Ilustrasi |
Penulis: Nurdafni K. Hamisi*
Seri II
Pagi-pagi sekali, aku sudah siap-siap berangkat kerja. Seperti biasa, ayah mengantarku sampai di depan pagar rumah. Aku pamitan dan menyusuri pelataran jalan ke kantor.
“Aku berangkat dulu ya ayah, jika ayah perlu apa-apa hubungi saja, aku akan minta izin pulang.”
“Tidak nak, bekerjalah, lakukan yang terbaik yang kamu bisa.”
Aku pergi bekerja sebagaimana aktifitasku tiap hari. Tempat kerjaku tidak jauh dari rumah. Kira-kira tiga ratus meter dan bisa ditempuh dengan jalan kaki. Di tengah perjalanan aku menemukan dompet seseorang yang jatuh, tidak tahu siapa pemiliknya. Kutimang-timang sambil menengok sana-sini, barangkali ada orang yang sibuk mencari barangnya yang hilang. Sayangnya tidak dan aku beranikan diri membuka isinya, mungkin saja ada alamat pemilik dompet warna cokelat ini.
Ada ratusan uang, juga sebuah ATM dan KTP. Astaga, foto di KTP ini mirip Fahmi yang malam itu menyajikan cemilan beserta segelas alkohol. Tidak salah lagi, apalagi nama di KTP jelas-jelas tertulis lengkap Fahmi Prasetyo. Ah, dompet itu hampir saja ku lemparkan ke dalam selokan. Aku takut, tapi pesan ayah terlintas dibenakku.
“Jika kita membenci seseorang, dan orang itu perlu bantuan, bantulah, perlakukan diri kita sebagai manusia dalam keadaan terpuruk apapun.”
Dompet itu lantas aku masukan ke dalam tas dan lanjut berjalan ke tempat kerja. "Pasca pulang kerja aku akan kembalikan ke dia," pikirku membatin.
Rupanya, wajah lelaki yang entah juga terlibat persekongkolan jahat membuat ku mabuk dan membuka cadarku itu terngiang-ngiang. Aku tidak berani dan masih trauma melihat lagi tampangnya bila nanti aku yang antar.
“Oh, iya Tini mengenalnya.” Aku bergegas ke tempat kerja. Barangkali Tini bisa membantuku.
Ku letakkan barang-barang ku di meja dan duduk membelakangi Tini di ruang kerja itu. Aku menarik napas sebentar sampai perasaan benar-benar legah.
“Tini, aku boleh minta bantuan?” ku balikkan kursiku menghadap Tini.
“Boleh, memangnya ada apa?”
“Aku menemukan dompet Fahmi tadi di jalan, kau kenal kan? Lelaki yang kau bilang tampan waktu kau menunjukkan fotonya di instagram itu kepadaku.”
“Benarkah?” timpal Tini bersemangat.
“Sini dompetnya biar aku yang kembalikan padanya.”
“Tapi kumohon, jangan katakan jika dompet ini aku yang temukan. Bilang saja padanya kalau kau yang menemukan di jalan. Jadi kau antar sesuai alamat di KTP, yah.”
“Baiklah, siapa tahu, dia jatuh hati terhadapku dan menikahiku sesegara mungkin, ha ha ha.”
Kata-kata Tini itu membuatku teringat lagi kejadian malam “jahanam” itu.
“Bismillah…lupakan Aisha, ada Allah, kau pasti bisa,” kataku dalam hati sembari ku elus-elus dada.
Pikiranku sudah mulai tenang. Aku lanjutkan pekerjaan sampai jam pulang.
“Jangan lupa yah, Tini.” Ku ingatkan lagi padanya.
“Iya, tenang saja,” jawabnya.
***
Setelah ba’da isya, aku duduk di kursi samping jendela kamar sembali ku ambil foto ibu yang terpajang indah diatas meja belajar. Aku menatap dalam-dalam wajah ibu di foto itu lantas mengelusnya perlahan.
“Bu, aku sudah dewasa sekarang, tapi tetap menjadi bocah ketika dipelukanmu.”
“Maukah kau menemuiku walau hanya dalam mimpi?”
“Mendengar suaramu saja bu, sudah cukup!”
Aku berulang kali berkilah meminta dan berharap kepada Tuhan sampai tak sadar air mataku mengucur deras. Tak berapa lama, ponselku berdering singkat. Ada pesan masuk.
“Terima kasih bunga,” isi pesan dengan nomor baru yang tidak aku kenal.
“Jangan sampai ini Fahmi!” kataku dalam hati.
“Maaf ini siapa?” aku balas singkat.
“Jangan pura-pura tak mengetahui apapun, kau tak akan ku apa-apakan, jangan terlalu tegang.”
“Jika kau tak menjawab siapa dirimu, aku akan memblokir nomor ponselmu!”
“Baiklah, aku Fahmi, si pemilik dompet hilang tadi, bunga.”
“Sudahi basa-basimu. Sama-sama, aku akan segera istirahat, maaf. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumussalam, bunga.”
Pikiranku tak karuan lagi. Aku gelisah. Panggilan ‘bunga’ membuatku tak nyaman. Sial, barangkali Tini mengatakan perihal dompet itu dan siapa yang menemukannya.
“Ya Allah, karuniakanlah aku ketenangan jiwa dan pikiran, jauhi aku dari orang-orang yang berniat jahat,” ku tengadahkan doa malam itu. Ku matikan lampu lantas rebahkan badan dan istirahat.
***
Masih pagi di kantor teman-teman kerja pada berkumpul. Melihat dan membicarakan sesuatu yang bikin aku penasaran.
“Kalian sedang membicarakan apa?”
“Nah, Aisha! kau harus ikut ini, program beasiswa ke Mesir, pasti kamu akan lolos. Ikut yah!” ucap Dewi spontan seolah-olah memaksa.
“Aku belum mau ikut Dew. Aku harus kerja dan mengumpulkan uang supaya ayah ku cepat berangkat haji.” Aku mulai duduk menghadap komputer.
“Yakin kamu tidak mau? Bukankah jika S2-mu di Mesir, kamu akan mendapat pekerjaan yang lebih baik dengan upah yang lebih besar kan!”
“Hm, aku masih mau menjalani pekerjaanku dulu, Dew.”
“Baiklah Aisha, semua adalah pilihanmu, kembalilah bekerja dengan serius.”
***
Malam pun tiba. Ku ingat-ingat lagi brosur beasiswa S2 yang dibicarakan di kantor tadi pagi. Apa yang dikatakan Dewi ada benarnya, pikirku. Barangkali dengan S2 di Mesir masa depanku lebih terjamin dan bisa bahagiakan ayahku kelak. Aku lantas keluar kamar dan menemui ayah yang tengah duduk di ruang tengah. Aku duduk disampingnya sambil memegang tangan ayah dan mulai cerita.
“Yah, kalau aku lanjutkan kuliah di Mesir, bagaimana?”
“Kalau itu keinginanmu kuliah saja nak. Ayah akan selalu mendukungmu walau dalam keadaan apapun. Asalkan kau ingat, selalu jaga diri dan ingat kau seorang muslimah.”
“Tapi aku tidak mau ayah sendiri disini.”
“Kan ada kakakmu. Ya walaupun dia tidak selalu ada di rumah tapi percayalah, ayahmu yang hebat ini akan selalu baik-baik saja,” timpal ayah menguatkanku.
“Makasih yah, sudah menjadi lelaki terbaik yang Tuhan hadirkan,” kataku perlahan dan tidak bisa menyembunyikan air mata.
“Yasudah, sana istirahat, besok kau harus menyiapkan berkas beasiswamu. Jangan sampai ada yang salah dan jangan lupa berdoa.”
Kucium tangan ayah dan bergegas kembali ke kamar. Restu ayah cukup bikin aku bahagia. Impian yang dahulu aku inginkan kini tercapai. Kuliah di Mesir, kota nun jauh yang terletak di Afrika bagian timur laut. Negara pertama yang juga konon mengakui bangsa Indonesia berdiri 1945.
***
Pagi-pagi sekali aku beranjak ke kampus. Membawa beberapa berkas untuk ku ajukan ikut beasiswa itu. Segala persiapan telahku siapkan sejak tadi malam usai meminta restu ayah. Sehari penuh aku mengurus impian masuk S2 itu. Katanya, tiga hari lagi hasilnya bakal keluar. Aku teringat, harus mengatakan apa pada kakaku. Ku ambil ponsel dan menelponya.
“Kak, jika aku lolos dan jadi kuliah di Mesir, tolong kau jaga ayah, jangan kau sakiti dia. Jika kau mabuk jangan dulu pulang ke rumah hingga kau benar-benar sadar dari alkohol itu baru kau ke rumah.”
“Tenang saja, aku tidak akan melakukan hal buruk apapun pada ayah. Yasudah, aku mau main PS dulu,” katanya lalu mematikan teleponnya.
TIGA HARI yang ku tunggu-tunggu kini telah tiba. Aku tidak sabar melihat hasilnya. Kata petugas di kampus, untuk tahu hasil dan siapa saja yang lolos, tinggal klik tautan yang dikirim ke email para peserta. Memang sudah ada notifikasi masuk sejak pagi, namun baru pada pukul 10.00 aku buka email itu.
Berikut nama-nama yang lolos beasiswa di Universitas Khairo, Mesir. Nama peserta terlampir dalam file.
Begitu bunyi isi email itu. Aku lantas buka filenya, dan alhamdulillah namaku tertera di nomor ke 10 dari 30 peserta pendaftar yang lolos. Aku bersyujud dan tengadakan tanganku ke Sang Ilahi.
“Terimakasih Tuhan.”
Dengan air mata berkaca-kaca bahagia, ku panggil ayah. Aku berlari dan langsung memeluknya.
“Aku lolos beasiswa ayah.”
“Selamat ya, nak.”
Aku dan ayah tak bisa menahan rasa bahagia ini. Lelaki yang aku anggap paling terbaik sepanjang hidupku, dan tak lekan oleh waktu.
Jadwal berangkat ke Kairo dua hari kemudian. Segala barang-barangku telah aku siapkan sampai tiba waktunya bakal hidup tanpa ayah. Ku kuatkan hatiku juga batinku. Pesawat mulai lepas landas dan tentu saja segala kenangan dan cinta bersama ayah ku simpan dalam-dalam. Aku bakal kuliah sambil bekerja disana agar bisa mengirimkan uang pada ayah yang sudah paruh baya. Yang aku takutkan hanyalah kakaku, Rama. Dia kerap menyakiti perasaan ayah. Semoga saja tidak terjadi apa-apa pada ayah selama aku kuliah.
Sesampainya disana, aku masuk kuliah dan sudah berjalan selama dua minggu. Namun, tiba-tiba saja aku cemas, tak berapa lama kakaku menelpon menggunakan panggilan video.
“Tumben telepon, ada apa?” tanyaku. Lantas aku tanya keberadaan dan keadaan ayah dan menjelaskan panjang lebar bahwa aku sudah bekerja disini. Dua minggu lagi aku akan mengirimkan uang kalau upah kerjaku sudah cair.
“Kenapa tidak kau nyalakan kameranya. Mana ayah?”
Kau lihat botol-botol ini, indah bukan?”
“Astagfirullah. Istigfar kak. Jangan macam-macam kau. Mana ayah? Jangan sampai ku laporkan kau ke polisi.”
Aku menangis sejadi-jadinya melihat tingkah kakaku. Rumah tampak berantakan dengan botol-botol minuman keras berjejeran di atas meja. Kak Rama lalu menghadapkan kamera pada ayah. Ayah terbaring lemas di sofa. Tampaknya sakit magnya kambuh lagi. Ku lihat ayah sesak nafas dibalik kamera itu. Aku tak bisa menahan pedihnya kelakukan kakaku yang tega-teganya memperlakukan ayah seburuk ini. Dia memperlihatkan aksi kejinya di rumah di hadapan ayah. Beberapa botol minuman ia tumpahkan ke lantai.
“Buka mulut dan minum obat ini!” bentak kakaku sembari menyuguhkan sebuah obat padah ayah.
“Demi Allah kak, kau lebih keji dari binatang!”
“Ayah, maaf,” air mataku mengucur sederas-derasnya. Aku matikan telepon itu dan ku telepon Kumi, dia tetangga kami dan minta bantuannya masuk ke rumahku melihat keadaan ayah yang lagi sakit dan bila perlu usir saja kakakku dari rumah. Hari itu aku terus lafalkan surah-surah pendek. Memohon pada Tuhan agar ayahku dilindungi dan lekas sembuh. Aku ingin sekali pulang ke rumah namun tidak mungkin secepatnya.
“Sudah ku usir kakakmu, dan ayahmu sudah aku beri obat. Sekarang dia istirahat di kamar,” kata Kum melalui telepon.
“Kum, ku titip ayah, setidaknya uang yang akan ku kirimkan bisa membiayai pengobatan dan makanan ayah sehari-hari.”
“Santai saja, aku akan jaga ayahmu dan tidak akan membiarkan siapapun menyakitinya. Kau fokus belajar dan bekerja untuk ayahmu dan kuliahmu.”
“Makasih ya, Kum.”
“Aisha, tapi tadi ada lelaki yang datang kepada ayahmu dan memberikan ayahmu uang, aku lupa namanya, yang pasti orang yang tinggi, berbadan bidang, dan tampangnya seperti lelaki yang sangat mapan.”
“Coba ingat-ingat lagi Kum, namanya.”
“Terus, laki-laki itu menawarkan untuk tinggal bersama dia sampai kamu kembali. Tapi aku menolaknya.”
“Siapapun dia, semoga tidak ada niat jahat kepada ayah dan keluargaku.”
“Aku pikir dia orang yang sangat baik, Aisha.”
“Semoga saja.”
“Mungkinkah lelaki itu Fahmi?” pikirku setelah sambungan telepon itu ku tutup. Ah, barangkali hanya perasaanku saja. [bersambung]
Baca seri pertama: Darah Bunga
*Penulis adalah mahasiswa aktif Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Khairun. Anggota LPM Aspirasi.