Nonton Bareng dan Diskusi di Benteng Oranje pada Jumat kemarin. Foto: Darman Lasaidi/LPM Aspirasi |
LPM Aspirasi -- Air laut di perairan Pulau Obi, Kabupaten Halmahera Selatan, Maluku Utara, berkualitas buruk dan terdekteksi tercemar limbah beracun. Pencemaran ini diduga dampak pengolahan dan aktivitas operasi produksi perusahaan tambang nikel Harita Group.
Demikian diungkapkan Muhammad Aris, Ketua Peneliti Aquakultur Universitas Khairun pada Jumat [14/1/2022] kemarin, di Benteng Oranje, Kelurahan Gamalama, Ternate Tengah, Kota Ternate dalam acara nonton bareng dan diskusi publik bertajuk "Daya Rusak Industri Nikel dan Penghancuran Ruang Hidup Masyarakat Obi" yang diinisiasi Front Perjuangan Rakyat Obi (FPRO).
Penelitan itu dia bersama tim riset lakukan pada 2019 lalu. Mulai dari Perairan Desa Akegula sampai Desa Soligi bagian selatan. Hasilnya memperlihatkan perairan laut Pulau Obi terutama di Desa Kawasi, Kecamatan Obi dan arah menuju Desa Soligi, Kecamatan Obi Selatan telah terdampak limbah nikel perusahaan.
Daerah ini dipilih berdasarkan pergerakan atau pola arus yang sering terjadi apabila limbah terbuang dari Desa Kawasi, dimana terdapat kawasan industri Harita.
"Kami meng-cover wilayah ini sebagai indikator kesehatan laut yang ada di perairan Obi, khususnya yang terdampak aktifitas ekstraaktif sumberdaya mineral yang ada di desa Kawasi," kata Dosen Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan [FPIK] Unkhair ini.
Dari riset berjudul “Status Kualitas Air dan Kesehatan Biota Laut di Perairan Pulau Obi, Kabupaten Halmahera Selatan, Maluku Utara” (2019), terdapat 12 jenis biota laut yang dijadikan sampel dan semuanya terindikasi tercemar limbah beracun.
Dari suhu, kecerahan, salinitas, hingga oksigen terlarut di dalam air sudah di atas ambang batas normal. Di laut Kawasi, terdapat banyak sekali partikel lumpur dan di dalam lumpur terdapat mineral logam.
Penelitian ini menemukan, setidaknya ada 12 jenis biota laut yang diduga tercemar logam berat akibat penambangan nikel. Ada kima (Tridacna), kerapu sunu (Plectropomus leopardus), kakap batu (Lutjanus griseus), kakap kalur (Lutjanus sp.), dan kakap merah (Lutjanus campechanus). Juga Lencam (Lethrinidae), kerapu macan (Epinephelus fuscoguttasus), mata bulan (Megalops cyprinoides), tongkol (Euthynnus affinis), selar atau tude (Selaroides leptolepis), bai, dan kuwe (C. Ignobilis).
"Saya membuat pengklasifikasian 12 jenis ikan yang terkontaminasi [partikel logam]. Hal ini karena di perairan itu ada ikan yang di permukaan, ada ikan dasar, dan ada ikan yang migrasinya jauh. Semuanya kita coba deteksi, hasilnya hampir semua terindikasi [kena racun]," ujar Aris.
"Makanya sampai hari ini saya tidak makan ikan dari Obi."
"Jadi miris, ketika saya naik kapal dari Obi ke Ternate, dan turun ke dek bawah kapal, terdapat kulboks yang berderet memuat ikan dari Obi."
Aris berkata yang dia khawatirkan jangan sampai, adanya pendistribusian ikan yang tercemar limbah, karena ikan-ikan yang tercemar dalam hasil penelitiannya adalah ikan-ikan primadona dengan harga tinggi yang biasa ada di pasar.
Namun Aris baru berani mengatakan itu terindikasi. Hal itu karen penelitian yang dia lakukan masi ada satu tahapan metode [untuk menguji sampel] lagi yang belum mereka lakukan.
"Akan tetapi hasil riset tersebut, ketika di deteksi hampir semua, mulai dari baku mutu kualitas air laut nyaris di ambang batas semua. Itu dikatakan tercemar, jadi perairan kawasi itu sudah mati, karena hampir semua baku mutu kualitas air, parameter air itu sudah di ambang batas."
Kata Aris, Ketika mereka mengambil sempel ikan di daerah Soligi sampai daerah Akegula, hampir semua sampel ikan sudah terjadi kerusakan sel yang luar biasa, begitu juga dengan Kima.
"Kemarin saya mendapatkan kima, waktu kita periksa selnya itu tidak ada satupun yang utuh didalamnya, dan ini kami presentasikan dan kami sampaikan ke pihak perusahaan, langsung risetnya di hentikan."
Aris meminta agar masyarakat berhati-hati karena terindikasi kuat sudah terjadi pemaparan tingkat tinggi akumulasi logam berat terhadap ikan-ikan yang ada di Obi.
Dia mengatakan dengan adanya fenomena ini, bisa dilihat, apabila ada yang melakukan penelitian tingkat kematian masyarakat Obi sebelum ada perusahaan dan setelah ada perusahaan. Kalau hasilnya ada peningkatan patut di duga salah satu faktor penyebabnya adalah dipengaruhi oleh pola konsumsi.
"Kalau dia konsumsi ikan, ada yang namanya baktifikasi dari akumulasi logam berat yang masuk kedalam tubuh manusia melalui pola konsumsi ikan." terang akademisi itu.
"Saya bukan orang kedokteran, tapi secara fisiologi semua mahluk hidup hampir sama, bahwa laju akumulasi, laju penimbunan nikel itu terjadi di dalam sel, dan itu saya buktikan di ikan karena hampir 12 ikan yang menjadi sampel kami ini semua mengalami kerusakan sel yang sangat luar biasa."
Hal itu Aris buktikan dengan metode Histologi untuk memeriksa jaringan. Penggunaan metode ini efektif karena langsung buktikan di OPDA (Oxo Phytodienoic acid), langsung buktikan di jaringan, karena kalau sel-selnya mati maka jaringannya tidak berfungsi.
Awalnya ia menduga kawasan perairan Soligi yang agak jauh ke selatan masih lebih baik, namun justru menjadi yang paling parah, setelah Kawasi.
Saat data ini di sampaikan ke pihak perusahaan, mereka mengklaim itu disebabkan oleh penambangan rakyat yang selama ini ada di Obi. "Saya sampaikan wilayah yang kami riset bukan daerah tambang rakyat. Kami ambil wilayah ini karena dari segi pola arus ketika terbuang dari Kawasi itu akan tersebar ke desa-desa ini [Soligi sampai Waibulan]."
Penelitian ini dua tahun lalu, sehingga dia tidak bisa bayangkan yang terjadi sekarang. Aris berkata laut memiliki kemampuan asimilasi secara alamiah tapi hanya pada situasi tertentu.
"Kalau sudah terjadi besar-besaran kaya kompilasi laporan Mongabay, saya bisa mengatakan bahwa laut Obi sudah mati, tidak ada yang bisa di lakukan di wilayah-wilayah yang sudah mati. Apalagi tidak ada tanggung jawab pihak perusahaan."
Menurut peneliti itu, yang bisa dilakukan sekarang dari kondisi ril bukan Tanggungjawab Sosial atau Corporate Social Responsibility (CSR), akan tetapi Corporate Resources Responsibility (CRR) atau tanggung jawab perusahaan atas alam, Hal itu yang harus di bayar. Berapa yang harus di bayar dari kematian satu ekor ikan, berapa yang harus di bayar dari kawasan laut yang tercemar.
CSR, bagi dia seharusnya menjaga kehidupan masyarakat tetap stabil. Maksudnya kalau masyarakat mengkonsumsi ikan sehat dua kilo per hari sebelum ada perusahaan, harusnya saat perusahaan hadir masyarakat setidaknya masih tetap mampu mengkonsumsi ikan sehat dua kilo perhari.
Aris juga bilang orang-orang perusahaan sering memberikan alibi "Kita tidak bisa buat telur dadar tanpa memecah telur". Artinya untuk mengekstrak nikel maka harus memecah tanah. Namun hal itu perlu di perjelas, setelah di kelolah, limbah ini mau dikemanakan? "Ini yang kurang mendapat perhatian dari pihak perusahaan."
"Kenapa? karena memerlukan biaya yang cukup tinggi. yang ada di benak mereka hanyalah profit oriented, keuntungan saja, kalau harus di kelola akan menambah biaya sehingga mengurangi keuntungan mereka. Ini yang harus di tuntut ke mereka."
Di Kawasi, kini telah terjadi krisis sosial ekologi yang cukup parah. Sumber-sumber air rusak total. Dahulu dipakai warga minum dan kebutuhan lain, kini sedimentasi limbah perusahaan telah terakumulasi dan merusak kehidupan itu.
"Aliran sungai yang dulunya sumber air minum yang diakses gratis, kini justru memberikan dampak yang buruk untuk masyarakat desa Kawasi, apalagi setelah aliran sungai tercemar masyarakat harus mengkonsumsi air gelon," kata Upiawan Umar, Anggota FPRO Malut.
Upiawan juga warga Pulau Obi. Dia bilang, kalau pola penggunaan air yang ada dalam keluarga sembilan gelon dalam tiga hari, sementara harga pergelon sepuluh ribu, maka masyarakat harus mengeluarkan uang sembilan puluh ribu rupiah selama tiga hari.
"Kalau situasi terdesak, misalnya warga tidak punya uang, mau tidak mau, air yang telah tercemar itu harus di konsumsi," begitu yang dilihat dan dengar dari penuturan warga.
Upi, sapaannya, menyebutkan ada beberapa aliran sungai buatan di Desa Kawasi. Aliran sungai ini dibuat karena pernah terjadi banjir akibat penyempitan muara sungai, sehingga debit air yang besar yang membut hulu sungai tidak bisa menampung maka meluap ke perkampungan warga.
Salah satu aliran sungai buatan berada tepat di tengah perkampungan warga. Selain sebagai aliran sungai, juga digunakan sebagai tempat pembuangan limbah ore nikel.
"Ketika limbah di buang ke sungai secara otomatis mengalir kelaut. hal ini justru merusak wilayah pesisir yang ada di Desa Kawasi, bahkan meluas hingga ke desa Soligi." unkgkap Upi, sapaan akrabnya.
Berdasarkan keterangan nelayan-nelayan yang ada di Desa Kawasi dan Desa Soligi, Upi bilang ketika mereka memancing di daerah pesisir sekitar 100 atau 200 meter dari bibir pantai, saat membuang jangkar bukan nyangkut di karang, atau batu-batu, melainkan jangkar melekat di limbah ore nikel. "Jadi sedimentasinya sudah separah itu."
Jadi, menurut Upi, pencemaran di wilayah pesisir ini sangat berdampak bagi kehidupan nelayan Kawasi dan Soligi. Padahal menurut nelayan dulu daerah tangkap mereka tidak sampai bermil-mil, bahkan mancing dari pantai langsung juga bisa.
"Saya juga mendapat cerita, saat ini nelayan harus bermil-mil untuk memancing. bahkan ada yang sampai ke Sanana, dan Taliabu. jadi wilayah tangkapnya semakin jauh dan resiko kecelakaannya semakin besar, serta biaya atau pengeluaran untuk memancing juga semakin besar." tegasnya.
Sementara, Aris memprediksi dengan adanya penambahan perusahaan saat ini di Obi, sepuluh tahun kedepan tidak akan lagi ada ikan di perairan Obi.
"Kalau ada ikan, itu ikan-ikan monster karena dalam tubuhnya pasti penuh nikel. Ini fakta dan ilmiah, saya bisa pertanggung jawabkan karena saya lakukan penelitian ini, saya mengambil sampel dan saya menelitinya."
Reporter: Darman Lasaidi
Editor: Susi H. Bangsa