LPM Aspirasi — Organisasi Pusat Perjuangan Mahasiswa untuk Pembebasan Nasional (Pembebasan) Kolektif Kota Ternate menyerukan pemilu rakyat miskin. Seruan itu disampaikan saat gelar demonstrasi pada Sabtu (15/4/2023) di depan Taman Nukila, dan Landmark Kota Ternate.
Aksi dimulai sekira pukul 14.00 WIT. Dari pantauan LPM Aspirasi, massa bentangkan spanduk bertuliskan “Jegal Neoliberalisme, Tolak UU Ciptaker dan Tolak Pemilu 2024”. Mereka juga bawa bendera serta poster berisi tuntutan.
Isra, Koordinator aksi mengatakan ditengah kondisi ekonomi rakyat yang dilanda kesulitan, wacana pemilu mulai digaungkan. Padahal masih satu tahun lagi. Namun partai borjuasi sudah berlomba-lomba meninggikan baliho.
Tak sedikit pula partai yang sudah berancang-ancang mendeklarasikan calon presiden yang akan diusungnya kelak. Mereka mulai adu janji. Ada juga yang adu meriah panggung musik, serta bagi-bagi kaos gratis.
“Ya, itulah suasana khas pemilu, layaknya hari besar yang perlu disambut dengan gegap gempita. Namun kenyataannya, pemilu di Indonesia tidak lebih dari sebuah “permen”, ia hanya penenang agar “si kecil” tidak menangis,” ketusnya.
Kata dia pemilu hanya buat rakyat Indonesia lupakan persoalan mendasar. Persoalan sehari-hari yang di hadapi di pabrik, di kampus, di jalanan. Rakyat Indonesia dipaksa bergembira bersama janji-janji para partai borjuasi namun semuanya omong kosong. Ini senjata yang ampuh bagi para elit politik borjuasi untuk menaklukan rakyat miskin.
“Rakyat miskin dilihat tidak lebih dari sebuah selembar kertas yang akan mengisi kotak suara. Para elit politik hanya akan sibuk memastikan kampanyenya berjalan dan memastikan saingannya tidak melampauinya,” ungkap Isra.
Isra bilang, dalam pemilu borjuasi, tidak ada ruang bagi kelompok miskin. Hal yang lebih buruk elit menggunakan frasa pesta demokrasi. Padahal jelas pemilu macam ini tidak demokratis.
“Dalam makna yang sempit sekalipun, pemilu yang berulang kali terjadi di Indonesia tidaklah demokratis. Pemilu yang secara sistematis melalui regulasi membatasi kelompok miskin berpartisipasi secara leluasa,” tegasnya.
Menurut dia, hanya kelompok pemodal yang mampu mendirikan partai politik untuk diikutsertakan pada pemilu. Persoalan itu jelas menunjukan pemilu tidak mampu jadi representasi rakyat Indonesia.
“Sebab di dalamnya hanya berisikan kaum borjuasi yang kerjanya hanya ongkang-ongkang kaki di atas penderitaan rakyat,” ungkap Isra.
Pemilu Rakyat Miskin, kata Isra jadi diksi yang mereka ambil sebagai bentuk penolakan terhadap kontestasi pemilu borjuasi 2024. Mereka menganggap pemilu 2024, sama seperti pemilu sebelumnya yang jadi ajang kelas penguasa untuk membagi-bagi kue kekuasaan.
“Tidak ada keterlibatan rakyat secara aktif melainkan sederet angka yang disebut sebagai pemilih. Sehingga ajang ini hanya ajang untuk mempertahankan atau memindahkan kekuasaan di antara para penindas,” terangnya.
Pemilu Rakyat Miskin, bagi Isra dan teman-temannya jadi ide tandingan dari pemilu borjuasi. Ide ini menjadikan rakyat sebagai pengambil peranan penting dalam menentukan representasi serta arah kebijakan ekonomi dan politiknya sendiri. Rakyat miliki kedaulatan dalam lini produksi paling esensial. Juga berdaulat dalam sumber daya alam. Tujuannya agar rakyat dapat memanfaatkan secara bijak, seiring dengan alam dan lingkungan.
“Kalau ini sulit, maka kami memilih untuk tidak memilih, karena tidak mimilih merupakan hak asasi,” tegas Isra.
Reporter: Hairul Rahmat
Editor: Darman Lasaidi