Sekolah Pebebasan Perempuan Sekber Maluku Utara saat aksi depan Dodoku Ali, Jumat (12/2/2021) Foto: Sukri |
lpmkultura.com -- Sekolah Pembebasan Perempuan (SPP) SEKBER Maluku Utara gelar aksi kampanye anti kekerasan terhadap perempuan pada Jumat (12/2/2021). Aksi ini digelar jelang peringatan Hari Perempuan Internasional pada 8 Maret mendatang.
Aksi di mulai sekira pukul 14.49 WIT dari Dodoku Ali dan RRI Cabang Ternate, Kelurahan Salero, Ternate Utara. Dalam kesempatan itu, mereka mendesak agar Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual disahkan.
Kordinator Aksi Nur Moti mengatakan untuk melawan kekerasan terhadap perempuan jalannya dengan membangun gerakan bersama perempuan dan lawan kekerasan berbasis gender dari sistem kapitalisme dan patriarki.
Dia juga mengatakan perempuan harus diberi ruang aman dan setara. Bagi dia, propaganda dan kampanye atas isu kekerasan seksual harus terus disuarakan baik di tingkat lokal hingga ke nasional
"Pada era globalisasi ini posisi kaum perempuan ditindas habis-habisan oleh kapitalisme. Dimana kaum perempuan dijadikan barang perlombaan dengan mitos standarisasi kecantikan, bahwa untuk melamar pekerjaan dalam sebuah perusahan harus memiliki wajah yang cantik, putih dan tinggi," kata Nur Moti dalam orasi politiknya.
Karena itu, menurutnya, banyak perempuan yang berlomba-lomba menghabiskan uang mereka untuk membeli produk-produk kosmetik dengan harga yang sangat mahal. Padahal, tanpa disadari bahwa mereka sudah ditindas oleh kapitalisme dengan bergantung pada produk kecantikan kapitalis.
kondisi saat ini dimotori oleh sistem yang menindas. Sehingga jangan heran jika kasus kekerasan seksual terhadap perempuan terjadi dalam segala sektor dan makin meningkat.
Mengutip Catatan tahunan (Catahu) Komnas Perempuan tahun 2020, Nur memaparkan bahwa terdapat 431.471 kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia, dan 4.898 kasus kekerasan seksual.
Pada bulan September tahun 2020, tercatat 481 kasus. Dengan presentase pemerkosaan 220 kasus, disusul perkawinan anak 145 kasus. Namun 65% kasus yang terdokumentasi adalah anak-anak sebanyak 314, yakni 12 balita, 104 usia tanggung dan sissanya 198 adalah usia remaja.
Selain itu, kata Nur, di masa pandemi COVID-19, sangat rentan dengan kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Setidaknya ada beberapa kasus yang terjadi, namun ia menyayangkannya, karena beberapa kasus diselesaikan dengan cara kekeluargaan. Padahal seharusnya diadili secara hukum.
"Tak ada tempat dan kata maaf untuk kasus kekerasan seksual," tegasnya.
Nur juga memaparkan beberapa kasus pelecehan dan kekerasan seksual yang terjadi di Maluku Utara baru-baru ini, seperti yang dilakukan Kepala Desa Mari Gam, Kec. Tidore Selatan yang memasang CCTV dalam kamar mandi umum dengan tunjuanya untuk merekam karyawatinya mandi.
Sementara yang terjadi di Kabupaten Pulau Morotai, seorang polisi menghamili bidan, akan tetapi, ia tidak mau bertanggung jawab. Malah meminta bidan itu untuk menggugurkan bayi yang ada dalam kandungannya. Selain itu, perempuan 16 tahun di perkosa oleh ayah kandung, kakek dan pamanya dari tahun 2017-2020 di Kabupaten Halmahera Utara.
"Setiap tahun kekerasan selalu meningkat dan dekat disekitar kita. Hal ini bisa terjadi pada siapa, kapan dan dimana saja," ungkap Nur
Karena itu, Ia menilai pentingnya mendorong pengesahan RUU P-KS ini sebagai upaya menekan angka kekerasan, jerat hukum yang pasti, serta ruang aman dan tempat rehabilitas untuk korban kekerasan seksual.
Reporter: Sukri
Editor: Darman