Ilustrasi |
LPM Aspirasi – Pelecehan dan kekerasan seksual dapat terjadi kepada siapa, kapan, dan di mana saja, tak terkecuali di kampus. Lingkungan akademik ini sering menjadi tempat tumbuhnya predator. Pelakunya mulai dari teman dekat, mahasiswa, dosen, petinggi birokrasi dan juga pegawai di lingkar universitas.
Institusi “pemegang moral” yang diharapkan menjadi salah satu tempat berlindung korban dan bebas dari kekerasan seksual justru juga menampung pelaku kekerasan seksual.
Dalam beberapa riset menyebutkan hingga saat ini, kasus kekerasan seksual selalu meningkat. Misalnya, baru-baru ini beredar sebuah pengakuan mahasiswa Universitas Riau (UNRI) yang mengalami tindakan pelecehan seksual. Pelakunya diduga merupakan seorang Dekan. Peristiwa ini terjadi ketika korban ingin melakukan bimbingan skripsi kepada pelaku.
Pada April 2021 lalu, Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jember (Unej) berinisial RH ditetapkan sebagai tersangka kasus pencabulan terhadap keponakannya sendiri yang merupakan mahasiswa kampus tersebut.
Di lingkungan pendidikan dengan latar belakang Agama juga tak luput, seperti yang terjadi di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kediri pada 24 Agustus 2021 lalu. Seorang dosen melakukan pelecehan kepada mahasiswanya dengan modus meminta korban melakukan bimbingan skripsi ke rumahnya.
Komnas Perempuan sendiri mencatat, sepanjang tahun 2015 - 2020, telah menerima 27% aduan kasus kekerasan seksual yang terjadi di perguruan tinggi. Temuan dari survei Mendikbud Ristek pada 2019 juga melaporkan bahwa kampus menempati urutan ketiga tempat terjadinya tindakan kekerasan seksual (15%), setelah transportasi umum (19%), dan jalanan (33%).
Sementara, survei Ditjen Diktiristek pada 2020 lalu mengungkap bahwa 77% dosen menyatakan kekerasan seksual pernah terjadi di kampus dan 66% tidak melaporkan kasus yang diketahuinya ke pihak kampus. Penelitian lain menyebut bahwa 40% dari 304 mahasiswi pernah mengalami kekerasan seksual, 92% dari 162 responden mengalami kekerasan di dunia siber.
Data-data ini mencerminkan kasus kekerasan seksual makin marak, tapi payung hukum untuk mencegah, menangani, dan melindungi korban tidak ada. Disisi lain, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) terus mandek di meja DPR. Entah sampai berapa lama lagi.
Syukur-syukur Mendikbud-Ristek, Nadiem Makarim menerbitkan Permendikbud-Ristek tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di lingkungan Perguruan Tinggi Negeri pada akhir Agustus lalu. Setidaknya untuk memberikan kepastian hukum di tingkat perguruan tinggi.
Tuai Kritik
Alih-alih didukung semua orang, paska ditandatangani Nadiem, peraturan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual menuai kritik sejumlah pihak, seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Majelis Ormas Islam (MOI), Muhammadiyah, dan Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid.
Ada berbagai alasan penolakan, misalnya, anggapan beleid ini tidak tercantum landasan hukum; tidak memasukkan unsur agama; hingga mengandung unsur liberalisme, sehingga dianggap bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila.
Materi yang melenceng jauh dari sila pertama Pancasila, misalnya, pasal 3 yang tidak mencantumkan norma agama, sekadar memuat prinsip; kepentingan terbaik bagi korban, keadilan dan kesetaraan gender, kesetaraan hak dan aksebilitas bagi penyandang disabilitas, akuntabilitas, indepeden, kehati-hatian, konsisten, dan jaminan tidak terjadi kasus yang berulang.
Penyampaian mendiskriminasi identitas gender dianggap liberal, serta materil lain terkait muatan consent dalam frasa “tanpa persetujuan korban” Sebagaimana dalam pasal 5, katanya berbahaya karena mengakomodasi perbuatan seks di luar nikah dan membenarkan LGBT, selama kedua belah pihak saling setuju. Untuk itu harus di cabut bahkan Nadiem didesak agar membatalkannya.
Muatan Penting
PPKS dibentuk atas dasar kewenangan di bidang urusan pemerintahan tertentu yang ada pada menteri, sebagaimana di atur dalam pasal 8 ayat (2) UU No. 12 tahun 2011. Sehingga berkualifikasi sebagai peraturan perundang-undangan.
Selain itu, mengisi kekosongan hukum perihal pencegahan, penanganan dan perlindungan korban kekerasan seksual yang memprioritaskan kebutuhan dan keadilan bagi korban, karena lahir dari pengalaman korban kekerasan seksual yang selama ini hilang karena diabaikan negara dan kampus. Perguruan tinggi pun diposisikan sebagai aktor kunci dalam upaya pencegahan dan penanganan.
kekerasan seksual juga dirumuskan secara akomodatif, serta mengatur bentuk-bentuk kekerasan seksual yang belum dimuat dalam peraturan perundang-undangan yang ada. Tidak mengatur perihal di luar kekerasan seksual. Bukan berarti tidak di atur kemudian menjadi boleh. Dari judulnya saja pencegahan dan penanganan kekerasan seksual, bukan mengatur tindakan kesusilaan.
Muatan Penting dan Yang Harus Dilakukan
Beleid PPKS mengatur upaya pencegahan kekerasan seksual dengan melibatkan sivitas akademika dalam peran pencegahan dan penanganan kekerasan seksual melalui berbagai kegiatan; seperti pembelajaran di kelas, perumusan materi atau modul ajar, membatasi pertemuan pendidik, dan tenaga pendidikan dengan mahasiswa di luar kampus dengan alasan selain proses pembelajaran.
Selain itu, penguatan tata kelola dilakukan dengan pelatihan dan sosialisasi bagi pendidik, tenaga kependidikan, dan mahasiswa.
Pelatihan dibutuhkan agar petugas satgas memahami cara penanganan melalui pendampingan dan perlindungan bagi korban dan saksi. Juga tepat dalam pemberian sanksi administratif bagi pelaku, serta langkah yang harus diambil dalam upaya pemulihan bagi korban.
Sosialisasi juga penting dilakukan oleh pemerintah, khususnya oleh Kemendikbudristek dan universitas guna memberikan penyadaran yang ekstensif di masyarakat. Tujuannya agar tidak terjadi disinformasi, apa lagi sampai dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok konservatif dengan narasi misleading bahwa PPKS adalah legalisasi zina.
Sebagai mahasiswa, kita memiliki hak atas ruang aman, nyaman dari kekerasan seksual, sehingga perlu berperan aktif mengawal penerapan aturan ini di tingkat perguruan tinggi.
Mahasiswa harus aktif berperan dalam perumusan, pengawalan dan masuk dalam satuan tugas yang akan dibentuk Kampus nantinya. Karena, dalam Permendikbud ristek diatur tentang pembentukan satuan tugas yang didasarkan pada merit, transparansi, dan partisipasi sivitas akademika untuk menindaklanjuti kasus yang dilaporkan, menyusun pedoman pencegahan dan penanganan kekerasan seksual.
Oleh: Darman Lasaidi*