Victor Yeimo (kaos merah) saat orasi. Foto Jubi.co.id |
Aksi yang digelar dari depan pasar Higienis-Taman Nukila, Ternate Tengah, ini tidak berjalan efektif. Sekitar pukul 12.30 sejumlah aparat berpakaian preman mengacam agar massa aksi tidak melangsungkan demonstrasi. Umbul-umbul yang tertulis "Bebaskan Tapol Papua Tanpa Syarat" dirampas.
"Kata mereka [intel], bila kami paksa melakukan aksi, maka siap-siap saja akan dipukuli, dan direpresi aparat," kata Nangkos, salah satu peserta aksi.
Dalam rentang selama dua puluh menit, massa aksi terus dipaksa membubarkan diri dengan cara-cara yang intimidatif. Aksi demonstrasi itu tidak sempat berjalan. Mereka lantas menuju ke kampus Universitas Muhammadiyah Maluku Utara, dan sekadar mambagi-bagikan selebaran kepada mahasiswa disana.
Massa aksi Komite Aksi saat akan menuju lokasi aksi sudah di hadang aparat dan dipaksa bubarkan diri. Foto: Dokumentasi komite aksi, Selasa 25 Mei 2021. |
Aksi ditutup pada pukul 13.46, setelah kordinator aksi, Agus membacakan pernyataan sikap.
Menolak Otsus di West Papua
Dalam keterangan resmi komite aksi, menyebutkan bahwa klaim pemerintah atas penerapan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Papua berhasil adalah keliru. Mengutip Badan Pusat Statistik 2021, dua provinsi di West Papua masih termasuk tingkat kemiskinan tertinggi di Indonesia.
"Sebagian dari UU Otsus belum pernah diterapkan atau diterapkan secara tidak lengkap atau tidak efektif," kata Agus, seperti dalam propaganda aksi.
Penerapan yang dipilih-pilih ini bisa dilihat dari, misalnya, terang Agus, kegagalan pemerintah membentuk Kebenaran dan Rekonsiliasi untuk mengungkap masa lalu, kegagalan dalam pembentukan partai politik lokal, atau pelarangan pemerintah lokal memakai lambang West Papua, Bintang Kejora, karena diasosiasikan dengan nasionalisme West Papua.
Bagi orang Papua, UU Otsus punya tiga arti penting, diantaranya; pertama, disahkan menjelang berakhirnya era Kebangkitan Politik Papua (The Papuan Spring) dibawah pemerintahan Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. UU ini menjanjikan perbaikan kondisi ekonomi dan kedaulatan rakyat West Papua, mengobati luka lama akibat penindasan panjang, serta melegalisasi partai politik lokal.
"Namun beberapa hari sebelum UU itu disahkan, pimpinan politik West Papua Theys Eluay dibunuh oleh Kopassus. Era Kebangkitan Politik Papua pun diakhiri dengan penuh kekerasan oleh aparat Indonesia pada 2003. Jadi jangan heran, bayangan kelam menghantui hari kelahiran UU Otsus."
Kedua, UU Otsus diterapkan tanpa memerhatikan mekanisme demokrasi yang sejati. Lembaga-lembaga pemerintahan lokal yang dilahirkan Otsus kerap jadi sasaran intervensi dan pengawasan agar tidak melibatkan kandidat-kandidat pro-kemerdekaan.
Karenanya, lembaga-lembaga seperti Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) dianggap sebagian besar rakyat tidak sepenuhnya representatif mewakili rakyat West Papua.
Ketiga, Implementasi UU Otsus selalu fokus pada program-program pembangunan. Sedangkan faktanya, proyek-proyek pembangunan lebih sering jadi sasaran penyelewengan dana.
Alih-alih hendak mengikutsertakan orang asli West Papua dalam proses pembangunan yang inklusif, sejak Oktober 2020 Presiden Jokowi menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) No. 9 Tahun 2020 yang mengambil alih kuasa atas proyek-proyek pembangunan ke tangan pemerintah pusat.
"Respon pemerintah Indonesia terhadap berbagai penolakan selalu sama. Selain kembali mengubur janji percepatan dan penambahan proyek pembangunan, pemerintah juga melakukan pembungkaman dengan cara pembubaran, penangkapan, dan kriminalisasi.
Diantaranya, Organisasi Papua Merdeka dilabeli sebagai teroris, dan beberapa hari selanjutnya Victor Yeimo ditangkap.
Mendesak Bebaskan Victor Yeimo
Agus mengatakan dalam keterangan itu, bahwa Victor dikenal sebagai aktivis akar rumput yang penuh dedikasi dan berjuang tanpa menggunakan kekerasan.
Penangkapan yang dilakukan terhadapnya merupakan bentuk pelanggaran atas kebebasan berekspresi dan berpendapat secara damai, serta akan menghambat kemungkinsn dialog dalam menyelesaikan permasalahan di West Papua.
Komite aksi menilai, penangkapan terhadap Victor Yeimo merupakan bagian dari upaya pemerintah membungkam gerakan yang diorganisir Petisi Rakyat Papua (PRP), yang selama ini melakukan aksi-aksi penolakan secara damai.
Victor Yeimo sebenarnya tidak terlibat dalam aksi kedua kali pada 29 Agustus 2019 dan justru pada aksi tanggap 19 Agustus tahun itu juga yang "berhasil mengendalikan puluhan ribu orang yang memprotes rasisme di kota Jayapura pada 19 Agustus 2019," kata Yeimo, seperti dikutip suarapapua.com
Sekitar 31 organisasi pendukung juga mengecam keras tindakan penangkapan terhadap Yeimo dan menyerukan agar dia dibebaskan tanpa syarat. Bagi mereka, pemidanaan terhadap Victor Yeimo dilandasi pada motivasi politik pemerintah yang terus gagal menyelesaikan akar masalah konflik di Papua, seperti salah satunya menuntaskan praktik rasisme terhadap rakyat Papua baik yang dilakukan oleh aparat negara maupun warga lain yang intoleran.
"Menyalahkan Victor Yeimo dan kawan-kawan aktivis politik Papua lainnya atas beberapa aksi kerusuhan dan kekerasan di kota-kota Papua pasca insiden-insiden rasisme Agustus 2019 di Jawa tidak hanya keliru, tetapi juga kontra produktif untuk meredam ketegangan politik di Tanah Papua," sebut mereka dalam keterangan yang diterbitkan di kontras.org
Organisasi independen Human Rights Watch juga mendesak agar pemerintah Indonesia mencabut tuduhan makar dan membebaskan Yeimo tanpa syarat.
Organisasi hak asasi manusia yang berbasis di Amerika Serikat ini juga meminta Presiden Jokowi agar secara terbuka perlu mengarahkan polisi dan militer Indonesia, yang terlibat dalam operasi keamanan di Papua dan Papua Barat, "untuk bertindak dengan hormati hak asasi manusia, sesuai hukum internasional, dan akan dimintai pertanggunggjawaban yang melanggar."
Brad Adams, direktur Asia dari Human Rights Watch mengatakan perlawanan orang Papua terhadap negara Indonesia serta penindasan secara militer dan polisional seringkali ditanggapi dengan pelanggaran lebih banyak.
"Pihak berwenang Indonesia harus memastikan bahwa semua operasi keamanan di Papua dilaksanan sesuai hukum dan bahwa aktivis damai dan warga sipil lainnya tidak menjadi sasaran," mengutip keterangan di hrw.org, web resmi organisasi HAM ini.
Tututan
Komite aksi menuntut diantaranya;
1. Pemerintah Indonesia harus kembali menyasar masalah pokok West Papua, dan berhenti mengalihkan ke persoalan dana otonomi khusus;
2. Pemerintah Indonesia harus menghormati mandat MRP untuk mengevaluasi otonomi khusus sebagaimana diatur UU Otsus 2001 dan hormati kehendak gerakan akar rumput yang diorganisasikan PRP;
3. Pemerintah Indonesia harus bekerja sama dengan gerakan masyarakat sipil untuk mengevaluasi dan meminta pertanggungjawaban aparat keamanan atas tindakan mereka di West Papua;
4. Tarik TNI dan Polri dari tanah West Papua syarat yang memungkinkan terciptanya dialog secara damai.
5. Bebaskan Victor Yeimo, Roland Karafir, dan Kelvin tanpa syarat.
Reporter: Ajun
Editor: Susi