Judul Buku: Tabobo: Jerit Sang Puan di Atas Bongkahan Emas
Penulis: Astuti N. Kilwouw
Penerbit: Resist Book
Tahun Terbit: 2016
Kota Terbit: Yogyakarta
Jumlah Halaman: iv + 164 hal
“Kebun adalah warisan untuk anak-cucu kedepan, agar mereka tak jadi pengemis di atas tanahnya sendiri,” – Mama Taeba
DALAM banyak kasus, perempuan selalu menjadi mahkluk yang paling disubordinasi dan dimiskinkan ketika suatu industri masuk di suatu wilayah. Industri pertambangan misalnya, menyeret perempuan harus memikul peran gandanya: menjadi perempuan yang bekerja di dapur dan turut serta mencari nafkah untuk kebutuhan rumah tangga.
Mama Taeba, salah satu perempuan yang menjadi tokoh utama dalam buku karangan Astuti N. Kilwouw berjudul Tabobo: Jerit Sang Puang di Atas Bongkahan Emas [selanjutnya disebut Tabobo] menjadi contoh, dimana harus memanggul beban ganda tersebut. Tabobo sendiri, seperti menjadi judul buku, adalah sebuah pedesaan yang terletak di wilayah konsesi lingkar tambang emas, PT. Nusa Halmahera Mineral [NHM]. Perusahaan tambang emas ini mulai beroperasi sejak tahun 1997. Terletak di Malifut, Kabupaten Halmahera Utara, Provinsi Maluku Utara.
Tuti, begitu ia akrab disapa, dalam buku ini menceritakan kembali sejarah dari Desa Tabobo yang awal mulanya merupakan desa yang warganya bekerja sebagai pembuat terasi terbesar di Maluku Utara. Tentu saja, warga disana juga sebagian menjadi petani dan nelayan. Dengan mengambil Mama Taeba sebagai tokoh utama yang mengisahkan asal usul Tabobo dan membandingkan bagaimana Tabobo yang kini telah mengalami perubahan begitu signifikan jika dibandingkan sebelum tambang emas beroperasi disana.
Sebagai seorang pegiat lingkungan dan concern dengan isu-isu perempuan, tentu Tuti dengan mudah memahami konteks dan latar belakang bagaimana marginalisasi terhadap perempuan di sektor lingkungan. Sehingga tidak berlebihan, bila dia lebih memusatkan perhatiannya terhadap isu-isu perempuan dan lingkungan tentunya.
Perempuan Dalam Budaya Patriarki
Eksploitasi lingkungan berdampak pada kemiskinan dan subordinasi perempuan. Ini dapat dilihat dari pembagian kerja yang tidak setara antara laki-laki dan perempuan. Misalnya, sejak perusahaan NHM beroperasi dan laut di teluk Kao tercemar, hasil tangkapan nelayan menurun. Ikan, terasi bahkan udang sudah sulit sekali didapatkan. Perempuan dan laki-laki yang dahulu bekerja secara kolektif, kini tersingkir dan mereka terpaksa meninggalkan mata pencaharian sebelumnya [nelayan] dan menjadi buruh tambang. Dengan hadirnya industri ektraktif ini, laki-laki justru dianggap paling dominan mengakses pekerjaan itu.
Disektor pertambangan, perempuan selalu dianggap lemah sehingga sulit dipekerjakan atau mengakses pekerjaan disana. Budaya patriarki cukup memberi ruang bagi laki-laki untuk bekerja di tambang dan perempuan tentu saja tidak begitu istimewa. Tapi disisi lain, bila biaya untuk kehidupan mereka tidak mencukupi, lagi-lagi perempuan yang akan mencari pekerjaan tambahan. Dan disitulah perusahaan mengizinkan perempuan untuk bisa bekerja sebagai buruh yang dibayar murah.
Guna untuk keuntungan bagi pihak perusahaan semata, sehingga upah yang didapat perempuan lebih rendah dengan laki-laki. Dengan anggapan bahwa suami-lah yang bekerja mencari nafkah bagi perempuan dan keluarga, dan perempuan bekerja hanya sebagai peran membantu. Tapi tidak punya keharusan untuk membiayai keluarga, karena tugas perempuan hanya mempunyai kewajiban menjaga anak, memasak, mengurus rumah—begitulah budaya yang sudah dikonstruksi di kalangan masyarakat. Oleh karena itu, Tuti mengatakan perempuan yang bekerja ekstra, tetapi perempuan tetap mengalami kemiskinan.
Mama Taeba dan perempuan lainnya, dalam buku Tabobo dikatakan mendapat penindasan lebih, karena budaya patriarki yang sudah melekat di lingkungan masyarakat. Mama Taeba pun bekerja sebagai apa saja yang ia mampu lakukan, baik itu pekerjaan dalam rumah dan di luar rumah. Contoh pekerjaan di luar rumah: membantu suaminya berkebun, berjualan gorengan, serta berjualan gorengan demi memenuhi kelangsungan hidupnya.
Ada juga perempuan yang kerjanya sebagai tukang barempel. Berbeda dengan saat ini, Tuti mengatakan menjadi tukang barempel tidaklah mudah, perempuan harus menghabiskan waktunya untuk mengasah batu yang begitu keras, kemudian mereka pun tetap mengerjakan tugas mereka yang menganggap perempuan menyediakan makanan, mengurus anak, dan lain-lain. Karena suami mereka juga bekerja, beban ganda, walaupun bekerja di dalam rumah, tetapi mereka tetap melakukan tanggung jawab mereka sebagai perempuan yang bekerja di ranah domestik.
Mati di Atas Bongkahan Emas
Warga Tabobo yang kesehariannya bekerja menjadi neyalan dan petani, dipaksa harus menerima dampak buruk: menurunya tangkapan hasil laut. Dalam buku yang ditulis perempuan yang kini menjadi akademisi ini, memotret juga warga yang bekerja sebagai tukang barempel. Ini termasuk pekerjaan yang dianggap liar oleh perusahaan.
Warga dilarang melakukan penambangan di sekitar Bukit Toguraci. Salah satu bukit yang dalam catatan sejarah, Rusli Tungkapai—bukan warga asli Kao—tertembak tepat dijidatnya oleh peluru panas saat terlibat dalam demonstrasi menduduki bukit Tuguraci dengan tuntutan agar bukti tersebut dijadikan tambang rakyat. Situasi memanas.
Bunyi tembakan dari serdadu membuncah kiri-kanan yang mengakibatkan masa aksi berlarian untuk bisa keluar dari hutan itu. Tetapi ada beberapa yang tidak bisa keluar dan mereka dijadikan tahanan di Toguraci, disitulah nasib tragis tertimpa oleh Rusli. Ia pun tewas di atas bukit yang mempunyai sumber kekayaan emas didalamnya.
Pencemaran Sumber Kehidupan dan Paradigma Pembangunanisme
Sebagian masyarakat menganggap bahwa kondisi air warga yang bermukim di sana sudah tercemar. Ini dapat dilihat dari belasan orang yang mengalami benjolan dan gatal-gatal pada tahun 2013. Seorang bayi yang mengalami pendarahan hebat di kepala hingga seorang lagi yang dilaporkan meninggal. Perusahaan diduga berkontribusi terhadap pencemaran lingkungan yang terjadi. Namun pihak perusahaan menolak tudingan dari masyarakat, dikarenakan belum ada penelitian yang mempublikasikan bahwa tercemarnya sungai tersebut disebabkan dari hasil pembuangan limbah oleh perusahaan.
Namun Tuti menunjukan fakta yang bisa dilihat, warga yang memanfaatkan anak sungai Kobok dan Tabobo sebagai pemenuhan air bersih, tidak berjarak jauh dari dam atau tempat pembuangan limbah perusahaan yang mengalami penyakit kulit. Film dokumenter Bye-bye Buyat sebagai gambaran masyarakat Tobobo, karena sama-sama mengalami pelbagai masalah yang tidak mudah. Namun pada akhirnya warga Buyat pindah, karena merasa tempat tinggal mereka sudah tidak layak dihuni. Masyarakat Tabobo khawatir jika nasib mereka akan sama dengan masyarakat Buyat.
Industri keruk memang bisa memusnahkan segalanya. Termasuk sumber-sumber kehidupan warga. Astuti menyebut ekspolitasi sumber daya alam yang dilakukan oleh korporasi hanya untuk mengambil keuntungan sebesar-besarnya tanpa memperdulikan nasib warga. Negara sebagai kaki tangan kapitalisme, turut mendukung ekspolitasi oleh PT. NHM dengan melalui Program Pemerintah Kab.Halmahera Utara yang dimuat dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).
Termasuk dengan dalih CSR dari perusahaan yang katanya mampu memajukan pembangunan dan dapat mensejahterakan warga lingkar tambang. Tetapi sangat disayangkan, pembangunan yang didapat tidaklah sebanding dengan eksploitasi emas oleh PT. NHM—dan sudah begitu masyarakat tetap menjadi kelas bawah.
Strategi pembangunan akan baik tergantung dari SDM, ekonomi dan kebijakan pemerintahnya. Belum tentu dengan meningkatkan pembangunan maka masyarakat bisa sejahtera. Dalam hal ini, Tuti mengatakan ideologi pembangunan yang menggiurkan—namun dampak dari ideologi tersebut yaitu kerusakan alam, tercemarnya sungai-sungai yang menjadi sumber air bersih, perubahan pola produksi, budaya konsumtif, kemiskinan bertambah dan urbanisasi.
Astuti menyebut, ideologi pembangunanisme, [termasuk modernisme] hanya menimbulkan “pemiskinan, kekerasan berbasis gender, perusakan lingkungan demi isi perut kaum kapitalis. Sedangkan masih banyak cara yang bisa dilakukan demi kehiduapan yang lebih adil dan setara.”
Menggapai Mimpi, Menuai Asa
Pada bab terakhir, mama Taeba mempunyai ambisi dan dorongan yang tinggi untuk dapat keluar dari lingkungan domestiknya, dalam memperjuangkan lingkungan tempat tinggalnya. Secara tidak langsung, mama Taeba mengajak para perempuan agar melakukan perlawanan berupa berkebun demi keberlangsungan hidup sekarang dan menjadi warisan untuk anak cucunya nanti.
Warga Tabobo yang awalnya berprofesi sebagai nelayan dan petani tetapi mereka bisa bertahan hidup di atas tanah, tanpa merusak ekologi. Setelah adanya pengerukan, pekerjaan mereka yang awalnya sebagai pembuat terasi semakin terdesak, karena kasia yang didapat di laut sudahlah susah didapat, dan apakah itu hanya menjadi cerita indah di masa anak cucu mereka yang mungkin sudah tidak bisa melihat indahnya pantai dan sungai sebelumnya.
Tugas kita yakni melanjutkan ambisi mama Taeba untuk melawan domestifikasi terhadap perempuan dan ekspolitasi industri ektraktif terhadap lingkungan. Dengan adanya gerakan sosial, termasuk kesadaran akan lingkungan, tentunya menjadi dasar menghimpun perlawanan melawan korporasi pertambangan. Astuti mengatakan ganti rugi ratusan juta tidak bisa mengembalikan kisah terdahulu, dimana tanah dan air merupakan penghidupan bagi masyarakat.
Buku ini sangat direkomendasikan untuk dibaca oleh seluruh kalangan, terkhusus oleh kaum muda untuk bisa “melek” dalam melihat situasi masyarakat Indonesia yang mengalami ketidakadian—atas perampasan ruang hidupnya. Selain dapat mengetahui informasi yang sudah disajikan di dalam buku—juga dapat memasifkan gerakan untuk menuntut keadilan, pembebasan dan menyatukan perlawanan atas penindasan oleh negara dan aparaturnya.
Buku ini penting karena memberikan pengetahuan bagi pembaca, termasuk saya. Dengan menyajikan data-data yang aktual, dapat dibuktikan dengan disajikannya informasi yang sudah dipublikasikan sebelumnya. Apabila pembaca meragukan argumen-argumen dalam buku ini, pembaca dapat mencari informasi penelitian yang sudah tercantum di dalam buku tersebut.
Ada beberapa hal yang menurut saya kurang, yakni gambar [foto] yang tertera di dalam buku diberi warna hitam-putih—sehingga ada beberapa gambar sungai yang tidak pembaca ketahui warna sungai, apakah warna sungai sudah berubah alias tercemar atau belum. Selebihnya, hemat saya sudah cukup bagus.
Buku setebal 164 halaman ini diharapkan bisa menjadi inspirasi serta motivasi bagi kaum muda. Kaum muda berani bergerak melawan penindasan dan berada di pihak yang tertindas. Seperti yang tertulis, “harus bisa bangkit merubah amarah menjadi perlawanan. Perlawanan menjadi kemenangan. Inilah Tabobo. Sejarah keselamatan yang terenggut ‘kemajuan’.”[]
Peresensi: Jumiyati Yamin
Editor: Ajun