LPM Aspirasi -- Hamka La Isa (51), perwakilan nelayan pulau Obi, bersama dua temannya, Alfi La Udu (43) dan Anto (39) melakukan konfrensi pers pada Jumat, (3/6/2022) di Benteng Oranje, jalan Hasan Boesoeri, Ternate Tengah. Mereka ditemani Sulton Umar, koordinator Aliansi Anak Nelayan Obi.
Konfrensi pers ini dilakukan setelah demo yang dilakukan Aliansi Anak Nelayan Obi bersama mereka di Kota Sofifi, Ibu Kota Provinsi Maluku Utara (Malut) pada Kamis, (2/6/2022) kemarin di kantor Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi, DPRD Provinsi, dan Kantor Gubernur Provinsi Maluku Utara.
Hamka dan teman-temannya menjadi representasi nelayan kecil Halmahera Selatan (Halsel). Sudah dua tahun terakhir mereka terkendala dalam proses menangkap ikan. Pasalnya ada aktivitas pajeko (Purse seine: Alat tangkap ikan) berskala besar di perairan selat Obi.
Mereka baru tahu kalau aktivitas pajeko itu ilegal. Selama ini, mereka mengira itu dilakukan oleh oknum-oknum dari para pejabat, PNS, dan lainnya, sehingga sulit untuk mecari hidup di perairan selat Obi.
Hamka berujar, pajeko dari Halsel yang sering beroperasi di selat Obi berjumlah empat kapal. Namun tidak mengganggu daerah tangkap nelayan kecil macam mereka.
“Baru dua tahun terakhir ini, ada empat pajeko berskala besar yang datang dari luar daerah. Mereka datang ketika dihubungi kalau ada ikan, lalu mellingkar area rumpon [dengan Jaring], setelah itu menghilang dari wilayah Obi,” ungkapnya.
Dia bilang pajeko-pajeko itu beroperasi dijarak 11 mil diantara pulau Obi dan Pulau Bacan. Padahal itu bukan area zona ekonomi ekslusif sehingga mereka menyalahi aturan. Sementara daerah tangkap nelayan tradisional hampir rata-rata di perairan selat Obi dan sekarang sudah diambil alih oleh pajeko.
“Sampai saat ini pajeko berskala besar masih terus beroperasi, kalau kami pergi ke area rumpon kami sering diusir karena katanya itu rumpon mereka,” tandasnya.
Hal ini membuat nelayan kesulitan mendapatkan ikan. Persoalan ini yang membuat nelayan enggan lagi pergi memancing. Apalagi pajeko beroperasi seminggu tiga kali.
“Mereka menggabungkan beberapa rumpon menjadi satu, lalu mendeteksi ikan dengan alat, kalau dibawah 30 ton mereka belum angkat. Sehingga kalau mereka lingkari rumpon, ikan sekecil gete-gete [glossamia] hingga lumba-lumba masuk dalam jaring. Kalau sudah seperti itu, tiga bulan kemudian baru ada ikan,” pungkas Hamka.
Jelas ini berdampak pada ekonomi nelayan karena mereka tidak bisa pergi melaut. Nelayan tidak ada pendapatan. Alhasil untuk makan mereka saja sulit, dan anak-anak mereka terancam putus sekolah.
“Anak –anak kami saat ini yang lulus Sekolah Dasar kurang lebih 326 orang dan mereka terancam tidak bisa melanjutkan sekolah,” ujar nelayan asal Desa Madapolo itu.
Hal tak kalah penting lainnya, keberadaan rumpon di perairan selat Obi yang dinilai melanggar ketentuan hukum. Dalam peraturan Mentri Kelautan dan Perikanan nomor 18 tahun 2021 pasal 16 poin a) menegaskan kalau jarak antar rompong harus berjarak 10 mil laut. Sementara pada poin f) menegaskan pemasangan rompon tidak ditempatkan pada alur pelayaran.
Hamka berujar, pemasangan rumpon di perairan Selat Obi tidak sampai 10 mil laut, bahkan hanya dua sampai tiga mil laut saja. Selain itu, mengganggu pelayaran karena dipasang dengan efek pagar alias zig-zag.
Rumpon yang dihitung saat nelayan turun ke lokasi di perairan selat Obi, terdapat sekira 53 yang terpasang. Namun data Dinas Perikanan dan Kelautan Halsel terdapat 55 rumpon. Data itu diperoleh dari perorangan rumpon.
Berlarutnya persoalan di perairan selat Obi selama dua tahun itu, mencapai puncaknya pada tanggal 17 Mei 2022 kemarin. Nelayan dari Pulau Obi dan Mandioli secara spontan berangkat menuju Labuha, Kabupaten Halmahera Selatan (Halsel). Sejumlah 200 lebih nelayan mendatangi pemerintah kabupaten, baik Dinas Perikanan dan Kelautan, pun juga DPRD Kabupaten Halsel.
Aksi itu berakhir audience dengan DPRD kabupaten Halsel. Dari situ, lahir dua kesepakatan pokok, namun kesepakatan itu sampai tanggal dua kemarin tak kunjung terealisasi.
“Sehingga kami berkordinasi dengan mahasiswa untuk mencari solusi agar masalah ini bisa cepat selesai, dan akhirnya kami putuskan untuk berangkat ke Sofifi,” ungkap ayah empat anak itu.
Nelayan pun menggelar demonstrasi bersama mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Anak Nelayan Obi di kantor DKP, DPRD, dan Kantor Gubernur Provinsi Maluku Utara. Dari tiga instansi yang mereka datangi, hanya DPRD yang tidak ada pegawainya. Mereka juga melakukan audience dengan DKP dan Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPM PTSP).
Sulton Umar, Koordinator Aliansi Anak Nelayan Obi bilang, dari hasil aksi yang dilakukan di tiga instansi yang didatangi, mereka berhasil menemui dua perwakilan instansi, yakni dari DKP dan DPM PTSP Provinsi Maluku Utara.
Bersama DPK Provinsi, Aliansi Anak Nelayan Obi membuat nota kesepahaman yang berisi dua poin yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah di perairan selat Obi, diantaranya:
1. Dinas kelautan dan perikanan Provinsi Maluku Utara akan melakukan penertiban rumpon dan IUU Fishing di wilayah perairan Halmahera Selatan pada tanggal 14 - 20 juni 2022 bersama nelayan dan Stackeholder terkait.
2. Dinas kelautan dan perikanan Provinsi Maluku Utara akan memberikan pertimbangan teknis terkait pemberhentian sementara aktifitas penangkapan nelayan pajeko di perairan Obi kepada DPM PTSP pertanggal dua sampai lima Juni 2022.
Nota kesepahaman ini ditandatangani oleh Kepala Bidang Perikanan Tangkap, Sugiharsono sebagai perwakilan DPK provinsi, Hamka La Isa, perwakilan nelayan Obi, serta Sulton Umar, koordinator Aliansi Anak Nelayan Obi.
Terkait rumpon, Dinas Perikanan dan Kelautan, serta Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu senada terkait perizinan. Sejak tahun 2018 sampai saat ini, mereka tidak pernah merekomendasikan permohonan izin untuk pemasangan rumpon dan tidak pernah mengeluarkan izin pemasangan rumpon.
“Mereka sendiri menyatakan rumpon yang ada di sana keseluruhannya ilegal, sehingga mereka berjanji sekira tanggal 14-20 Juni akan melakukan penertiban bersama-sama dengan nelayan. Ini yang kami tunggu,” ketus Sulton.
Menindaklanjuti nota kesepahaman itu, Dinas Kelautan dan Perikanan mengeluarkan surat dengan nomor 523/261DKP/2022 kepada Dinas Penanaman Modal dan PTSP Provinsi Malut terkait pertimbangan teknis pelaksanaan pemberhantian sementara operasi rumpon dan alat tangkap purseine (Pajeko).
Bambang Hermawan, Kepala Dinas DPM PTSP telah merespon surat DKP provinsi. Melalui surat edaran nomor: 523.42/303/DPMPTSP/2022, melakukan pembekuan sementara izin dari armada tangkap yang menggunakan Purse seine (pajeko) dan rumpon yang beroperasi di perairan selat Obi. Hal ini untuk menghindari konflik antar nelayan Obi, pemilik kapal pajeko dan pemilik rumpon.
Untuk itu, Hamka yang mewakili nelayan Halsel menyerukan semua pihak agar dapat membantu mereka mengawal semua kesepakatan dengan pemerintah daerah provinsi agar dapat terealisasi.
“Satu hal yang perlu dicatat, mau tidak mau kami akan bertindak tegas jika semua kesepakatan sampai dengan deadline waktu yang ditentukan oleh pemerintah itu tidak terlaksana. Maka kami akan mengambil langkah dan cara kami sendiri berjuang menghadapi pelaku-pelaku ilegal fishing yang ada di perairan selat Obi,” terang ayah empat anak itu.
Reporter: Darman Lasaidi