Sejumlah peserta Malut Bird Walk tengah mengamati burung yang bertengger di dahan Jamblang pada Minggu, (4/12/2022). Foto: Rajuan Jumat/LPM Aspirasi. |
LPM Aspirasi-- Pukul enam
dini hari, Siti Halima Duwila, tetangga kamar saya sudah bangun. Ia mengetuk
dinding kamar dan berusaha membangunkan saya. Beberapa menit kemudian saya
bangun. Kebetulan kami tinggal serumah bersama seorang kerabatnya.
Saya dan
Ima, begitu ia disapa, jadi peserta dalam acara pengamatan burung bertajuk
“Malut Bird Walk” yang diinisiasi oleh sekelompok anak muda yang terhimpun
dalam komunitas Satwa Liar (KPSL) Akejiri, dan Halmahera Wildlife Photography
(WHP) dan Kompas Sibela Bacan.
Pengamatan
burung ini dilaksanakan di areal kawasan hutan Danau Tolire, Ternate, Maluku
Utara, 4 Desember lalu. Danau bersejarah ini terletak sekitar 10 kilometer dari
pusat kota setempat.
Saya kemas
barang-barang dan membawa botol air berisi teh manis dan beberapa potong roti
bakar. Ima sendiri membawa serantang nasi kuning, ikan, dan sebuah mie instan
ke dalam tasnya.
Sejam
lebih siap-siap, kami berdua langsung menuju ke lokasi acara dari arah selatan
kota. Dekat saja jaraknya karena tempat kami tinggal di Sasa, Ternate Selatan.
Dalam perjalanan, kami berpapasan dengan dua orang panitia acara, Ahmad David
Kurnia Putra, seorang fotografer dan Adim, anggota KPSL Akejiri.
Saya sudah
kenal David karena pernah sama-sama jadi peserta dalam workshop fotografi
“cerita dari timur” pada Agustus-September lalu. Ia fotografer yang fokus
merekam satwa endemik di Maluku utara.
“Wah, Mas
Ambo, ketemu lagi,” sambut David, senyum.
“Ngoni peserta pengamatan juga?” tanya
Adim. Ia panitia penyelenggara.
"Iya,"
jawab Ima, singkat.
Adim lalu menyodorkan buku Burung-Burung Indah Maluku Utara. Isinya gambar dan keterangan. Semacam sebuah panduan mengamati burung. Buku ini karya David dkk yang dirilis tahun lalu.
Dari Danau
Tolire, kami berjalan menyusuri arah Gunung Gamalama. Mulanya saya pikir kami
berempat yang tiba lebih awal, ternyata tidak. Beberapa anggota panitia sudah
tiba lebih awal. Rifki Anwar dan Daniswhara Nathaniel, juga ikut. Dua orang ini
teman saya juga yang ikut bareng dalam workshop fotografi bersama David.
David yang
memandu pengamatan burung kali ini. Ia cukup pengalaman dan pengetahuan terkait
satwa dan jenis-jenisnya hanya dengan mendengar suara.
Kami
mengamati satwa burung dari rimbunan pohon jamblang dan alang-alang. Di
sekeliling ada beberapa pohon kelapa dan mangga. Sepertinya ini bekas kebun
warga yang ditinggalkan lama pemiliknya.
Sejumlah partisipan tengah mengamati burung menggunakan teropong dan memotretnya. Foto: Rajuan Jumat/LPM Aspirasi. |
Warga lokal menyebut Jorame untuk areal kebun ini. Wilayah kebun ini sering dihuni beberapa jenis satwa seperti burung Walik kembang (Ptilinopus melanospilus) dan Gosong kelam (Megapodius freycinet). Biasanya burung gosong ini menyimpan telurnya di rerumputan yang menumpuk di lantai tanah.
“Dengar
suara jeritan itu?” tanya David mengheningkan suasana yang sempat
cengar-cengir.
“Itu suara
burung Gosong Kelam. Orang Ternate bilang burung Maleo.”
David
menjelaskan beberapa hal, saat masuk hutan, ada tiga tipe suara burung yang
kerap kita dengar tanpa kita sadari; yakni, suara panggilan atau nyanyian;
suara peringatan atau suara tanda bahaya; dan suara memanggil teman atau
pasangan.
“Kita patut bersyukur, saat masuk hutan Maluku Utara masih terdengar suara burung bersahutan dan bentuknya bisa kita lihat dengan jelas. Ini berbeda dengan daerah lain,” terang David.
Daerah Jawa dan separuh wilayah Kalimantan, kata David, meskipun hutannya bagus, tapi jarang terdengar kicauan burung. Sekalipun ada, jangan harap bisa saksikan langsung dan melihat jenisnya.
Dewi Ayu,
panitia penyelenggara pengamatan burung, mengatakan inventarisasi jenis burung
dan jumlah burung di Kota Ternate tujuannya agar masyarakat mampu mengenal
satwa di lingkungan mereka, terlebih untuk anak muda.
Diburu dan hilangnya habitat
Tiga hari
setelah pengamatan burung, saya bertemu Jamal, seorang warga di Kecamatan Pulau
Ternate. Dia bilang kalau lokasi wisata danau Tolire dahulunya rimbun.
Pohon-pohon besar menjulang tinggi. Pohon-pohon itu pula yang menjadi rumah dan
tempat singgah berbagai macam jenis burung.
Jamal cerita, dahulu banyak burung seperti Julang irian (Rhyticeros plicatus), Nuri kalung ungu (Eos squamata), Kasturi ternate dan Kakatua putih (Cacatua alba). Kini burung-burung itu
sudah jarang dia lihat.
“Burung-burung
itu so bajao (menjauh) samua,” terang
Jamal, dengan dialek Ternate.
Di waktu
ia masih muda, lanjut lelaki berusia 42 tahun itu, wilayah Danau Tolire masih
rimbun dan sepi. Kini, semakin ramai dan di bangun tempat wisata serta jalan
raya, burung-burung yang dahulu dia lihat telah menghilang.
Di hari
yang sama, saya juga mengunjungi Baim, bukan nama sebenarnya, warga di daerah
Kecamatan Pulau Ternate. Ia seorang pemburu satwa di lindungi. Dari ceritanya,
ia biasa menjerat burung Kakatua putih, Nuri kalung-ungu, dan Kasturi ternate
di kawasan hutan.
Di
rumahnya, ada dua ekor Kasturi ternate. Seekor tersekap di sangkar dan seekor
lagi tergantung di tempat khusus. Baim mengaku telah memburu burung sejak masih
duduk di bangku sekolah menengah.
Dua ekor Kasturi Ternate di rumah salah seorang pemburu di kecamatan Ternate Selatan. Foto: Rajuan Jumat/LPM Aspirasi. |
"Kita
tangka burung kalau ada yang pasang. Jenis burung yang kita tangka cuma Nuri,
Kakatua Putih dan Perkici (saya tanggap
burung kalau ada yang pesan. Jenis burung yang saya tangkap hanya Nuri, Kakatua, dan Perkici)," akunya.
Lelaki
berusia 39 tahun ini mengaku banyak yang memesan burung padanya, termasuk oknum
anggota polisi dan tentara. “Banyak
orang yang pesan. Dari masyarakat biasa sampe polisi dan tentara.”
Biasanya,
kalau ada anak tetangga sekampung ikut tes polisi atau tentara, mereka datang
ke rumah dan pesan burung di Baim. Ia enggan menyebut oknum polisi dan tentara
yang sering memesan darinya.
Baim
sendiri pernah dibekuk seorang intel, beruntung tak diproses hukum. Ia
kelihatan was-was dan curiga pada saya.
Saya
penasaran dan bertanya apakah dia tahu atau tidak, burung yang ditangkap itu
berstatus dilindungi.
"Kita
tau. Tapi kan kita tangka kalau ada yang pesan. Di luar dari itu tarada (saya tahu. Tapi saya tangkap kalau ada yang
pesan. Di luar itu, tidak),” tegasnya.
Baim juga
pernah memasang jerat burung di daerah hutan Danau Tolire kala belum seramai
sekarang. Namun, setelah pohon-pohon ditebang, burung-burung yang disebut Jamal
juga menjauh. Kini, untuk menjerat satwa dilindungi, ia harus ke arah gunung
Gamalama. Disana, rumah terakhir satwa endemik.
Fadila
Tamnge, dosen Program Studi Kehutanan di Universitas Khairun mengatakan satwa
akan pergi bila habitatnya tidak lagi mendukung kebutuhan hidupnya. Misalnya
sumber pakan berkurang, lokasi berbiak serta tempat lenyap.
“Sedangkan
hilangnya habitat yang aman bagi satwa diakibatkan oleh dua faktor, baik secara
alamiah (faktor alam) maupun ulah manusia seperti pembukaan lahan dan
kebakaran,” terang Fadila, lewat pesan singkat, 7 Desember lalu.
Disisi
lain, Benny Aladin, Koordinator Program Burung Indonesia wilayah Maluku,
menjelaskan kepunahan satwa termasuk burung, banyak dipicu oleh aktivitas
manusia yang tidak mengelola sumber daya alam secara bijaksana.
Perlindungan
oleh pemerintah melalui undang-undang, kata Benny, merupakan salah satu cara
memperlambat kepunahan.
Benny
bilang, tumbuh-tumbuhan dan seluruh satwa liar yang hidup di muka bumi ini
memiliki fungsi yang sangat penting. Masing-masing jenis dalam ekologi tidak
dapat disubstitusi oleh apapun.
Ia
menerangkan kalau burung dikenal sebagai penyebar biji dan pengendali hama
tanaman. Burung tidak dapat menghuni suatu daerah tanpa didukung dengan habitat
yang cocok, yakni pepohonan dan vegetasi.
Menyusutnya
tutupan vegetasi dalam jumlah besar, katanya, akan mendorong perpindahan burung
ke tempat lain.
“Tanpa
adanya pengendali hama di satu daerah dapat berdampak bagi manusia. Seperti
terganggunya tanaman pangan tertentu yang telah dibudidaya dengan susah payah,”
terang Benny.
Ada burung migrasi
Daerah
dimana yang biasa Baim jerat satwa, pada waktu pengamatan kami temukan beberapa
jenis burung, diantaranya Walet sapi, Madu sriganti, Kupasan kebun, Gosong
kelam, Elang kelabu, Kehicap kilat, Wiwik rimba, Elang Bondol, Julang irian,
Walik kepala kelabu, dan Titiran telaga.
Menariknya,
di hari itu, kami juga menjumpai seekor Murai batu arung. Dari beberapa sumber
menyebut, burung ini biasa migrasi ke daerah-daerah di Indonesia.
Menurut
Fadila, migrasi burung itu gerakan periodik. Ada perjalanan panjang beberapa
jenis burung dari bagian utara bumi ke daerah yang lebih panas melewati
Indonesia, termasuk ke Ternate. Sementara, Benny mengingatkan agar tidak
memburu satwa migrasi tersebut.
Dari
pengamatan Burung Indonesia, daerah Morotai, Halmahera, Bacan dan Obi juga
adalah jalur perlintasan burung migrasi macam Murai. Jalur ini dikenal dengan
istilah East Asian-Australian Flyway (EAAF).
Setiap
tahun di bulan September-November, kata Benny, burung-burung dari belahan bumi
utara seperti Siberia, Korea, Jepang, Mongolia dan lainnya akan terbang ke
Australia untuk mencari makan di daerah yang lebih hangat.
Sebaliknya,
Benny bilang, saat Australia masuk musim dingin pada Desember-Februari,
burung-burung tersebut kembali ke belahan bumi utara untuk berkembang biak.
"Sebagai
daerah perlintasan, maka sangat penting mempertahankan daerah-daerah pesisir
baik mangrove, pulau-pulau berpasir serta padang lumpur di muara sungai untuk
tetap dijaga dan tidak boleh mengubah bentuk bentang alamnya," tegas
Benny.
Ditulis oleh: Rajuan Jumat
Editor: Rabul Sawal