Perempuan yang merokok harus menanggung
risiko mendapatkan stigma buruk di tengah masyarakat. Di ruang-ruang publik
seperti di kampus juga para perempuan masih ditegur hingga diancam.
LPM Aspirasi -- Irawati Harun tampak kesal menghadapi
ocehan seorang dosen kala duduk di pelataran salah satu kampus di Ternate,
Maluku Utara, September lalu. Pangkal soalnya, Irawati merokok di ruang publik
kampus.
“Bakiapa merokok?” kata seorang
dosen, geram.
“Tidak boleh merokok disini, Pak?” tanya
Ira, biasa dia disapa.
“Ngana tu perempuan, tara boleh
baroko!” timpal dosen.
Perempuan 24 tahun itu lalu berdiri.
Nada bicaranya ikut naik. Ia lantas bertanya letak kesalahan seorang perempuan
merokok.
“Ngana perempuan dan ada rahim,”
tambah dosen itu mencari afirmasi.
Ira dipaksa mematikan sebatang rokok
yang asapnya masih mengepul. Permintaan itu tak digubris. Ira tidak terima
ditegur hanya karena persoalan merokok. Cekcok berlanjut.
“Ada aturan di kampus ini yang melarang
mahasiswanya merokok?” tanya Ira, semakin kesal.
“Tidak ada,” dosen itu menjawab.
Ira bilang, dosen itu persoalkan kepulan asap dari seorang perempuan menggangu penglihatannya.
Ira lalu beranjak pergi ke tempat lain
tak jauh dari sana, masih di area kampus. Namun, dosen lain, diduga seorang
dekan fakultas di kampus itu, hampiri Ira dan berkata kalau pihaknya
berhak mengusir Ira karena merokok.
Sisi lain, di tengah masalah itu, dosen
lain datang coba mendorong Ira. Belum sempat didorong, Ira langsung menegur dan
berkata bila sampai ia disentuh, maka tak segan-segan Ira melaporkan dosen itu
karena terindikasi melecehkan tanpa izin.
“Bapak itu lalu menjauhi saya.”
Pengalaman lain, tutur Ira, ditegur
satpam hingga diancam dengan alasan sama: perempuan tidak boleh
merokok. Peristiwa ini Ira kisahkan ulang pada saya, akhir Oktober lalu.
Cerita lain disampaikan Fini. Fini
seorang mahasiswa yang juga sering merokok. Suatu hari, katanya, mencoba
merokok di ruang publik, kemudian ia ditegur.
“Kalau di lingkungan kampus sering di
tegur misalnya disuruh matikan rokok karena ada dosen, tetapi laki-laki tidak
ditegur,” jelas Fini.
Teguran seperti ini bikin Fini tak
nyaman. Kalau pengen merokok, ia harus mencari tempat sepi dan nyaman, terutama
tidak ada yang melarangnya.
Selain di ruang publik, orangtuanya
belum tahu kalau Fini merokok, hanya kakaknya. Ia pernah dimarahi kakak saat
kedapatan membakar sebatang rokok.
“Pertama kali kaka tahu, saya dimarahi
habis-habisan. Tapi setelah itu dia mengerti keadaan saya.”
Fini masih segan merokok dihadapan
orang tua atau melihatnya merokok. Ia takut dianggap tidak menghargai.
Menurut Ira, kejadian macam itu sudah
biasa dihadapi para perempuan muda atau mahasiswi yang merokok ketika merokok
di ruang-ruang publik dan ditegur.
“Dan laki-laki tidak ditegur,” kata
Ira, seperti disampaikan Fini.
Apa yang Ira dan Fini persoalkan sudah
sering terjadi di tengah masyarakat patriarki–sebuah sistem sosial yang
menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama dan menempatkan
perempuan distrata sosial kedua. Para perempuan yang merokok selalu mendapat
stigma buruk.
Menurut Widi, seorang mahasiswi di
kampus lain di Ternate, masyarakat di Maluku Utara masih tabu ketika melihat
perempuan merokok. Banyak perempuan yang merokok harus selalu kompromi kalau
tidak mau mendapat intimidasi.
Widi sendiri sering mengompromikan hal
ini saat dia merokok.
“Alasan kompromi bukan berarti saya
takut stigma dari masyarakat, melainkan lebih menempatkan diri dimana bisa
merokok dan tidak,” kata Widi kepada saya Oktober lalu.
Widi bilang di lingkaran keluarganya
ada yang mengijinkan, ada juga yang tidak.
“Saya memilih untuk tidak merokok di
depan Ibu, jangan sampai Ibu belum bisa menerima penjelasan saya,” ujar Widi.
Widi berpendapat, walaupun belajar
tentang feminisme, namun dalam lingkungan keluarga tidak serta merombak dinding
patriarki begitu saja.
“Jadi harus kompromi (kalau di rumah),”
ujar Widi.
Namira Banda, Dosen Psikologi dari
Universitas Muhammadiyah Maluku Utara, mengatakan perempuan yang merokok masih
dianggap tidak biasa dalam kehidupan masyarakat.
Anggapan itu muncul karena, menurut
Namira, perokok masih di dominasi oleh laki-laki sehingga muncul stigma negatif
jika ada perempuan yang merokok ditengah konstruksi sosial yang menempatkan
perempuan feminim, patuh, tidak agresif dan sesuai dengan gender.
Namira berpendapat, secara psikologi
perempuan merokok karena dipengaruhi oleh beberapa faktor, mulai dari
melampiaskan stres, merasa kesepian, hanya ikut-ikutan, kebiasaan dari keluarga,
mencari afirmasi orang lain, termasuk memiliki citra yang tinggi.
“Karena perempuan perokok biasanya
merasa bahwa dirinya berbeda,” terang Namira.
Arisa Murni Rada, seorang akademisi di
Universitas Khairun (Unkhair) mengatakan tidak ada larangan bagi perempuan saat
merokok. Pandangan dan stigma atas hal ini tergantung ruang dan waktu.
“Misalnya merokok di depan orang yang
fanatik agama, pasti akan menimbulkan stigma negatif, tapi bagi kelompok yang
terbuka kulturnya itu hal yang biasa,” terang Arisa, pengajar hukum di Unkhair
ini.
Namira ingatkan agar menempatkan diri saat memutuskan untuk merokok. Misalnya tidak merokok di kawasan yang di larang, di lingkungan yang didominasi anak-anak, termasuk tidak berlebihan dan menyeimbangkan dengan pola hidup sehat.
Penulis: Nurdafni K. Hamisi
Editor: Rabul Sawal
Produksi ini menjadi bagian dari program Workshop dan Story Grant Pers Mahasiswa: Menciptakan Ruang Aman Gender dan Seksualitas di Maluku Utara Lewat Jurnalisme Keberagaman yang digelar oleh Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK).