Oleh: Darman Lasaidi*
Kita berulang kali disajikan dengan berita represif, penangkapan, pemenjaraan terhadap warga yang menyampaikan pendapat. Baik di depan umum, surat kabar, maupun cuitan kritis di media sosial. Pertanyaan kemudian, apakah menyampaikan pendapat adalah suatu kejahatan?
Di Indonesia, kekerasan selalu terkait dengan kebebasan menyampaikan pendapat. Sejak kolonialisme Belanda, hak veto ini selalu dibungkam. Tak jarang tokoh politik Indonesia diasingkan dan dipenjarakan gegara kritik melalui tulisan, maupun rapat akbar [Vergadering] untuk mogok menentang kolonialisme.
Dalam buku Di Bawah Lentera Merah: Riwayat Sarekat Islam Semarang 1917-1920, Soe Hok Gie, mengambarkan dengan jelas bagaimana kritik terhadap penjajahan dan kerakusan kolonial meraup kekayaan berujung penangkapan dan pengasingan. Soekarno dan Mohamad Hatta dibuang ke berbagai daerah, termasuk Tan Malaka dan tokoh pergerakan lainnya.
Masalahnya, pola kekerasan jaman kolonialisme ini masih dapat tempat setelah puluhan tahun Indonesia merdeka. Bukannya dapat rahmat, tapi mewarisi praktik tidak manusia itu. Yang masih membekas dan tidak pernah hilang dan tentu saja belum tuntas hingga saat ini adalah pembantaian massal 1965-1966.
Ini adalah warisan rezim Orde Baru Soeharto paling brutal dalam sejarah abad ke 21. Kekerasan sepertinya dapat tempat dari rezim berganti rezim Indonesia merdeka. Sehingga, legitimasi terhadap kekerasan dapat dilihat, kata Wijaya Herlambang dalam buku Kekerasan Budaya Pasca 1965: Bagaimana Orde Baru Melegitimasi Anti-Komunisme Melalui Sastra dan Film [2013], sebagai bagian dari praktik kekerasan itu sendiri.
Bila ditelisik, pola kekerasan sejak reformasi bergulir memang tidak terlepas dari pusaran rezim pemerintahan Orde Baru Soeharto. Rezim yang berkuasa selama 32 tahun ini memegang kendali terhadap struktur sosial, ekonomi dan politik dengan praktik militeristik dan sentralistik. Sehingga, bangunan kebudayaannya masih tetap sama setelah sang jendral tumbang.
Usai reformasi hampir sudah sama dengan usia saya, 23 tahun. Namun, sejauh itu pula, kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat masih barang langkah. Sepanjang tahun 2020 misalnya, Amnesty Internasional mencatat, banyak aktivis, jurnalis, akademisi, mahasiswa dan masyarakat yang dibungkam, diintimidasi, dan dikriminalisasi saat menyampaikan pendapat secara damai.
Selain itu ada 119 kasus hak kebebasan berekspresi terkena pasal karet Undang-Undang ITE. Ini jumlah paling banyak dalam enam tahun terakhir.
Setara Insitut dalam pemberian skor Indeks Kinerja HAM 2021, menempatkan kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat pada posisi paling buncit, yakni 1,6, jauh dibawah hak hidup dengan skor 2,5. Sementara, kebebasan beragama dan berkeyakinan 2,6, hak memperoleh keadilan 3,1, hak atas rasa aman 3, dan hak turut serta dalam pemerintah 4.
Dari data itu, bisa disebut, hak kebebasan berpendapat benar-benar tidak dapat porsi yang cukup. Pemerintah masih anti kritik dan baperan. Sedikit-sedikit, kriminalisasi. Sedikit-sedikit, tangkap.
Indonesia dibawah kepemimpinan rezim Jokowi-Amin, tidak menolelir pendapat kritis masyarakat. Berbagai kasus pelanggaran atas hak berekspresi terjadi sepanjang 2020-2021.
Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid dalam laporan AII: Hak Berekspresi dan berpendapat di Era Jokowi Semakin Terancam, mengatakan ada masyarakat yang dipenjarakan oleh aparat hanya karena perbedaan politik dengan pemerintah.
"Ancaman terhadap kebebasan berkumpul serta berserikat juga banyak dialami masyarakat di Indonesia timur, semisal Maluku maupun Papua. Ada pemenjaraan akibat ekspresi-ekspresi politik yang dianggap berbeda dari apa yang diinginkan pemerintah."
Banyak hal sering jadi alibi untuk mengkriminalisasi penyampaian pendapat secara damai. Kritik sering dibilang pencemaran nama baik, ujaran kebencian, dan penyebaran informasi yang melanggar kesusilaan. Sehingga menjadi multi tafsir, rentan disalahgunakan dan sering menjadi delik yang sudah memakan ratusan korban kriminalisasi.
Persoalan makar juga terkadang salah di terjemahkan. padahal kata ‘makar’ digunakan akademisi hukum untuk menterjemahkan kata aanslag (Bahasa Belanda) yang diartikan sebagai serangan yang bersifat kuat atau dalam bahasa Inggris diterjemahkan sebagai violent attack, fierce attack. Menyampaikan pendapat secara damai bukan tindakan kriminal, karenanya tidak mengandung kekerasan.
Contohnya, peristiwa dua tahun silam, empat mahasiswa Universitas Khairun Ternate dikeluarkan dari kampus karena dituntut makar. Padahal mereka melakukan aksi damai untuk memprotes rasisme terhadap orang Papua dan menuntut pembebasan tahanan politik Papua. Ini seharusnya tidak bisa masuk ke definisi makar.
Sayangnya, situasi pelik ini hingga sekarang masih kita rasakan. Kekerasan masih jadi banyang-bayang setiap orang yang mau menyampaikan pendapat. Padahal, kebebasan berpendapat bukanlah suatu kejahatan, melainkan sebagai upaya menegakan hak asasi manusia, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta memberi ruang pastisipasi rakyat dalam mengawal dan mengontrol kebijakan pemerintah, serta mewujudkan ruang demokrasi.
Selain itu, ini merupakan jalan rakyat menyuarakan situasi yang sedang mereka hadapi, baik persoalan ekonomi, politik dan sosial mereka. Terkadang perwakilan mereka tak pernah benar-benar mewakili mereka, melainkan mewakili kepentingan segelintir orang elit partai atau sekadar kaki tangan oligarki.
Rakyat sudah harus belajar dari pengalaman dan situasi saat ini. Kehendak mayoritas rakyat harus menjadi prioritas. Kebebasan menyampaikan pendapat sebagai corong menegakan demokrasi demi kesetaraan, keadilan dan kemakmuran.
Jika penyampaian pendapat terus dikekang, direpresif maka amarah rakyat akan dimanifestasikan dalam aksi-aksi jalanan, dan cuitan-cuitan di media sosial. Tiap saat akan membesar dan jadi bumerang untuk kekuasaan. Kita punya sejarah itu, saat menumbangkan rezim orde baru. Situasi heroik 1998 bisa saja terulang.
Mengakhiri tulisan ini, saya kutip sepenggal bara dari kalimat Wiji Thukul: "Suara-suara itu tak bisa dipenjarakan, di sana bersemayam kemerdekaan, apabila engkau memaksa diamaku, siapkan untukmu: pemberontakan!"
*Penulis Merupakan Mahasiswa Jurusan Sastra Inggris Fakultas Ilmu Budaya Unkhair dan Pengurus Lembaga Pers Mahasiswa [LPM] Aspirasi