Aksi mahasiswa di Ternate Peringati Hari Buruh Internasional pada 1 Mei 2021. Foto: Ajun/LPM Aspirasi |
aspirasipress.com -- Gemuruh demonstrasi peringati Hari Buruh Internasional atau May Day digelar depan Pasar Gamalama, jalan Revolusi, Ternate Utara, pada Sabtu (1/5/2021). Gabungan organisasi mahasiswa dan serikat buruh ini tergabung dalam Komite Aksi Mei Berlawan (KAMB). Mereka menyuarakan berbagai persoalan buruh dan rakyat dengan membentangkan spanduk tertulis "Perkuat Persatuan Gerakan Rakyat, Runtuhkan Rezim Oligarki dan Wujudkan Demokrasi Sejati".
Dalam pantauan, aksi peringati hari buruh ini rencananya di gelar longmarch, dari Pasar Gamalama, perempatan Plazza, Taman Nukila dan Land Mark. Namun dicegat aparat kepolisian dengan alasan pandemi COVID-19. Sempat terjadi cekcok dan masa didorong untuk dibubarkan, namun dapat dilerai dengan negoisasi dan aksi berjalan hingga pukul 16.00 WIT.
Aksi mahasiswa di Ternate Peringati Hari Buruh Internasional pada 1 Mei 2021. Foto: Ajun/LPM Aspirasi |
Kordinator Aksi, Isnain S. Zen menerangkan seperti dalam keterangan pers, bahwa pemerintahan presiden Jokowi tampaknya makin destruktif dan lebih melindungi kepentingan korporasi serta oligarki.
Ini bisa dilihat dari berbagai macam produk hukum yang lahir selama dua periode pemerintahan Jokowi. Salah satunya pengesahan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Termasuk 49 peraturan turunan dan 45 Peraturan Pemerintah dan 4 peraturan presiden untuk proyek rencana pembangunan jangka menengah (RPJM) 2019-2024, pembagunan SDM, investasi, reformasi birokrasi, dan penggunaan APBN tepat sasaran.
"UU dan peraturan ini sejak awal sudah ditolak dan diprotes masyarakat, terutama buruh, petani, dan mahasiswa namun tidak diakomodir," ujar mahasiswa di salah satu perguruan tinggi di Ternate itu.
"Rakyat malah diperhadapkan dengan undang-undang ITE dan militerisme sebagai tameng pemerintah".
Aksi mahasiswa di Ternate Peringati Hari Buruh Internasional pada 1 Mei 2021. Foto: Ajun/LPM Aspirasi |
Bagi Isnain, ini makin memperparah demokrasi di Indonesia, sebab beberapa kali rakyat mencoba membangun gerakan namun justru dikriminalisasi. "Perkembagan terakhir di Desa Wades, 11 aktivis ditangkap dan lainnya mengalami luka-luka setelah mempertahankan tanah mereka".
Tak cuman itu saja, KAMB juga menyoroti persoalan di Papua, selain persoalan penutupan akses internet saat situasi rasisme, pun kriminalisasi gerakan semakin masif dilakukan akibat penambahan militer di Papua.
Sementara situasi buruh dimasa COVID-19, kata Isnain makin parah, hal itu dibuktikan dengan 3,6 juta buruh di PHK dan dirumahkan sejak Mei 2020, ditambah peraturan pelaksanaan UU cipta kerja disektor buruh seperti PP nomor 37 tahun 2021 yang bertolak belakang dengan apa yang selama ini dituntut oleh buruh di Indonesia.
Dalam PP No.37 Tahun 2021 tentang penyelenggaraan program jaminan kehilangan pekerjaan (JKP) sebagai jaminan sosial yang diberikan kepada pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK). Selain mengatur persoalan manfaat uang tunai, juga mengatur perjanjian kerja untuk waktu tertentu (PKWT) atau perjanjian kontrak selama 5 tahun. Batas waktu itu bahkan lebih lama dibandingkan ketentuan yang diatur dalam UU nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, yakni selama tiga tahun.
Selain itu, sebagian besar buruh di Maluku Utara belum memiliki serikat, sehingga Isnain menilai hal ini mempersulit buruh untuk memperjuangkan hak-haknya.
"Kalaupun ada serikat pekerja, serikat itu dipilih-pilih perusahaan, bukanya diberikan demokrasi (kebebasan) seluas-luasnya bagi buruh, walaupun ada aturan yang melegalkan adanya pembangunan serikat," ucapnya.
Sehingga momentum Hari Buruh Internasional kali ini, Komite Aksi Mei Berlawan menyerukan pentingnya persatuan untuk mengkualitaskan gerakan rakyat.
"Karena kalau tidak ada persatuan maka penderitaan rakyat akan terus terjadi, sehingga sudsh seharusnya rakyat sadar dengan kondisi ini," terangnya.
Reporter: Darman
Editor: Susi