Majalah LPM Lintas Edisi II. Foto: LPM Lintas |
LPM Aspirasi -- Kasus pembredelan terhadap Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) kembali terjadi. Kali ini LPM Lintas Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ambon, jadi sasaran kuasa Rektor. Kepengurusan lembaga pers mahasiswa itu resmi dibekukan Zainal Raharawin, Rektor IAIN Ambon melalui Surat Keputusan nomor 92 tahun 2022 pada Kamis (17/3/2022) kemarin.
Menurut pihak kampus, pembekuan itu didasari pada upaya menertibkan peran dan fungsi kepengurusan LPM Lintas IAIN Ambon yang telah berakhir masa kepengurusan periode 2021-2022. Disisi lain, dianggap tidak lagi sesuai dengan visi dan misi kampus.
Namun sebenarnya, keputusan rektor itu buntut dari terbitnya "laporan khusus kekerasan seksual" Majalah LPM Lintas bertajuk IAIN Ambon Rawan Pelecehan. Laporan yang terbit pada 14 Maret 2022 itu menemukan 32 kasus kekerasan seksual di IAIN Ambon sejak 2015-2021. Korban 32 orang itu terdiri dari 25 perempuan dan 7 laki-laki. Terduka pelaku 14 orang berasal dari 8 dosen, 3 pegawai, 2 mahasiswa dan 1 alumnus dari kampus itu.
M. Faqih Seknun, Wakil Rektor III IAIN Ambon berkata, LPM Lintas, dan beberapa unit kegiatan mahasiswa (UKM) lain yang berada di lingkungan kampus, harusnya mendukung kampusnya sendiri, bukan mencari kesalahan kampus. Kampus hijau ini mengganggap namanya dicemari atas terbitnya laporan tersebut.
“UKM itu harusnya bersatu dengan kampus, untuk meningkatkan kualitas dan memajukan kampus. Bukan sebaliknya. Kalau cari-cari kesalahan kampus, memangnya kamu siapa, sudah diberikan anggaran tapi kamu gunakan anggaran itu untuk apa,” terangnya.
Dari sikap Warek III, banyak kalangan menduga kalau pembekuan lembaga jurnalistik kalangan mahasiswa itu, karena liputan khusus kekerasan seksual. Ini karena dua hari sebelum pembredelan LPM Lintas menerbitkan majalah dengan liputan khusus kekerasan seksual.
Memang karya jurnalistik persma IAIN Ambon ini, mendapat berbagai respon. Salah satunya pemukulan terhadap dua wartawannya di dalam sekeretariat, Muh Pebrianto (layout) dan M. Nurdin Kaisupy (wartawan yang meliput) oleh dua orang yang tak dikenal.
Berbanding terbalik dari sikap wakil Rektor III dan dua orang yang tidak dikenal, alumnus kampus Lintas, Nurdin Abdullah yang berprofesi sebagai jurnalis sangat menyayangkan pembekuan ini. Bagi dia, sikap alergi dan arogan terhadap kritik tidak seharusnya ada.
“Mestinya lembaga membentuk tim investigasi untuk mencari tahu berbagai persoalan yang disampaikan oleh teman-teman di Lintas, melainkan memberikan apresiasi karena telah membuka tabir dugaan adanya praktik amoral yang terjadi di kampus," katannya.
Kampus pada dasarnya dituntut untuk membuat keputusan sesuai Surat Edaran Direktur JendralPendidikan Islam (Dirjen Pendis) Kementerian Agama (Kemenag) Nomor 5494 Tahun2019 tentang Pedoman Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Seksual pada Perguruan Tinggi Keagamaan Islam. Ada juga di Perguruan Tinggi Negeri dari PeraturanMenteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbud Ristek)Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual diLingkungan Perguruan Tinggi. Berbagai kebijakan ini merupakan upaya menciptakan ruang aman untuk terbebas dari kekerasan seksual di kampus.
Begitu juga dengan Surat Nomor. B.506/MA/HK.00/11/2021 dari Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas pada (9/11/2021) yang mendorong implementasi Permendikbudristek 30/2021 pada seluruh Perguruan Tinggi Keagamaan di lingkungan Kementerian Agama.
“Bukan malah membekukan Lintas,” ujar Yolanda Agne, Pimpinan Redaksi LPM Lintas.
"Lagian seharusnya rektor berterima kasih karena kasus kekerasan seksual di IAIN Ambon berhasil diungkap.Apalagi Lintas mencatat 32 orang mengaku menjadi korban pelecehan seksual di Kampus Hijau, sebutan IAIN Ambon. Korban terdiri dari 25 perempuan dan 7 laki-laki," tandas Yolanda.
Kritik juga datang dari Jaringan Muda Setara, sebuah jaringan perempuan di 15 kampus Indonesia. Melalui akun instagram @jaringanmuda menyatakan Pencemaran #NamaBaikKampus yang dijadikan dalih oleh birokrat kampus justru membuktikan bahwa kampus tidak berpihak kepada korban.
"Kampus yang baik seharusnya memiliki keberpihakan kepada korban dengan menerima laporan mengenai kasus kekerasan seksual tersebut, kemudian membuat tim investigasi dan memberikan pendampingan yang terpercaya serta pemulihan kepada korban," tulis dalam flayernya.
Andreas Harsono, penulis buku Agama Saya Adalah Jurnalisme juga turut bersolidaritas dan mengkritik kebijakan kampus.
Pegiat jurnalisme sastrawi itu berpendapat "Rektor seharusnya membuat tim untuk menyelidiki isi laporan, bukan sewenang-wenang bungkam kebebasan pers," katanya dalam unggahan di akun @andreasharsono, Kamis (17/3/2022).
Reporter: Darman Lasaidi
Editor: Rabul Sawal