LPM Aspirasi – Penanganan dan pendampingan
kasus kekerasan seksual yang menimpa seorang anak dibawah umur bernama Cici (bukan
nama sebenarnya) di Oba Utara, Tidore Kepulauan, Maluku Utara, berjalan lambat.
Sejak dilaporkan keluarga pada 28 Juni
lalu ke Polsek Oba Utara, kasus yang melibatkan 8 orang pemuda ini nyaris tak terdengar
progresifitasnya.
M. Alfaris Marajabessy, Koordinator Melawan Stigma, mengatakan
korban juga sudah diperiksa beberapa kali oleh kepolisian, namun diketahui korban
tidak didampingi pendamping atau kuasa hukum.
Janji pendampingan dan menyediakan psikologi dari Dinas Perlindungan
Perempuan dan Anak (PPA) Ternate dan Dinas Pengendalian Penduduk Keluarga
Berencana Perlindungan Perempuan dan Anak (DPPKBP3A) Tidore Kepulauan hingga
kini tak ada sama sekali. Hanya sekali, itu pun ketika korban dirujuk dari
Puskesmas Galala, Oba Utara ke Ternate pada 30 Juni lalu.
Penyidikan yang dilakukan oleh Polsek Oba Utara serta
Polres Tidore Kepulauan, juga dinilai tidak profesional dan melanggar KUHAP, tidak
sesuai dengan UU No. 11/2012 tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak, serta Undang-Undang No. 35/2014 tentang
Perlindungan Anak.
“Pemeriksaan yang berulang-ulang yang dilakukan oleh
penyidik, menunjukkan bahwa penyidik tidak mehahami pemeriksaan yang ramah anak
(child friendly procedur) sebagaimana diamanatkan Undang-Undang
Perlindungan Anak dan UU Sistem Peradilan Pidana Anak,” kata M. Alfaris,
sebagaimana dikutip dari keterangan tertulis Gerak Melawan Stigma yang diterima
pada Rabu (27/7/2022).
Dalam kasus yang menimpa anak sebagai korban, menurutnya, harus
melalui proses pemeriksaan psikologi atau didampingi seorang konselor anak
serta kuasa hukum yang punya pengalaman mendampingi anak sebagai korban
kekerasan seksual.
“Karena anak yang menjadi korban rentan dengan tekanan, ancaman, bujuk rayu dan tipu muslihat serta dalam kondisi psikologis yang tidak stabil akibat dari tindak pidana yang dialaminya,” terangnya.
“Sampai hari ini yang mendampingi korban sejak awal proses
penyidikan hanya psikolognya.”
Pelaku Masih Keliaran, Data Korban Tersebar
Saat ini, lima orang pelaku bernisial SA (25), FAI (25), RM
(22), TAR (22) dan FHA (18) telah ditetapkan sebagai tersangka. Sementara, tiga
pelaku inisial SHH (16), MIM (16), dan MTR (15) lainnya berusia dibawah umur
dan sementara ditetapkan sebagai saksi.
Menurut pengakuan Kasat Reskrim Polres Tidore yang
disampaikan Alfaris, masih lakukan tahapan prosedural berdasarkan sistem
peradilan anak. Ketiganya juga masih dibawah pendampingan Dinas Sosial dan
Balai Permasyarakatan (Bapas) Tikep.
“Faktanya menurut sejumlah laporan dari warga sejak 6 Juli
2022, ketiga pelaku terlihat telah bebas berkeliaran di Oba Utara,” terang
Alfaris.
Disisi lain, data pribadi korban juga tersebar di media
sosial dan pemberitaan media lokal—yang tak lain dapat memperparah sikologi
korban. Alfaris bilang, sejumlah warwatan (dan kantor berita lokal, red) justru
menikam dua kali korban yang sudah dilecehkan secara fisik, juga harus
menanggung beban stigma masyarakat.
“[Ini membuat] kondisi mental anak [korban] semakin
terganggu,” ujarnya.
Dari informasi pemberitaan di media, keberadaan korban yang
menjalani perawatan di Puskesmas diketahui publik. Imbasnya, orang bergerombol
datang saat korban pertama kali dirawat.
“Datang juga gerombolan orang-orang pro pelaku yang
mengintimidasi korban dalam ruang rawat inap sehingga korban mengalami depresi
yang cukup berat,” tandasnya.
Keluarga tersangka pelaku kekerasan seksual juga datangi
keluarga korban yang tak lain mengambil jalan tengah menyelesaikan kasus secara
kekeluargaan—alias meminta damai setelah kekerasan dan trauma yang dialami
korban akibat dari tindakan pelaku.
***
Apa yang dialami Cici bukan kali pertama. Sebulan sebelum
kejadian kedua, Cici dan keluarga telah melakukan pelaporan ke Polsek Oba Utara
terkait kasus kekerasan seksual.
Sayangnya, menurut keterangan keluarga korban, Kapolsek Oba
Utara putuskan penyelesaian harus berakhir secara kekeluargaan. Ketika
negosiasi, polisi tidak menghadirkan psikolog atau pendamping yang mengerti
prosesur penanganan dan dampingi korban dan keluarga saat melaporkan pertama di
Polsek.
Sialnya, Polsek Oba juga tidak punya prosedur dan tidak
mengerti penanganan kasus kekerasan seksual dan justru mengafirmasi stigma
sosial. Lembaga pengayom ini bukannya menegakkan fungsi hukum yang sudah ada,
tapi justru memberi peringatan kepada pelaku jika terjadi lagi, maka pelaku
akan dinikahkan dengan korban.
“Polsek Oba Utara sempat memberikan peringatan kepada
pelaku akan menikahkan pelaku dengan korban apabila pelaku mengulangi
perbuatannya lagi,” terang Alfaris mengulangi perkataan keluarga korban.
Sejauh ini, berkas kelima pelaku yang jadi terangka telah
dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri (Kejari) Tidore Kepulauan. Namun tanggal 26
Juli kemarin, korban masih dipanggil ke Polres Tikep untuk kembali dimintai
keterangan.
Reporter: Darman Lasaidi
Editor: Rabul Sawal