WALHI dan Sylva Universitas Khairun melakukan aksi di depan kantor Gubernur Malut. Foto: LPM Aspirasi/Yulinar Sapsuha. |
LPM Aspirasi—Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Maluku Utara (Malut) dan Sylva Universitas Khairun gelar aksi peringati Hari Hutan dan Hari Air Sedunia pada, Selasa (21/3/2023). Demontrasi digelar di depan kediaman Gubernur Malut dan Landmark Kota Ternate.
Massa menyoroti penyusutan hutan. Mereka mendesak Abdul Gani Kasuba, Gubernur Malut untuk ambil kebijakan.Tujuannya untuk selamatkan hutan pulau-pulau di Malut yang tersisa dari ancaman deforestasi.
Julfikar Sangaji, Manager Kampanye Hutan dan Kebun WALHI Malut mengatakan, kondisi tutupan hutan di Malut terus tergerus setiap waktu. Persoalan ini diyakini akibat aktivitas pertambangan, perkebunan, dan loging.
“Maluku Utara telah kehilangan tutupan hutan secara signifikan. Ini diakibatkan oleh pengalihan fungsi hutan ke industri, perkebunan dan penebangan hutan skala besar. Dalam satu dekade terakhir kawasan hutan Maluku Utara menjadi sasaran empuk aktivitas ekstraktif,” ungkapnya.
Kata Julfikar, mengutip Data Analisis Spasial Tutupan Lahan Global Forest Watch, pada tahun 2001 Malut memiliki 2.27 juta hektar hutan primer yang membentangi 72 persen area lahannya. Tapi pada tahun 2021 kehilangan 3.57 ribu hektar hutan primer. Angka itu setara dengan emisi sebesar 2.97 metrik ton karbon dioksida.
Sementara di tahun 2001 hingga 2021, Malut sudah kehilangan 268 ribu hektar tutupan pohon. Data itu setara dengan penurunan 8.7 persen tutupan pohon sejak tahun 2000, dan setara dengan 206 metrik ton emisi karbon dioksida.
“Geografis Malut hanya memiliki 24 persen wilayah daratan sedangkan 76 persen perairan. Daratan yang mungil harusnya dijaga. Apabila dekelola harus jauh dari kerusakan ekologi, bukan sebaliknya,” tegasnya.
Julfikar bilang, Industri berbasis lahan secara agresif menggugur hutan dan mencemari sungai. Salah satu contoh aliran sungai Ake Kobe rusak akibat sedimetasi ore nikel. Citra satelit perlihatkan sepanjang 55 kilo meter, dari hulu ke hilir tampak berwarna cokelat.
“Lebih parahnya lagi daya rusak itu merembet hingga ke wilayah pesisir dan laut dengan beban kerusakan dua kali lipat dari daratan,” tutur Julfikar.
WALHI Maluku Utara mencatat, hingga Maret 2023 ada 146 usaha berbasis lahan yang menduduki daratan Malut. Mulai dari 110 izin usaha pertambangan, serta dua kawasan industri pengelolaan nikel. Sementara ada 34 izin usaha perkebunan dan kehutanan.
Tambang Nikel Ancam Hutan Maluku Utara
“Semua usaha dan izin yang keluar dari tangan pemerintah ini mustahil tidak menciptakan deforestasi,” terang Julfikar.
Menurut Julfikar, salah satu ancaman serius untuk hutan di Maluku Utara ialah perusahaan nikel. Tercacat ada 52 Izin Usaha dengan total luas konsesi 213.60 hektar. Mulau dari Pulau Obi, di Halmahera Selatan dan Lelilef, di Halmahera Tengah.
Senada dengan WALHI Malut, Bahtiar S. Malawat, Ketua Umum Sylva Unkhiar menyatakan laju deforestasi hutan kedepannya akan lebih gila lagi. Persoalan ini karena ada proses penambangan yang terus memburu luas izin garapan.
“Deforestasi hutan akan makin masif ditangan perusahan nikel. Ini karena mereka akan lebih dulu melakukan pembersihan area dengan membabat habis hutan sebelum mereka harus mengeruk tanahnya,” kata Bahtiar.
Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) milik tambang nikel juga punya andil kerusakan hutan. Perusahaan macam PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) di Halmahera Tengah dan Harita Group, di Halmahera Selatan sepenuhnya gunakan batu bara.
“Artinya, ada dampak tidak langsung yang timbulkan dari PLTU, selain dampak langsung dari PLTU yang terus menyemprot polusi ke udara. Ini jadi ancaman serius untuk alam dan manusia,” ucapnya.
Reporter: Susi H. Bangsa dan Yulinar Sapsuha
Editor: Darman Lasaidi