Kelompok Tani Muda bersama Faisal Jailani, seorang petani di Kelurahan Rua, saat di lahan pertanian. Foto: Rabul Sawal/LPM Aspirasi |
LPM Aspirasi – Langkah kaki Fahdi Ar. Jusuf perlahan menyusuri tepi jalan di ribuan tanaman tomat yang terbentang di lahan seluas kurang dari 1 hektar di Kelurahan Rua, Kecamatan Ternate Pulau, Kota Ternate, Maluku Utara. Sesekali lelaki berusia 24 tahun ini merunduk mencabut gulma yang muncul di permukaan tanaman. Sore itu cuaca cukup cerah usai gerimis redah.
Fahdi menunjukan kepada saya setiap petakan bedengan tomat yang sudah setinggi dua jengkal itu. Tiang penyangganya dari bambu kering. Tiap bedengan ditanam sekitar 200 tanaman yang berjejer rapi. Ada 5 ribu tomat yang ditanam.
Tanaman hortikultura itu dikelola Kelompok Tani Muda. Fahdi jadi koordinator di perkumpulan segelintir anak muda ini. Kelompok ini diisi enam orang anak muda yang masih berstatus mahasiswa. Abdul Kader Rifai [22], Yudi Umar [22], Afyanto Abadan [21], Malikun Refideso [23], mahasiswa Ilmu Tanah di Fakultas Pertanian Universitas Khairun. Sementara Rusli Majid [23], mahasiswa Agribisnis di Universitas Muhammadiyah Maluku Utara.
Kelompok ini mendeklarasikan diri pada tanggal 5 Desember 2021 lalu, bertepatan dengan Hari Tanah Sedunia. Mereka resah melihat ketimpangan penguasan tanah di Maluku Utara. Alih fungsi hutan dan lahan perkebunan kepada korporasi berskala besar bikin petani makin terhimpit.
Kelompok Tani Muda saat deklarasi pada 5 Desember 2021 lalu di lahan pertanian mereka. Foto: Dokumentasi Tani Muda |
Padahal, kata Abdul Kadir Rifai, yang harus diperhatikan itu sektor pertanian untuk kelola produksi memenuhi kebutuhan pangan warga. Karena pertanian jadi sektor unggulan di kepulauan rempah-rempah ini.
“Ini yang harusnya di dorong pemerintah, bukan pertambangan,” tegas Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa [BEM] Fakultas Pertanian, Unversitas Khairun ini.
Anak muda di kelompok ini bisa saja setelah lulus kuliah jadi pegawai negeri, tapi bagi Rifai menjadi petani pekerjaan lebih mulia.
“Kami memilih belajar sejak dini menjadi seorang petani. Kenapa? karena dengan bertani kami juga belajar memperjuangkan tanah untuk generasi berikut,” terangnya.
Cita-cita mereka sederhana: menjadi bagian dari petani muda di Ternate yang mempertahankan kebutuhan pangan warga di tengah terpaan pandemi COVID19.
Fahdi dan kelima temannya menanam di atas lahan milik Faisal DJailani [41 tahun], seorang petani asal Kelurahan Rua yang mengelola Kelompok Tani Hortijaya. Faisal juga jadi bagian terpenting dalam kelompok itu. Mereka banyak belajar dari Faisal tentang cara menanam yang baik selain dapat ilmu pertanian dari perguruan tinggi.
“Setiap hari ‘kuliah’ 3 SKS deng Paitua,” kata Fahdi, setengah bercanda.
“Sekitar satu bulan lagi so panen,” jelas mahasiswa Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian Unkhair, ini kepada saya, pada 21 Desember lalu. “Ini akan jadi panen perdana kami.”
Aktifitas bertani ini, kata Fahdi, akan jadi rutinitas mereka untuk menopang biaya kuliah dan kebutuhan hidup. Apalagi di tengah pandemi, dimana orang tua mereka terhimpit pekerjaannya.
Selain itu, Fahdi bilang, kelompok ini lahir dari keprihatinan terhadap generasi muda yang lebih banyak memilih bekerja di sektor pertambangan ketimbang menjadi petani. Padahal sektor pertanian sangat penting untuk memenuhi kebutuhan pangan ancaman krisis global.
Generasi muda, lanjutnya, tidak boleh tergiur dengan pekerjaan tambang. Nikmatnya sesaat, mudaratnya lebih besar kedepan.
Mesti lebih banyak lagi anak muda seperti Fahdi dan teman-temannya. Sebab, persoalan petani tak sebatas ancaman sempitnya lahan bertani, tapi sebagian generasi muda tak lagi tertarik bertani.
Kelompok Tani Muda melihat peningkatan tanaman mereka di lahan pertanian. Foto: Rabul Sawal/LPM Aspirasi |
Selain kekurangan petani, masalah usia dan produktifitas petani. Petani cenderung sudah berusia lanjut, yang artinya tidak lama lagi mereka tidak bisa bekerja.
Dari data Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Pertanian menyebutkan jumlah petani di Indonesia saat ini sekitar 33,4 juta orang dan 25,4 juta diantaranya laki-laki serta 8 juta lainnya perempuan.
Sayangnya, sebagian besar petani tersebut masuk kategori sudah tua dan lebih dari 70 persen hanya lulusan tingkat sekolah dasar dan hanya 3 persen yang lulusan perguruan tinggi negeri. Sedangkan petani usia milenial kurang dari 30 persen dari jumlah total petani.
Abdul Kader Rifai mengatakan, data itu jelas kalau sekarang yang harus dipikirkan adalah regenerasi petani untuk masa depan pertanian. “Anak-anak muda generasi torang harusnya mengisi kekosongan itu.”
“Dengan menanam, kami mau sampaikan dan yakinkan lagi anak-anak muda, terlebihnya di pendidikan tinggi pertanian, bahwa sektor pertanian itu sangat menjamin masa depan,” terangnya.
Soal ini dibahas khusus dalam riset Irin Oktafiani, Marya Yenita Sitohang dan Rahmat Saleh berjudul Sulitnya Regenerasi Petani pada Kelompok Generasi Muda [2021]. Penelitian ini menunjukan bahwa dalam dua dekade terakhir isu yang terkait regenerasi petani muda antara lain akses [termasuk keterbatasan lahan], kemiskinan, keluarga, dan pendidikan.
Fenomena sulitnya regenerasi petani, sebut riset, bukan sekadar keengganan anak-anak petani, melaikan juga dibentuk oleh nilai-nilai yang berlaku pada keluarga dan masyarakat pertanian.
“Beberapa nilai tersebut diantaranya stereotip bahwa dunia pertanian dekat dengan dunia laki-laki, kemiskinan, rendahnya tingkat pendidikan, dan tingginya tingkat putus sekolah dalam keluarga petani,” sebut dalam riset.
Masih dalam riset yang sama, keberhasilan regenerasi petani muda bisa saja terjadi apabila adanya dukungan keuangan serta pendidikan tinggi sehingga anak keluarga petani mau melanjutkan profesi ini dan mampu melakukan inovasi-inovasi di dunia pertanian.
Sementara, Thamrin Marsaoly, Kepala Dinas Pertanian (Distan) Kota Ternate menyambut baik kehadiran kelompok petani dari anak-anak muda ini. Distan Kota Ternate sendiri telah bekerja sama dengan Fakultas Pertanian Unkhair dan Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah dalam kerja magang mahasiswa.
Kerja sama ini untuk menggaet mahasiswa melakukan magang dan diikutkan mendampingi kelompok tani. Ini diharapkan agar anak muda bisa menjadi petani, karena, Thamrin bilang, menjadi petani berarti bisa sejahtera.
“Konsepnya sederhana saja kira-kira, kalau tidak menanam tidak dapat duit. Tidak ada visi lain, pokoknya tidak menanam tidak dapat duit.”
***
Sore itu, saya mendengar Faisal Djailani bercerita pengalamannya selama puluhan tahun bertani. Lelaki berusia 41 tahun itu tampaknya sudah asam garam hadapi pasang surut produktifitas hasil pertanian dan tingkah para tengkulak bermain harga pasar.
“Berkebun itu asik karena tidak pakai upacara. Pagi langsung kerja. Kalau kerja di perusahaan, harus upacara dulu pagi-pagi. Kalau saya [petani] tidak, baru bangun masih pakai kain [selimut] tapi bisa langsung kerja,” kata Faisal sembari tertawa.
Faisal merupakan salah satu petani budidaya tanaman hortikultura di Kecamatan Ternate Pulau. Bersama kelompok yang lain, dia mengaku, sudah banyak menanam cabai, kacang panjang, bawang merah, dan jenis tanaman lainnya.
“Menaman artinya bukan hanya rawat dengan pupuk, tapi rawat dengan hati. Tanaman tidak pakai pupuk pun bisa berbuah. Tapi kalau tidak pakai hati, biar pupuk satu toko habis, tanaman rusak semua,” kata Faisal.
Faisal punya cara sendiri kala akan menanam. Dia menganalisa berdasarkan kebutuhan pasar di bulan dan hari tertentu. Misalnya saat jelang bulan puasa kebutuhan tomat, cabai, bawang, dan sayuran lain meningkat.
Informasi-informasi terkait juga di search di google sekadar cari tahu tanaman apa saja yang harganya melonjak naik. Selain itu, cuaca juga penting untuk memastikan tanaman tumbuh subur.
Hal-hal ini juga dia sampaikan kepada Fahdi dan Kelompok Tani Muda. Mereka merumuskan taktik, menganalisasi situasi, dan memutuskan menanam tomat di awal Desember ini.
“Jadi malam itu berembuk, sepakat tanam tomat, besoknya langsung kerja bersihkan lahan, dan pembibitan” kata Fahdi, “Paitua [Faisal] liat torang semangat, dia langsung tawaran torang tanam tomat.”
Walau menaman ribuan tomat, Fahdi dan kelompoknya akui masih belum bisa bersaing memenuhi kebutuhan pasar. Permintaan pasar untuk komoditi hortikultura sangat besar.
Komoditi pertanian Kota Ternate memang masih bergantung pada produksi daerah-daerah lain. Misalnya, kebutuhan tomat, cabai, bawang dan sayur mayur dapat pasokan dari Sulawesi, termasuk Pulau Jawa.
Thamrin Marsaoly, Kepala Dinas Pertanian [Distan] Kota Ternate berkata, konsep pengembangan pertanian di Kota Ternate berbasis hortikultura karena ketersediaan lahan kecil. Sehingga, pengembangan hortikultura difokuskan pada empat komunitas: tomat, cabai, bawang, dan sayur-mayur [termasuk sayur campuran].
Empat jenis tanaman itu dibudidaya dari Kelompok Tani [Poktan] Binaan Distan Kota Ternate. Thamrin bilang, ada kurang lebih 150 Poktan yang eksis dengan lahan garapan seadanya, baik itu pemanfaatan pekarangan maupun lahan-lahan tidur.
“Karena kita tidak punya ketersediaan lahan yang cukup, sehingga ketersediaan air petani masih mengandalkan air tanah,” ujar Thamrin.
Kota Ternate bukan daerah produksi komoditi tanaman. Sebab itu, tidak akan cukup kalau tidak ada impor dari luar daerah. “Tapi paling tidak dalam sebulan bisa penuhi pasar antara 13-20 ton.”
Thamrin menjelaskan, komoditas tanaman yang unggul itu salah satunya tomat. Sudah ada pengwilayaan komoditas untuk jenis tanaman tertentu. Tomat misalnya, ada di Kelurahan Loto dan Rua, Kecamatan Ternate Pulau, dan Kelurahan Tubo di Ternate Utara.
Selama empat tahun terakhir, terjadi tren peningkatan hasil panen cabai, tomat, dan terong. Hasil panen terendah tiga komoditas ini 19.9 ton, 23.9 ton dan 35.9 ton pada 2017, tapi jumlahnya terus menanjak dari tahun ke tahun hingga menjadi 303 ton, 743 ton dan 588 ton pada 2020.
Hasil panen agak berbeda dengan bawang merah yang fluktuatif lalu merosot di 2020 hanya 21 ton berbeda pada 2019 sebanyak 61 ton. Sementara, kangkung naik drastis 651 ton pada 2020 dari tahun ke tahun sebelumnya sedikit sekali.
Peningkatan sebagian produktifitas tanaman hortikultura ini tentu saja diikuti dengan jumlah kelompok tani yang semakin meningkat tiap tahun. Thamrin mencatat, kurang lebih 1500 sampai 2000 orang yang tergabung dalam kelompok tani di Kota Ternate.
Sebagai perbandingan, Kota Ternate yang paling sedikit memproduksi tanaman tomat pada lima tahun terakhir. Pada 2019 lalu, Kabupaten Halmahera Barat menyumbang panen tomat sebanyak 4202 ton. Diikuti Pulau Morotai sebanyak 765 ton, Halmahera Utara sebesar 623 ton, Halmahera Timur sebesar 559 ton, Tidore Kepulauan sebesar 494 ton.
Sementara Halmahera Selatan, Kupulauan Sula, dan Halmahera Tengah, hanya memanen masing-masing 85 ton, 71 ton, dan 58 ton. Ternate paling sedikit, 28 ton.
“Kedepan kami berencana untuk mengintegrasikan pertanian berbasis perkotaan yang disanding dengan agrowisata. Itu penting karena pengembagan agrowisata itu selain masyarakat bisa dapat hasil pertaniannya juga jadi tempat untuk bersantai [misalnya minum kopi],” jelas Thamrin.
Soal keterlibatan anak muda menjadi petani, Thamrin tidak menyebutkan secara spesifik persis jumlahnya. Dia hanya mengatakan sudah “cukup banyak di Kota Ternate”. Bila anak-anak muda ini punya keinginan menjadi petani, pihaknya akan bantu berdasarkan apa yang dibutuhkan.
“Setidaknya menanam dulu, kami hadir untuk membantu apa saja yang kurang.”
Bagi Rifai, petani harus dibekali dengan teknologi untuk mendorong peningkatan produktifitas pertanian. Penerapan teknologi juga dapat mendorong regenerasi petani.
“Karena anak muda kebanyakan tidak mau bekerja lelah. Apalagi kotor-kotor. Harus dibekengi dengan teknologi,” katanya.
Reporter: Rabul Sawal
*Reportase ini merupakan Fellowship Jurnalisme Data dari Data and Computational Jurnalism 2021