Ilustrasi |
Ingatan Mira (24), bukan nama sebenarnya, masih membekas. Ia tidak akan pernah lupa pada peristiwa kekerasan seksual yang menimpanya beberapa tahun lalu. Hatinya tersayat kala menceritakan kembali.
Kejadian tragis itu
bermula pada pertengahan 2020 lalu. Kala itu, Mira bersama tiga orang teman transpuannya
mengendarai sepeda motor ke salah satu tempat wisata di Ternate, Maluku Utara
untuk liburan.
Saat baru di pertengahan
jalan, lima orang lelaki yang sedang mabuk minuman keras menghentikan mereka.
Satu diantara lelaki itu mengenal teman Mira. Ia dan teman-temannya diajak
paksa temani para lelaki itu minum alkohol di suatu tempat dekat pantai.
Saat sedang mabuk, ada
beberapa lelaki lain datang. Hingga jelang sore, minuman habis. Para lelaki
yang gabung belakangan itu bubar. Lima orang yang awal cegat mereka bertahan
bersama Mira dan teman-temannya.
Mira mulai curiga tapi
berusaha tenang. Namun, apa yang dia khawatirkan terjadi.
Gelagat lima orang lelaki
itu kelihatan. Tanpa panjang lebar keempat sekawan ini ditahan dan dipaksa
membuka pakaian. Para lelaki itu berniat memperkosa mereka. Mira berusaha
melawan. Sekuat tenaga.
“Pas mo lari
bagini, satu (orang) tahan, mo lari bagini, satu lagi tahan. Dong
samua keadaan so mabo,” terang Mira, mengingat peristiwa itu.
Salah seorang lelaki
memaksa Mira untuk berhubungan seksual, namun Ia terus menolak. Lelaki itu
terus mengintimidasi. Dalam hatinya, “astagfirullah, mati sudah.”
“Sampe kejadian ini
kaluar di berita lagi, ampong, mati da,” gumamnya dalam hati
dengan perasaan kacau. Ia hanya bisa melawan semampunya.
Para lelaki bejat itu
melihat Mira dan teman-temannya sekadar pemuas nafsu birahi. Mereka seperti tak
peduli dengan isyarat penolakan.
Dengan sekuat tenaga, ia
mendorong lelaki itu dan melarikan diri.
“Pokoknya lari satu napas
punya tu. Apapun yang terjadi, lari.”
Para lelaki itu bukannya
membiarkan, tapi ikut mengejar Mira dan teman-temannya yang sudah tak berdaya
tunggang-langgang di pekarangan rumah warga. Pantai tempat kejadian memang
dekat dengan rumah di kampung sekitar.
Saat itu hujan deras. Mira
bilang, saat itu warga acuh dengan perlakuan tidak manusiawi para lelaki itu. “Dong
tara (mereka tidak) peduli tong ni dapa kase bakiapa ka bakiapa (kami diapakan juga), dong
tara (mereka tidak) bantu.”
Ia tak kehilangan akal dan
terus berlari menuju ke arah tempat parkir motor. Teman-temannya juga lolos
dari kejaran, dan bertemu di parkiran. Dalam situasi panik, mereka buru-buru
menyalakan motor dan melarikan diri.
Mira dan teman-temannya
selamat dari nafsu bejat para lelaki itu.
“Disitulah kejadian yang
tragis seumur hidup, pokoknya kekerasan yang paling menakutkan,” ujar Mira.
Nasib buruk macam itu
bukan yang pertama kali menimpa transpuan atau biasa disapa waria seperti Mira,
ataupun kepada teman-temannya.
Dari penuturannya, sudah
berulang kali dia dipaksa berhubungan seksual dengan lebih dari satu laki-laki
tanpa sedikitpun dia sukai atau punya hasrat seksual bersama.
Saya tercekat mendengar
cerita tragis yang dialami Mira. Saya menyamarkan namanya untuk melindungi dia
dari serangan, pelecehan dan stigma yang sudah bertubi-tubi dia hadapi, bahkan
hampir setiap hari.
Dua hari setelah mendengar
cerita panjang Mira lewat sambungan telepon awal November 2022, saya kemudian
berkunjung ke sebuah salon rias kecantikan milik Gem (42) di salah satu
kelurahan di Ternate Utara.
Gem seorang transpuan yang
lahir dan besar di Ternate. Wajahnya semringah saat saya dan seorang teman,
namanya Tia masuk ke salon rias itu. Ia cukup ramah, sesekali jenaka kala
bercerita.
Saya duduk dekat Tia. Gem
duduk di kursi menghadap kami di ruangan tata rias. Perlahan-lahan, Gem mulai
cerita beberapa peristiwa yang melecehkan dirinya.
“Dong baru liat torang
langsung suit-suit (bersiul). Panggil banci. Ada juga yang pegang pantat,” kata
Gem.
Pelecehan macam itu sering
dia alami di ruang publik, seperti di pasar, di acara pesta, atau tempat
kegiatan, pameran dan bahkan saat di atas kendaraan.
“Sering saya lewat kong
dong bilang ‘banci’ tapi tong tra bisa marah karena dong
masih kecil.”
Ia tidak nyaman, namun
lapang menerima kenyataan. Baginya, terbuka sebagai transpuan harus pula siap
hadapi konsekuesi di lingkungan masyarakat.
“Konsekuensinya misalkan
masyarakat mo pandang sebelah mata atau apa, ya harus terima. Yang
pasti, torang juga (harus) menjelaskan pe dorang,” ujar
Gem.
Gem bilang, jika alami pelecehan, dia memilih menjelaskan
hak-hak seorang transpuan dan edukasi masyarakat supaya menerima statusnya
sebagai transpuan.
Menurutnya, edukasi sangat
penting, melalui komunitas Teratai, mereka bergerak mengubah pemahaman
masyarakat soal stigma buruk terhadap transpuan yang masih menganggap sebagai
sampah masyarakat dan penyakit sosial.
Komunitas transgender yang
dibentuk sekitar tahun 2000-an itu juga untuk merangkul dan mendukung sesama transpuan
di Ternate.
Stigma
Di Ternate, olok-olok yang
berkonotasi melecehkan seperti “banci” dan “bencong” sering sekali dialami
transpuan. Selain itu, kata lain yang merundungkan transpuan adalah “wandu”,
“wadam” dan “waria”.
Jessica Ayudya Lesmana,
seorang penulis waria dalam salah satu artikel mengatakan panggilan itu bisa
“membuat terganggunya kesehatan mental para transpuan karena disertai hinaan.”
Mira misalnya, kini alami
depresi hingga sekarang jarang keluar rumah atau berkumpul dengan teman-temannya.
Ia trauma dengan kekerasan seksual yang menimpanya.
“Tong ini pe jiwa
parampuang, tapi tidak harus diperlakukan kaya bagitu,”
kata Mira.
Sementara, Gem yang sering
dilecehkan di ruang-ruang publik, suatu waktu pernah depresi. Namun, seiring
berjalan, dia bisa mengendalikannya. Jika depresi berlebihan, katanya, sangat
mengganggu kesehatan mental.
Gem lebih memilih
mengabaikan orang-orang yang melecehkannya secara verbal.
“Samua individu transpuan
pasti sudah pernah dilecehkan, terutama pada masa remaja. Kembali lagi ke
individu itu, apakah dia mau mempermasalahkan itu atau tidak, kalau saya
memilih untuk abaikan dorang.”
Khairunnisa, Dosen Psikologi di Univeristas Muhammadiyah
Maluku Utara mengatakan kasus pelecehan yang terjadi pada korban remaja dan
dewasa, biasanya menunjukan gejala-gejala gangguan trauma pasca kejadian (post
trauma stress disorder).
“Biasa gejala yang paling
sering terjadi adalah perubahan emosi berupa emosi cenderung tidak stabil,
mengalami gangguan tidur, merasa ketakutan, hilang nafsu makan, dan beberapa
kasus korban bisa melakukan tindakan menyakiti diri sendiri,” ungkap Riri,
sapaan akrabnya.
Riri bilang, soal
kekerasan seksual dan pelecehan terhadap transpuan, selama bekerja di UPTD
Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Maluku Utara, belum pernah terima laporan
kasus terkait. Kemungkinan, katanya, ada keengganan melaporkan karena berkaitan
dengan status gender mereka.
“Mungkin keengganan mereka
untuk melapor adalah karena gender mereka, sebab yang kita ketahui di daerah
kita masih banyak orang yang belum welcome dengan transpuan,” terang
Riri.
***
Mira dan Gem hanyalah
salah dua dari rantai panjang pelecehan dan diskriminasi yang dialami kelompok
Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender dan Queer (LGBTQ) yang terjadi secara
sistematis di Indonesia.
Laporan Arus Pelangi pada 2019 yang dikutip Komnas Perempuan mencatat, angka kekerasan terhadap transpuan meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2018 tercatat 5 kasus pembunuhan terhadap transpuan dan sepanjang tahun 2019 sebanyak 6 transpuan yang dibunuh.
Di tahun yang sama, (GWL
INA,2019), terdapat 45 Perda diskriminatif terhadap transpuan. Data itu
menggambarkan bahwa transpuan tak memiliki hak hidup dan bebas dari perlakuan
diskriminatif.
Padahal, dalam konstitusi
Undang-Undang Dasar 1945 pada pasal 28A jelas menyebut hak setiap warga
negara untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.
Pada pasal 28I juga
menyebut: setiap orang bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas
dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan
diskriminatif itu.
Hak-hak itu justru masih
diabaikan. Masih mengutip Komnas Perempuan, masyarakat selama ini sangat mudah
mengidentifikasi kelompok transpuan hanya dilihat dari ekspresi gender dan
orientasi seksual.
Para transpuan, sebut
Kompas Perempuan, masih alami diskriminasi dan kekerasan berupa; pertama,
pengusiran transpuan dari rumah atau komunitas sekitarnya; kedua, sulit
dalam mengakses administrasi kependudukan, baik dalam birokrasi kepengurusannya
maupun pilihan gender mereka.
Ketiga, stereotype bahwa transpuan adalah
sampah masyarakat dan penyakit sosial, dan keempat, perundungan (bullying)
dengan menjuluki mereka dengan olok-olok yang berkonotasi melecehkan seperti
“bencong” atau “banci”.
Emen, Ketua Komunitas Teratai, mengatakan, untuk menghindari
praktik-praktik pelecehan dan kekerasan hingga trauma terhadap transpuan,
terutama di Ternate, harus berkomunitas untuk mendapatkan pendidikan dan
pemahaman terkait transgender dan dilindungi.
Emen yang juga seorang transpuan bilang, stigma lahir dari
masyarakat karena salah satu faktornya pendekatan antara transpuan dan
masyarakat kurang dekat. Kedua, mungkin masyarakat sering melihat sebelah mata.
“Cara kita mengatasi itu adalah yang pertama kita membuat hal
positif di mata masyarakat, tokoh agama, petinggi kampung, RT/RW, sekalipun
kita transpuan tapi kita membuat hal yang positif,” terang Emen.
Jessica Ayudya, juga menawarkan agar berhenti memanggil
transpuan dengan sebutan yang konotasi negatif dengan menyebut transwomen,
transgender dan transpuan agar bisa memberikan ruang kemanusiaan.
Sekarang, Mira butuh teman yang bisa mendengar kisah-kisah
kelam yang dia rasakan. Dia tengah mencari ketenangan di rumah yang betul-butul
dia anggap sebagai ruang aman baginya.
“Sampe sekarang kita so trauma berbuat bagitu-bagitu
(berhubungan seksual). Sekarang, kaya kita so fokus, so
batul-batul cuma di rumah,” ujar Mira.
Penulis: Susi H. Bangsa
Editor: Rabul Sawal
***
Produksi ini menjadi bagian dari program Workshop dan Story
Grant Pers Mahasiswa: Menciptakan Ruang Aman Gender dan Seksualitas di Maluku
Utara Lewat Jurnalisme Keberagaman yang digelar oleh Serikat Jurnalis untuk
Keberagaman (SEJUK).