Ilustrasi gambar: depositphoto.com |
Penulis:
Nurdafni Hamisi*
[Seri I]
Aisha namaku. Seorang wanita bercadar dengan kelembutan suara, sifat, dan perilaku yang menghiasi diriku membuat aku menjadi lebih anggun dan tertafsir suci, kata orang. Subuh ini, aku dibangunkan oleh suara azan yang menggema melewati megaphone masjid yang berada tepat di samping rumahku.
“Ayah sudah salat subuh?” tanya aku pada ayah yang tengah duduk melamun di kursi ruang makan.
“Sudah nak. Aisha, ayah ingin berbicara denganmu, perihal sesuatu yang serius,” kata ayah.
“Perihal apa, ayah?” ku harap apapun yang akan ayah katakan nanti, tak akan membuat mentalku kacau lagi, ucapku dalam hati.
“Kau tahu kan, hidupmu dan ayah sudah terbilang kacau setelah sikap kakakmu yang belakangan ini selalu mabuk-mabukkan, bikin rusuh banyak orang, menjatuhkan harga dirimu dengan selalu menghina cadarmu, dan sering membuat kau dan ayah merasa sedih.”
“Tidak yah, aku tidak apa-apa. Selagi aku masih bersama ayah dan selalu bisa menjaga ayah, aku akan selalu merasa aman,” ucapku menenangkan ayah.
“Walau kau tak mengatakan itu, ayah akan selalu membuatmu merasa aman, tetapi selain itu ayah punya alasan lain,” ucap ayah. Tak ada yang ku katakan, selain menatap ayah dengan tatapan penuh tanda tanya.
“Ayah ingin menikahkanmu dengan seorang lelaki yang menurut ayah dia baik bagimu,” lanjut ayah.
Kupikir ayah tahu jika aku benci menikah, benci semua lelaki selain ayah. Tak ada yang bisa ku katakan sebagai jawaban. Saat itu diam adalah cara terbaik untuk menerima pernyataan dan pinta ayah.
“Oh, begitu yah, ada yang harus ku kerjakan di dapur, aku ke belakang dulu yah,” ucapku lalu bergegas ke dapur, dengan air mataku yang hampir tumpah.
Sejak hari itu ayah mengatakan ada pria yang mau dijodohkan denganku, perasaanku berkalut antara mengikuti pinta ayah, sedangkan aku masih trauma perihal lelaki manapun.
Ingin ku katakan pada ayah seketika itu juga bahwa hatiku pernah terluka lagi setelah kepergian ibu. Pula laki-laki yang kucintai yang melukaiku dengan alasan mencintai wanita lain, dan kini ayah hadirkan aku pada pria yang tak kukenali, lukaku tak harus kambuh secepat ini. Belum lagi kakak laki-lakiku yang selalu menghinaku ketika sedang mabuk. Beruntung aku punya ayah.
Hari Minggu ini aku dipanggil ngumpul bersama teman-teman SMA-ku setelah enam tahun tak pernah bertemu. Rupanya penampilan dan pergaulan mereka sudah berubah delapan puluh persen dari sebelumnya, termasuk teman baikku, Dini.
“Aku saat ini mau menikah dengan pria yang ku cinta, kalian tahu, apa yang paling membahagiakan bagi seorang wanita selain mendapat apa yang dia mau. Salah satunya adalah menikah dengan seseorang yang dia cintai, ‘kan?” ucap Winda dengan ekspresi yang sangat bahagia.
Mendengar hal itu aku kembali memikirkan perihal pinta ayah lagi, yang membuat perasaan galau semakin berkelana dipikiran dan hatiku.
“Aisha, ada apa denganmu? aku lihat kau tengah memikirkan sesuatu, ceritakan saja,” ucap Dini yang berada tepat disampingku.
“Sebenarnya ada yang ingin kuceritakan, tapi masih perlu banyak keberanian untuk itu.”
Entah kenapa ketika ditanya seperti itu oleh Dini, aku seakan-akan ingin menumpahkan airmataku dipundaknya, tapi mencoba untuk tetap senyum hingga membuat batinku semakin dibubuhkan luka, tapi memang harus.
“Kalau gitu nanti saja ceritanya, tapi hanya kita berdua, mau ‘kan? Aku tahu kau butuh teman bercerita, aku juga tahu jika Tuhan adalah sebaik-baik tempat mengeluh dan bersujud, tapi aku juga tahu, kau juga butuh seseorang untuk mendengarkanmu ‘kan?” tanya Dini sembari disusuli senyum manisnya.
“Aku sangat bahagia mendengarmu berkata seperti itu, Din, makasih,” jawabku.
“Jangan ucapkan makasih lagi jika kau masih menganggapku sahabatmu,” ucap Dini disusuli tawa kecilnya.
“Ya sudah, aku rasa aku harus pulang sekarang, Aisha kau mau pulang? Mau ku antar pulang? Arah rumah kita bersamaan, ayo sekalian ku antar,” bujuk Dini lalu pamit pulang kepada teman-temanku yang lain.
“Oh, begitu, baiklah aku akan ikut pulang, makasih sekali lagi,” ucapku dan berpamitan kepada teman-temanku yang lain, lalu berjalan untuk menaiki mobil Dini dan diantarkan Dini untuk pulang ke rumah.
Suasana didalam mobil cukup dingin karena aku tak biasa dengan suhu AC yang diatur Dini, tapi tetaplah harus kunikmati dingin itu bersama beban pikiran yang menggelayut dalam benakku.
“Aisha, disini ‘kan cuma kita berdua, sudikah kamu menceritakan perihal masalahmu?” tanya Dini membuka percakapan kita.
“Kita berdua sudah berteman lama ‘kan Din? Kau tahu ‘kan, sosok laki-laki adalah yang paling kubenci kecuali ayahku? Sebab ada beberapa laki-laki yang kucintai tanpa karena, meninggalkanku dengan alasan tak masuk akal, hingga hijrah adalah yang ku usahakan saat ini untuk melupakan, terlebih lagi kakak laki-lakiku yang mabuk-mabukkan, suka bikin kacau, menyakiti perasaanku, dan sekarang ayahku memintaku untuk menikahi pria pilihannya yang tak ku kenali sebelumnya dan sekarang traumaku belum bisa terobati,” aku menceritakan semua itu kepada Dini dengan air mata yang mengalir tumpah.
“Kau harus menceritakan segalanya kepada ayahmu, jika kau belum siap untuk menikah, sebab kau perlu waktu untuk memulihkan trauma itu, terlebih lagi kau seorang perempuan,” ucap Dini yang membuat perasaanku lebih tenang.
“Ku rasa kau butuh hiburan untuk sejenak menghilangkan beban pikiranmu,” lanjut Dini.
“Kurasa juga begitu,” balasku.
“Tapi aku sarankan untuk membicarakan hal ini empat mata bersama ayahmu, ayahmu sudah cukup berumur, jadi jaga selalu perasaannya dan jangan pernah menyakiti perasaannya. Aku tahu jika kau membicarakan baik-baik, ayahmu bisa memahami,” terang Dini dengan suara begitu lembut.
“Makasih banyak Din, sudah mau mendengarkan, memberi nasihat, dan memberikan respon baik terhadapku,” ucapku.
“Sudah ku bilang jangan bilang terima kasih lagi,” lanjutnya “Maukah kau ku ajak pergi menikmati liburan sembari menghilangkan sedikit beban pikiranmu?” ajak Dini.
“Boleh, pergi kemana memangnya?”.
“Ke tempat biasa aku dan teman-temanku biasa nongkrong, tapi percaya padaku, aku hanya ingin kau menghilangkan bebanmu dan kau akan selalu bersamaku jika disana,” jawab Dini.
Sesungguhnya aku sedikit ragu untuk ikut, tapi menolak ajakan Dini adalah sesuatu yang tidak pernah ku lakukan, dan yang terpenting Dini akan selalu bersamaku jika disana nanti.
“Baiklah, tapi kau harus berjanji jika kau akan menjaga ku jika disana nanti!” tegasku.
“Janji Aisha, hehe,” jawab Dini sembari tawa kecilnya membuat aku ikut tersenyum.
“Malam ini yaa,” lanjut Dini memastikan.
“Baiklah.”
Tepat jam delapan malam Dini datang ke rumahku, mengenakan pakaian yang sangat modis, lengan pendek putih dan rok hitam pendek diatas lutut yang dihiasi hiasan kilauan-kilauan kristal putih.
“Ayo naik Aisha,” ajak Dini ketika aku menghampirinya di dekat mobil.
“Kau cantik! Walaupun wajahmu tak terlihat seluruhnya, matamu sudah menggambarkan kecantikan wajahmu itu.”
“Boleh aku lihat wajahmu? Kan aku perempuan, walaupun aku tak berhijab, tapi kan aku wanita muslim,” bujuk Dini. Tanpa berpikir panjang, aku lalu membuka cadarku.
“Ternyata kau lebih cantik, setelah setahun lalu tak melihat wajahmu, aku semakin terkesima. Kulit wajahmu bahkan lebih terawat, begitu bukan?”
“Mungkin dulu aku belum mementingkan perawatan wajah, tapi sekarang sudah Din, boleh ku pakai lagi cadarku?” timpaku.
“Boleh dong,” jawab Dini.
Kita telah sampai di tempt tujuan. Aku sedikit heran dengan tempat itu karena dari luar lampunya terlihat remang-remang.
”Disini tempatnya Din?” tanyaku dengan sedikit ragu. “Iya Aisha, ayo masuk,” ajak Dini.
“Jika ada yang memanggilmu atau menggodamu, jangan menoleh, tetap berada disampingku,” ucap Dini yang membuat tanda tanya semakin muncul dipikiranku.
“Baiklah. Din, kau sudah berjanji jika kau yang selalu menjagaku kan?” tanyaku memastikan.
“Itu pasti!” tegasnya.
Ketika masuk ke dalam ruangan itu, ternyata berbeda dengan keadaan yang remang-remang di luar, lampu-lampu kelap-kelip menerangi ruangan itu. Ketika aku masuk, semua mata tertuju padaku, dan hatiku cukup takut akan sorotan mata semua orang, kecuali seorang pemutar musik yang tengah sibuk mengatur posisi alat musik.
Seorang lelaki berbadan besar tegak mendatangi Dini, dan membisiki sesuatu pada Dini, aku tak peduli apa yang mereka bicarakan. Tak sengaja kulihat Dini hanya merespon dengan senyuman kecil. Tiba-tiba Dini mengeluarkan ponselnya kemudian menunjukkan sebuah gambar pada lelaki itu, aku tak tahu gambar apa yang ditujukkan pada lelaki itu, tetapi aku berusaha agar tak peduli.
Seorang penyaji makanan datang dan membawakan minuman serta cemilan berupa kentang goreng, roti bakar, dan beberapa minuman botol yang belum pernah kulihat sebelumnya.
“Silahkan di santap hidangannya Aisha.”
“Iya, Din.”
“Kamu harus mencoba minuman ini, kau perlu tahu, setelah meminum minuman ini, untuk sejenak seakan kau telah mengeluarkan seluruh beban hidupmu,” tutur Dini.
“Ini alkohol? Maaf, aku tidak bisa,” jawabku.
“Bukan! Silahkan dicoba,” lanjut Dini.
“Maaf Din, aku tidak bisa,” jawabku lagi.
“Yasudah, tidak apa-apa, minum apa kamu maunya?” tanya Dini.
“Air putih saja, itu lebih baik,” jawabku.
“Baiklah.”
“Fahmi, tolong ambilkan air putih untuk Aisha,” kata Dini kepada lelaki yang sebelumnya berbisik kepadanya.
“Oh, tentu saja Din,” jawabnya.
Lelaki yang bernama Fahmi itu pergi dan kembali dengan membawakanku air putih bercangkir hitam.
“Makasih kak,” ucapku kepada Fahmi.
“Terima kasih kembali, Aisha,” ucap kak Fahmi dengan sangat lembut seakan kata per katanya mempunyai makna.
Aku meminum air putih itu sebelum menyantap cemilan yang telah disajikan diatas meja.
Rasa pusing menyelimuti kepalaku, badanku lemah tak berdaya seakan tak makan seharian, pandangan mataku mulai buram dan kulihat apapun yang didepanku nampak berputar tak menentu.
“Din!” ucapku, lalu memegang erat tangan Dini, dengan mata yang sedikit tertutup.
Dini tak menjawab apapun, beberapa detik kemudian aku pingsan, tetapi masih bisa mendengar suara-suara disekelilingku, namun tak mampu tubuhku untuk bergerak, dan tak bisa mataku untuk terbuka, walapun aku memaksa untuk menopang badanku dan membuka mataku, begitu pun mulutku tak bisa berucap apapun sebab tak mampu.
Kurasakan tali cadarku dibuka perlahan, aku tak tahu siapa yang membukanya. Jantungku berdebar cepat melebihi apapun, keringatku mengucur diseluruh badan, pikiranku menjadi buruk terhadap Dini, apa yang tengah dia perbuat padaku? Memanfaatkan kelemahanku? Dari setiap masalah—yang pernah kuceritakan? Kurasa iya. Hanya Tuhan yang kusebut saat ini.
“Wanita yang memakai penutup wajah rupanya lebih cantik, hahaha,” aku mendengar salah seorang lelaki yang tak ku ketahui siapa dia.
Mendengar perkataannya, pikiranku tak karuan, rasa takutku semakin menjadi-jadi. Ku kuatkan keyakinanku dengan tak putus-putus menyebut asma Allah. Berharap ada keajaiban yang bisa membuatku sadar seutuhnya dan pergi dari tempat ini secepatnya.
Tiba-tiba saja ku dengar suara pintu yang didobrak, aku pasrah, bingung, dan tetap menyebut-nyebut asma Allah. Hanya waktu yang bisa menjawab segalanya.
“Oh, ini, perempuan yang kamu kirim fotonya di Whatss-up tadi?, hahaha dia lebih cantik dari pada di fotonya,” kata salah seorang lelaki, yang kurasa dia bukan lelaki yang sebelumnya.
“Iya kak,” jawab seorang perempuan yang kurasa itu suara Dini.
“Wanita memang sangat lemah. Mendapat masalah sedikit lalu terbawa emosi, membiarkan realitas terkubur dalam-dalam. Saya yakin wanita cantik ini punya masalah besar, sehingga dia mau mengikutimu untuk mencari hiburan, dan karena masalahnya itu, dia seakan-akan tak punya Tuhan lagi, dengan menyalahkan dunia atas setiap masalahnya, dia pikir semua akan terselesaikan. Wanita memang lemah!” pungkas lelaki itu lagi.
Mataku tetiba terbuka perlahan, tenagaku mulai kembali, dan aku terbangun hanya berpakaian baju lengan pendek, dengan rokku yang hampir terbuka seutuhnya.
“Asstagfirullah hal ‘adzim!. dimana cadarku, kerudungku, dan bajuku?"
"Dini, kamu keterlaluan! Apa yang sudah dilakukan kedua pria ini terhadapku? Demi Allah ini perbuatan keji!” segera ku perbaiki rok dan pakaianku, serta ku tarik jilbab dan cadarku yang berada tepat di belakangku.
“Aku tidak menyentuhmu sedikit pun, Aisha, yang membuka pakaianmu adalah Dini sendiri. Percayalah, tidak ada pria yang menyetuhmu atau menyetubuhimu,” terang pria itu lagi.
Air mataku tak mampu ku bendung—mengucur deras, membuat cadarku terlihat sangat basah.
“Aku tidak tahu apa yang telah kalian lakukan terhadapku, tapi sungguh aku sangat malu dan merasa sangat berdosa ketika tubuhku dilihat oleh orang yang bukan mahramku, Dini, kau perempuan, atas dasar apa kau melakukan ini? Kau lebih jahat dari seorang pelacur! Karena telah mengorbankan diriku atas semua ini, uangkah? Apakah uang yang membuatmu melakukan penghinaan terhadap diriku? Kau menjual tubuhku!” paparku dan membuat Dini kaku membisu.
“Aku sedang butuh uang Aisha,” ucap Dini dengan menunduk dan nada suara yang terdengar menyesal.
“Sudah kuduga!”
“Atas nama Tuhan, semoga kalian diampuni. Tapi ini memang salahku. Mempercayai orang yang seharusnya tak kupercayai,” lanjutku, dan bergegas keluar dari tempat menyeramkan itu dengan air mata yang tak berhenti tumpah.
Sejak hari itu aku mulai menutup diri dengan siapapun kecuali ayah. Aku membicarakan segala hal kepada ayah, termasuk pernikahan. Aku menjelaskan segala perasaanku, trauma masa lalu, dan mencoba memahamkan ayah, untuk menyembuhkan luka batinku. Biar waktu yang memainkan perannya—menjadi jawaban terbaik atas segala tanya dan segala harap.[Bersambung]
*Penulis
adalah mahasiswa aktif Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas
Khairun. Anggota LPM Aspirasi.