Sumber gambar: Qureta |
Faktanyaa, amanat sakral yang tertuang dalam paragraf keempat perumusan UUD 75 tahun silam itu paradoks dengan realitas hari ini. Dimana angka kemiskinan dan buta huruf masih tinggi. Juga akses terhadap pendidikan yang sulit lantaran biayanya.
Berdasarkann Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Modul Sosial Budaya dan Pendidikan (MSBP) 2019 menyebutkan semakin tinggi jenjang pendidikan maka kian mahal pula biaya sekolah yang harus dibayar. Sementera, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporan presentase penduduk miskin pada Maret 2020 sebesar 9,78%, meningkat 0,56% dari September 2019.
Angka kemiskinan dan akses pendidikan diatas bertentangan dengan cita-cita negara untuk “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Herdi Alif dalam detik.com (2019) mengutip survey HSBC mengenai biaya pendidikan pada 2018 menyebutkan Indonesia masuk ke dalam 15 besar negara dengan biaya termahal.
Dalam daftar tersebut indonesia duduk di posisi ke 13 dengan rata-rata biaya pendidikan yang dihabiskan sejak sekolah dasar hingga sarjana sebesar US$18.422 atau sebanding dengan Rp257.908.000.
Akibatnya, dapat kita lihat bagaimana partisipasi pendidikan naik tapi jutaan anak Indonesia masih putus sekolah.
Bahkan jumlah anak yang tidak bersekolah mencapai 4.586.332 jiwa. Artinya tanggung jawab pemerintah untuk memfasilitasi dan menjamin pendidikan justru telah dikuasai oleh segelintir orang. Alias telah disusupi sistem kapitalisme sehingga dijadikan komoditas.
Sehinggaa jangan heran, sistem pendidikan kita seperti apa yang disebut Paulo Freire, salah satu tokoh pendidikan asal Brazil, pendidikan “gaya bank”. Apapun yang ada di dunia pendidikan tidak ada yang gratis.
Freiree telah mengkritik dengan keras bagaimana sistem global yang picik itu bekerja. Mengubah pendidikan yang seharusnya menjadi sarana sosial tanpa biaya menjadi sesuatu yang bernilai uang.
Akhirnya, pendidikan dijadikan sebagai alat mempertahankan kekuasaaan. Melindungi yang berkuasa dan menindas yang lemah.
Bagaimanana Kapitalisme Bekerja?
Sejakk Soekarno dilengserkan dan pemerintahan diambil kendali oleh rezim Soeharto, Indonesia lambat tapi pasti mengubah secara radikal pranata sosial, budaya, ekonomi hingga politik.
Konsekuensinyaa, kekuasaan yang berlangsung selama 32 tahun itu menjerumuskan bangsa ini ke dalam sistem pasar bebas. Pendidikan menjadi salah satu target yang menggiurkan bagi kapitalisme untuk meraup keuntungan di dalamnya.
Kita bisa lihat sejak Indonesia terlibat dalam Word Trade Organization (WTO) dan pada 1994 terbitnya UU Nomor 7 Tahun 1994 tentang pengesahan atau ratifikasi Agreement Establising the World Trade Organization.
Liberalisasi pendidikan semakin jelas manakala ditandatanganinya kesepakatan GAT's (General Agreement on Trade in Services) mengenai liberalisasi perdangan 12 sektor jasa: Kesehatan, teknologi informasi dan komunikasi, jasa akutansi, Pendidikan dan jasa-jasa lainnya.
Masuknya pendidikan dalam lembaga dagang internasional sekaligus menyapakati pendidikan menjadi sektor jasa, maka pemerintah secara inskonsitusional melepaskan tanggung jawabnya terhadap pendidikan secara nasional.
Pengelolaan pendidikan diserahkan kepada sistem pasar dan dikendalikan oleh pihak swasta.
Menjadi jelas ketimpangan dimana secara umum akses terhadap pendidikan hanya boleh dinikmati oleh orang-orang kaya dan memiliki strata sosial. Sementara yang tidak berdaya secara ekonomi (dimiskinkan) hanya bisa menelan air liur dibalik jendela.
Konsep “mencerdaskan kehidupan bangsa” tampaknya sebatas pemanis buah bibir. Amanat yang tertuang dalam konstitusi negara yang kaya ini diobok-obok sistem pasar bebas. Rakus dan tak terkendali lagi arah pendidikan kita saat ini.
Apa yang Harus Kita Lakukan?
Dalamm sistem kapitalisme, pendidikan tidak akan digratiskan. Sistem yang mendambakan akumulasi modal mana mungkin punya niat sebaik itu. Yang ada justru menjadikan pendidikan (1) sebagai komoditas dan (2) sebagai tenaga cadangan untuk disiapkan bekerja di sektor-sektor industri yang sudah disiapkan.
“Mencerdaskan kehidupan bangsa” hanya bisa dilakukan bila pendidikan diseluruh jenjang dan strata digratiskan. Dan hal itu tidaklah mudah. Kita bisa belajar dari gerakan pelajar di Chile yang menjadi salah satu gerakan sosial yang cukup berhasil di abad ke-21 ini.
Selain berhasil memenangkan tuntutan mereka dalam hal pendidikan digratiskan, juga metode gerakan dalam menentang kebijakan neoliberalisme.
Pendidikan di Chile sebelum revolusi penguin dan gerakan “musim dingin” terjadi, sektor pendidikan memang tidak berbeda jauh dengan di Indonesia: investasi, komoditas dan barang mewah.
Pelajaran penting dari metode gerakan mereka ialah bagaimana revolusi pinguin itu tidak saja melibatkan pelajar dan mahasiswa, namun juga “front populer” yang terdapat gerakan pelajar, serikat buruh, serikat petani, serikat guru, hingga orang-orang tua.
Dengan memobilisasi jutaan warga turun ke jalan melawan kebijakan neoliberalisme pendidikan warisan rezim otoriter Pinochet.
Ini pelajaran penting. Jika kita punya cita-cita mewujudkan pendidikan gratis, ilmiah, demokratis, kerakyatan dan berbasis gender, upaya “mencerdaskan kehidupan bangsa” hanya bisa dilakukan dengan jalan menentang sistem picik yang mengkerangkeng pendidikan kita.
Syaratnya memang tidak mudah, yakni dengan memobilisasi massa dan mengorganisir kekuatan dari kalangan bawah yang paling merasakan terputusnya akses pendidikan mereka. Hal ini jika kita berhasil, cita-cita “mencerdaskan kehidupan bangsa” akan tercepai. Pendidikan tidak lagi menjadi “barang mewah” bagi kaum miskin.
Bila demikian, kita telah memotong satu rantai kapitalisme dalam sektor pendidikan selama ini.[]
Penulis: Darman
Editorr: Ajun