LPM Aspirasi -- Belasan aktivis Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Maluku Utara (Malut) menggelar aksi diam memperingati Hari Bumi atau Earth Day di Landmark, Kota Ternate, Maluku Utara, pada Jumat (22/4/2022). Mereka mengusung tajuk “Oligarki Merusak Bumi”.
Dalam aksi yang di mulai sekira pukul 14.00 WIT itu, peserta aksi menggunakan kostum pemadam kebakaran, tim satuan tugas (Satgas) dan petani. Selain itu, mereka juga membawa poster berisi isu lingkungan, serta miniatur bumi yang nampak belang sebagai penggambaran kondisi bumi yang rusak,diekstraktif.
Wahida A. Abd Rahim, Manager Kampanye Walhi Malut mengatakan konsep besar aksi kali ini ialah krisis iklim dan perampasan ruang hidup atau wilayah kelola rakyat (WKR). Karena berangkat dari situasi di Indonesia, maupun di Maluku Utara.
“Beberapa tuntutan penting soal keberlanjutan hidup segala sub sistem salah satunya adalah selamatkan pesisir dan pulau-Ppulau Kecil yang ada di wilayah Moloku Kie Raha,” terang Wahida.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) Malut, Provinsi Maluku Utara merupakan wilayah kepulauan. Ada 805 pulau-pulau berukuran kecil dan besar. 716 diantaranya belum ada penghuni, serta sisanya sudah ada penduduk.
Sehingga Malut rentan terhadap dampak krisis iklim, seperti hilangnya pulau-pulau kecil. Contohnya pulau Pagama di Mangoli Kabupaten Sula, atau Pulau Tulang di Kabupaten Halmahera Utara yang mulai terkisis. Selain itu, perubahan pola cuaca, suhu, dan masalah lainnya, berdampak pada pendapatan ekonomi warga yang menurun.
“Sebagian besar penghuni pulau-pulai di Malut merupakan petani dan nelayan, mereka sangat bergantung pada alam. Bagi orang Maluku Utara alam itu sebagai sumber penghidupan dan kehidupan,” ujarnya.
Massa aksi memakai kostum petani dan memegang poster tuntutan, Jumat (22/4/2022) Foto: Darman Lasaidi/LPM Aspirasi
Ironisnya Maluku Utara kini menjadi dapur oligari perusak bumi. Apalagi saat ini, proyek strategis nasional beraktivitas dibidang industri ekstraktif.
Sementara sejarah pertambanga, menurutnya tidak ada yang tak merusak. Misalnya di Halmahera Tengah dan Kepulauan Obi yang menjadi kawasan industri dalam proyek strategis nasional. Selain itu tercatat ada sekitar 127 Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Malut. Hal ini akan berdampak secara ekologis maupun ekonomi warga.
“Kalau satu saja ekosisitem rusak, maka akan mempengaruhi ekosistem lainnya," kata Wahida.
Terlepas dari masalah ekologis, mahasiswa disalah satu kampus di Ternate itu berujar kemanusiaan kian mencekik. Ini karena tidak meratanya hak-hak buruh di wilayah pertambangan, pun juga kekerasan seksual yang semakin meningkat.
Tanaman monokultur sawit yang berada di daratan Gane, Kabupaten Halmahera Selatan, yakni PT. GMM anak perusahan dari Korindo Grup, telah membabat habis hutan di sana.
“Tentu dampak yang dirasakan warga amat besar, mulai dari berkurangnya asupan aliran sungai, serangan hama terhadap tanaman warga, banjir, laut tercemar karena limbah perusahan, dan lain sebagainya. Warga semakin kehilangan ruang hidup mereka karena kepentingan korporat," terangnya.
Alam harusnya dimiliki bersama. Bisa jadi praktik sosial secara kolektif dalam mengatur sumber daya alam secara arif dan lestari. Bukan oleh negara atau swasta, tapi oleh komunitas warga asli atau masyarakat adat matau lokal setempat. Menurutnya penting untuk memastikan ruang hidup warga terjaga, karena relasi mereka terhadap hutan dan laut sangat erat.
“Akan tetapi kebijakan investasi justru berdampak buruk terhadap ruang kelola warga, sehingga Walhi secara nasional mendorong Ekonomi tanding, untuk melawan sistem ekonomi politik yang dijalankan oleh negara saat ini," tutur dia.
Sehingga untuk kehidupan yang lebih adil kedepannya Walhi Malut, secara tegas bersikap menolak segala bentuk kezholiman penguasa atas alam dan isinya. Untuk itu menyerukan selamatkan pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil di Maluku Utara. Mereka juga mendesak untuk cabut izin PT GMM di Gane Kabupaten Halmahera Selatan, dan stop kekerasan seksual.
Reporter: Darman Lasaidi