
"Unkhair seharusnya mendukung kebebasan akademik dan kebebasan berekspresi, alih-alih memecat mereka karena pandangan yang mereka miliki,” kata peneliti senior HRW Andreas Harsono, dalam keterangan tertulis
Rivanlee Anandar, Peneliti Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) tahun lalu, mengatakan langkah yang diambil kampus Unkhair tak lain menunjukkan suatu kemunduran atas kebebasan berekspresi, berkumpul, dan menyampaikan pendapat mahasiswa.
“Semestinya, kampus menjadi contoh dalam membangun ruang dialog antar mahasiswa, menumbuhkembangkan kreativitas dan intelektualitas secara inklusif terhadap mahasiswa," ujar Rivanlee mengutip dari Tirto.id, (31/12/2019).
Pada Agustus lalu, Unkhair tengah merayakan Diesnatalis ke-56 dan turut menyabet status baru sebagai Badan Layanan Umum (BLU) di tingkat Perguruan Tinggi.
Kampus yang berdiri sejak 15 Agustus 1964 ini juga menjadi universitas nomor wahid untuk klaster 4 Maluku dan Maluku Utara dalam klasterisasi Perguruan Tinggi Tahun 2020 oleh Kemendikbud.
Namun prestasi-prestasi dua tahun belakangan ini tak membuat kampus menjadi sebuah institusi yang melindungi hak-hak mahasiswanya, terutama ruang mimbar akademik dan kebebasan menyampaikan pendapat.
Reporter: Darman
Editor: Rabul Sawal