Ilustrasi pemerkosaan/timlo.net |
LPM Aspirasi -- Markas Kepolisian kini bukan tempat yang aman bagi perempuan penyintas kekerasan. Institusi yang katanya “melindungi dan mengayomi” justru memelihara seorang predator yang memerkosa perempuan di bawah umur.
Predator itu adalah Nikmal Idwar, Brigadir Polisi Satu tingkat II yang bertugas di Markas Kepolisian Sektor Jailolo Selatan, Halmahera Barat, Maluku Utara. Di sebuah ruangan Mapolsek inilah, perempuan berusia 16 tahun diperkosa polisi berpangkat Briptu II.
Dalam laporan media, korban dan seorang temannya ditangkap di salah satu penginapan di Sidangoli sekitar pukul 01.00 dini hari lalu dipaksa ikut ke Mapolsek menggunakan mobil patroli.
Keduanya diperiksa di ruangan terpisah oleh dua orang polisi yang bertugas dan ditanya mengapa melarikan diri. Korban dan temannya mengatakan mereka sekadar jalan-jalan dari Bacan ke Ternate dan sudah diizinkan orang tua.
Sialnya, polisi menuduh mereka kabur dan diperiksa berjam-jam di Mapolsek. Sempat-sempatnya, saat ditangkap polisi ini tawari mereka ke café atau ke kantor. Keduanya tentu berprasangka bila di Mapolsek akan aman. Sayangnya, tempat ‘aman’ itu justru adalah ‘sarang’ di peliharanya seorang predator.
Setelah diperiksa, pelaku memaksa agar korban beristirahat di dalam ruangannya. Korban sempat menolak, namun dipaksa dan akhirnya mengalah. Predator ini lantas memerkosa korban dengan ancaman akan mengurungnya di penjara bila korban menolak.
Teman korban memang berada di ruang terpisah dengannya. Dia baru tahu setelah korban menangis di sebuah ruangan.
Polisi lain bukannya menolong, malah ikut-ikutan dengan meminta korban menuntut uang ‘tutup malu’ sebesar dua juta rupiah dan akan dibagi dua dengannya.
Walau pelaku sudah akan dipecat secara tidak terhormat, dan keterlibatan polisi lain sedang diselidik, namun perkara ini justru mempertegas keyakinan bahwa polisi gagal menjadi ‘rumah aman’ bagi para korban penyintas kekerasan.
Trauma
Kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh seorang polisi brigadir ini terungkap setelah dilaporkan keluarga korban ke Polda Maluku Utara. Kini pelaku sudah ditahan dan dijerat dengan Pasal 80 dan Pasal 81 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman maksimal 15 tahun penjara.
Adip Rojikan, Kabid Humas Polda Kombespol mengatakan setelah ditetapkan sebagai tersangka, Briptu II ditahan. Pada 23 Juni lalu, penyidikan sudah sampai tahap rekonstruksi. Sembilan saksi sudah diperiksa, “termasuk korban. Polisi juga sudah meminta visum ahli kesehatan.”
Nurdewa Safar, pendamping korban dari LSM Daurmala Maluku Utara mengatakan ada upaya dari Polsek Jailolo Selatan yang ingin menutupi kasus ini. Mereka, katanya mau memediasi untuk diatur secara kekeluargaan.
“Jelas ini tidak bisa diterima,” tegas Nurdewa mengutip kompas.id. Karena itu, kata Dewa, pihak keluarga melaporkan kasus ini ke Polda Maluku Utara.
“Jadi laporan ini adalah inisiatif dari keluarga, bukan dari polisi. Padahal kejadian itu di kantor polisi,” tambah Nurdewa.
Dia berkata, korban sangat tertekan dan mengalami trauma berat akibat pemerkosaan. Hingga saat ini, korban masih ketakutan apabila melihat orang berseragam polisi dan kini lebih banyak mengurung diri di dalam kamar.
Dalam sebuah penelitian berjudul Dampak Kesehatan Mental Pada Anak Korban Kekerasan Seksual, Ullum Kusumaningtyas dan kedua rekannya mengatakan perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual merasa takut jika peristiwa kekerasan seksual tersebut terulang kembali atau jika peristiwa tersebut diketahui dan di dengar oleh orang lain.
Riset ini juga menyebut perempuan yang mengalami pengalaman traumatik maka akan muncul perasaan malu adanya perasaan tertekan disertai dengan emosi yang tidak menyenangkan seperti rasa cemas dan ketidakberdayaan.
“Perempuan akan sulit melakukan penyesuaian dengan orang-orang disekitarnya karena merasa bahwa dirinya dirinya berbeda dengan orang-orang yang tidak memiliki pengalaman pahit sepertinya,” sebut riset itu.
Dikecam
Kasus ini mengundang kecaman publik dan dukungan terhadap korban. Women’s March Ternate dalam keterangan menduga, tindak perkosaan yang dilakukan pelaku sangat terencana dan sistematis. Korban dan temannya dibohongi.
Bagi mereka, Nikmal memanfaatkan kondisi korban yang ketakutan, lapar, lelah, dan mengantuk lalu dia memperkosa.
Pelaku memang dijerat Pasal 81 Ayat (1) UU Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Perempuan dan Anak jo Pasal 294 KUHP tentang Perbuatan Pencabulan. Ancaman hukuman yang diterima maksimal 15 tahun penjara, yang tentu saja bisa berkurang sesuai kebijaksanaan hakim dalam melahirkan keputusan inkrah.
Disebut, seperti dalam banyak kasus kekerasan seksual yang melibatkan anak sebagai korban, tindak perkosaan kerap direduksi sekadar pencabulan dan/atau persetubuhan.
“Padahal ada dugaan penculikan, penyekapan, dan perkosaan yang dilakukan dengan menggunakan atribut institusi, mulai dari seragam hingga tempat kejadian demi melancarkan aksi bejat tersebut.”
Akademisi Hukum Universitas Khairun Astuti N. Kilwouw mengatakan penggunaan UU PPA dan KUHP pasal pencabulan bagi dia cukup ringan dibandingkan yang dialami korban.
“Saya merasa miris, hukuman 15 tahun penjara itu tidak cukup,” katanya “Itu sangat ringan dibanding dengan ketidakadilan yang dialami oleh korban.”
“Kalau perkosaan ya perkosaan, tidak perlu diperhalus menjadi pencabulan,” terang perempuan yang juga consern terhadap isu perempuan.
Dia berkata, terkait kasus kekerasan seksual mindset masyarakat harus diubah. Doktrin bahwa polisi adalah ‘pelindung, pengayom dan penjaga keamanan’ tidak selalu begitu. Faktanya “kemudian banyak juga anggota polisi yang terlibat (dan menjadi pelaku) kasus-kasus kekerasan seksual.”
Dia juga menegaskan bahwa kekerasan seksual itu bukan pidana umum seperti kasus pencurian tapi tindak pidana khusus atau special crime dan masuk pelanggaran HAM, maka harus jadi delik khusus (Lex specialis) dan harus punya UU khusus.
RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, kata dia jadi payung hukum (Lex specialis) yang merangkum tindak kekerasan seksual. Kekerasan seksual sudah cukup darurat. “Bukan lagi satu dua peristiwa tapi sudah masuk kategori fenomenal karena marak terjadi dan umumnya melibatkan korban (kebanyakan) perempuan.”
The Insitutute for Criminal Justice Reform (ICJR) dan Aliansi Penghapusan Kekerasan Terhadap Anak (PKTA) mendesak agar pelaku diusut secara komprehensif, baik tindakan di luar kewenangan yang dilakukan, terlebih tindakan pemerkosaan terhadap anak yang dilakukannya.
Dalam keterangan, mereka berkata bahwa pelaku harus pidana berat sesuai perundang-undangan karena sebagai aparatur Negara. “Mengingat peran sentral pelaku yang seharusnya member rasa aman kepada korban.”
Bagi mereka, tindakan anggota kepolisian itu keji. Apalagi yang melakukannya adalah aparat penegak hukum yang seharusnya melindungi anak.
Komisi Nasional Antik Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mendorong agar pihak kepolisian, jaksa dan hakim untuk mengusut secara tuntas, mengupayakan proses hukum yang memutus impunitas sekaligus mendukung upaya pemulihan korban, termasuk atas restitusi dan dukungan psikososial.
Dalam kasus di Jailolo, dikatakan selain perkosaan, juga ditemukan adanya tindak pelecehan seksual secara verbal saat introgasi awal terhadap korban dan teman korban yang ditahan bersama.
“Kasus penyiksaan seksual di Jailolo merupakan pengingat keras bahwa tindak penyiksaan (seksual) tidak dapat ditolelir dan karenanya tidak boleh berulang.”
Kekerasan Menghantui
Data dari Sistem Informasi Online (Simfoni) Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) menyebut selama 6 bulan saja pada tahun lalu, terdapat 69 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Provinsi Maluku Utara. Secara umum, di Indonesia sampai Agustus 2020 menanjak naik 4.833 kasus kekerasan pada anak.
Dua tahun sebelumnya, Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA) juga melakukan survey pada 2018 terkait pelecehan seksual di ruang publik. Terdapat 27.288 responden yang mengalami pelecehan seksual. 64% perempuan, 11% laki-laki dan 69% gender lain.
Ada lima penyebab pelecehan seksual terjadi, diantaranya; ketimpangan relasi kuasa (merasa berhak); kekerasan berdasar gender; minimnya peraturan dan penegakan hukum; perilaku seks menyimpang, dan; pengaruh lingkungan sosial.
Disisi lain, Catatan Tahunan Komnas Perempuan angka kekerasan seksual terus naik dari tahun ke tahun. Payung hukum yang benar-benar melindungi korban pun belum ada.
“Kasus ini menjadi pengingat pentingnya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual segera disahkan.”
Desakan
Sementara, Woman’s March Ternate menegaskan lima poin, yakni pertama, agar Nikmal Idwar, sebagai anggota Polsek Sidangoli, pelaku perkosaan harus diadili seberat-beratnya. Kedua, mereka juga meminta pelaku yang diduga terlibat dalam proses mengamankan korban ke Polsek dan anggota Provos Polsek Sidangoli yang mengarahkan penyintas untuk minta uang ‘tutup mulut’ diadili.
WM Ternate menegaskan agar praktik reviktimisasi (victim blaming) dan komentar melecehkan terhadap penyintas dalam proses penyelidikan dan penyidikan harus dihentikan, dan keempat meminta agar media lokal berhenti menggunakan inisial ‘Bunga’, ‘Mawar’, ‘Melati’ dan sesuatu yang pasif lainnya untuk mempersonifikasi korban kekerasan seksual.
Terakhir, segera sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
Bagaimana pemulihan terhadap korban ditengah mengalami traumatik? ICJR meminta agar Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) segera menjangkau korban. Mereka bilang, prioritas penanganan kasus harus segera diberikan.
"Pemulihan korban hal utama, hentikan glorifikasi tindakan sewenang-wenang aparat di media, dan harus ada audit kewenangan besar kepolisian."
Astuti N. Kilwouw mengatakan penyintas punya keberanian dan kemauan yang luar biasa untuk melawan ketidakadian yang dialaminya.
“Dia (korban) juga bilang ini bisa memotivasi korban-korban lain untuk bersuara ketika mengalami hal serupa.”
Saat ini korban sudah ditangani Unit Pelaksana Teknik Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak Provinsi Maluku Utara untuk penanganan pemulihan.
Reporter: Ajun dan Dafni