Diskusi bertajuk "Narasi Negatif Status Janda & Stigmatisasinya di Masyarakat" oleh HMJ Sastra Inggris di Taman Soe Hok Gie, Fakultas Ilmu Budaya, Senin (22/2/2021). FOTO: Susi/LPM Aspirasi. |
lpmkultura.com -- Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Sastra Inggris gelar diskusi bertajuk "Narasi Negatif Status Janda & Stigmatisasinya di Masyarakat" pada Senin (22/2/2021) di Taman Soe Hok Gie, Fakultas Ilmu Budaya (FIB), Universitas Khairun.
Diskusi yang dimulai sekira pukul 14.00 WIT ini digagas jelang memperingati Hari International Women's Day (IWD) atau Hari Perempuan Internasional pada 8 Maret nanti. Hari peringatan para perempuan pekerja untuk mengampanyekan perjuangan penghapusan penindasan dan diskriminasi berdasarkan perbedaan jenis kelamin.
Dalam kesempatan itu, Astuti N. Kilwouw, akademisi sekaligus perempuan yang consern isu perempuan dan Hasrillah dari Pusat Studi Mahasiswa Ternate (Pusmat) sebagai pembicara. Ada juga Syifa Aulia Hadianto mewakili The Women's of Innovation (TWIV), studi club yang fokus perihal isu-isu perempuan dan lingkungan hidup.
Diskusi ini menarik karena membahas terkait perempuan yang 'berprofesi' sebagai single mom atau janda. Salah satu sebutan yang melekat pada seorang perempuan yang telah menikah dan ditinggal oleh suaminya baik itu karena perceraian atau di tinggal mati--lawan kata dari duda untuk menyebut seorang lelaki.
Astuti N. Kilwow mengatakan, seorang janda kerap dibenci dan dilabeli dengan kalimat "janda nakal", "janda seksi", "janda kaya" dan lain-lain. Kalimat macam itu dia sebut cukup misoginis dan tidak saja dipraktikkan oleh laki-laki tapi juga perempuan sendiri terhadap perempuan lainnya.
"Dalam konteks sosial budaya kita yang masih patriarkis, misoginis dan seksis, dimana perempuan ditempatkan sebagai subordinat atau inferior di bawah laki-laki," terang Astuti yang juga penulis buku Tabobo: Jerit Sang Puan di Atas Bongkahan Emas (2016).
Tuti, begitu ia akrab disapa, menuturkan bahwa perempuan dalam usia yang sudah rentan sering diintimidasi dengan pertanyaan-pertanyaan yang privasi misalnya kapan menikah. Bila sudah menikah bakal ditanya lagi kapan punya momongan dan seterusnya.
"Dan kemudian jika seorang perempuan menjadi janda akibat perceraian maka mereka diintimidasi oleh pernyataan yang menyalahkan perempuan. Ada yang menyalahkan perilaku laki-laki. Tapi, perempuan lebih rentan," pungkasnya.
"Standar moral yang terikat oleh budaya kita adalah yang bermoral hanyalah yang terikat oleh perkawinan. Akibatnya perempuan yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga lebih memilih bertahan karena alasan dan budaya masyarakat setempat."
Jika perempuan akhirnya memutuskan tali pernikahan alias meminta bercerai, kata Tuti akan dinilai tidak becus dalam berumah tangga oleh masyarakat.
"Kebanyakan stigma 'pelakor' (perebut laki orang) ini diberikan kepada perempuan oleh perempuan sendiri. Kemudian praktik menyalahkan ini hanya kepada si perempuan. Stigma yang kemudian dibagun dari seorang pelakor adalah kebanyakan seorang yang telah berstatus janda," tandasnya.
Masalah janda memang berkait dengan perceraian. Hasrillah, Ketua Pusmat dengan mengutip statisik perceraian di Maluku Utara yang dirilis oleh Pengadilan Agama Kota Ternate, menyebutkan angka perceraian di Ternate pada 2019 ada 25 kasus dan naik signifikan 312 kasus perceraian di tahun 2020. Sementara, lanjutnya di Kepulauan Morotai khusunya di tahun 2017 sebanyak 34 kasus perceraian.
"Kita sering mendengar ada istilah duda keren, tapi apakah kita pernah mendegar istilah janda keren? Ini berhubungan dengan praktik kekerasan simbolik," tutur Hasrillah dalam kesempatan itu.
Kekerasan simbolik, kata dia terjadi berkaitan dengan aktifitas keseharian yang dipraktikkan secara verbal setiap hari. Ini terjadi akibat dari reproduksi pengetahuan dari hirarki patriarki. "Artinya pola kebudayaan kita dibangun dengan dasar budaya patriarkis."
Sehingga, menurutnya, janda diartikan oleh masyarakat kita lebih ke makna negatif. Tanpa melihat seorang single mom ini berjuang menghidupi anak-anaknya, dan kebutuhan dirinya. Istilah janda juga masih dilabeli dengan perempuan penggoda, perempuan yang suka merebut suami orang, dan makna negatif lainnya.
Stigma soal janda juga sangat merugikan perempuan dan seolah-olah menguntungkan laki-laki. Syifa Aulia Hadianto mewakili The Women's of Innovation (TWIV), mengambil contoh lain ketika media meliput perihal janda atau dalam film-film sinetron. Di sana, peran janda dimainkan dengan menggoda laki-laki, juga seolah janda adalah sosok yang kesepian dan membutuhkan belas kasih sayang.
"Tidak hanya sampai disitu. Strategi marketing juga kerap kali mengubah kata 'janda' untuk menarik perhatian konsumen misalnya ‘bakso janda’ ‘sop janda’ seolah kata ini lumrah di dengar," papar Syifa.
Syifa berpendapat dari sudut pandang seorang anak yang memilki ibu seorang janda, misalnya anak usia remaja sering kali menyalahkan keadaan dan juga melampiaskan ini dengan melakukan tindakan yang menyimpang.
Astuti N. Kilwouw lantas mengatakan salah satu cara melawan stigma dari masyarakat tentang janda ialah dengan cara seperti diskusi dan kampanye-kampenye luas. Termasuk yang dilakukan Sastra Inggris.
"Melakukan diskusi di ruang-ruang akademi agar dapat membuka cakrawala berfikir kita lebih luas. Tidak sesempit yang hidup di masyarakat misalnya perempuan yang berstatus janda pasti perebut suami orang dan makna negatif lainnya," ungkapnya.
Widia Handayani Gai selaku moderator dan Kabid Perempuan HMJ Sastra Inggris lantas mengambil kesimpulan dan menyampaikan bahwa yang hadir di diskusi kali ini harusnya sudah teredukasi agar narasi-narasi negatif terhadap status single mom atau janda ini tidak lagi menjadi bahan olok-olokan.
"Dan agar kita juga bisa menyediakan ruang bagi mereka untuk dapat melakukan apapun tanpa memandang status," terangnya.
Disamping diskusi, HMJ Sastra Inggris juga membuka lapak baca gratis. Buku-buku yang disodorkan banyak terkait isu-isu perempuan dan lainnya. Mereka juga membagi-bagikan propaganda terkait stigmatisasi atas perempuan yang menyandang status janda.[]
Reporter: Susi H. Bangsa
Editor: Ajun