Salah satu spanduk kecaman dan intimidasi terhadap mahasiswa Papua yang dipasang di depan kampus Muhammadiyah Maluku Utara. Selasa, (23/5/2023).Foto: Petisi Rakyat Papua. |
LPM Aspirasi-- Sejumlah poster dan spanduk intimidasi terhadap mahasiswa Papua terpasang di berbagai tempat publik, serta kampus di Kota Ternate, Maluku Utara. Poster dan spanduk mulai terlihat sejak Selasa (23/5/2023) malam, dan dicopot pada hari Rabu malam.
Poster dan spanduk ini memuat kecaman dan intimidasi terhadap mahasiswa Papua, maupun organisasi mahasiswa asal Papua yang dianggap melakukan makar. Beberapa diantaranya memuat kalimat yang mendorong agar mahasiswa Papua dikeluarkan dari perguruan tinggi dan diusir dari Ternate.
Ronaldo Kinho, salah satu mahasiswa asal Papua mengatakan poster dan spanduk itu dipasang mulai dari Sekolah Tinggi Ilmu Pendidikan (STKIP) Kie Raha Ternate, Universitas Muhammadiyah Maluku Utara (UMMU) dan Universitas Khairun (Unkhair) Ternate, serta di berbagai tempat umum di pusat Kota.
“Ada sejumlah poster yang menyebut nama saya. Mereka menghasut warga kota Ternate. Bahkan mereka tempel poster yang memuat foto kami. Kami dikira teroris kah?” tanya Ronaldo yang namanya disebut sebagai penghasut masyarakat Maluku Utara.
Ronaldo, yang juga Koordinator Petisi Rakyat Papua Sekretariat Bersama Ternate bilang, perlakuan semacam itu sudah berulang kali ia alami. Tindakan diskriminasi dan intimidasi terus berulang. Teman-teman Maluku Utara yang bersolidaritas terhadap masalah Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua juga kerap alami intimidasi macam ini.
Spanduk provokasi terpajang di sekitar area pusat kota Ternate. Foto: Petisi Rakyat Papua. |
Aliansi Mahasiswa Papua (AMP), menurut dia, sebagai tempat belajar dan diskusi. Wadah belajar mahasiswa Papua itu merupakan organisasi yang selalu menyuarakan situasi Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua. Namun, aktivitas diskusi, menyampaikan pendapat yang dilakukan sering direspon dengan intimidasi dan perlakuan diskriminatif.
Penyampaian Pendapat Bukan Makar
Ridwan Lipantara, Juru Bicara Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP) Kota Ternate benarkan poster dan spanduk yang mengintimidasi mahasiswa asal Papua. Poster dan spanduk itu masih terlihat hingga Rabu (24/5/2023) pukul 16.00 WIT, namun telah dicopot pada Rabu malam.
Ridwan dan teman-temannya juga telah menghubungi Lurah Gambesi dan Wakil Rektor III Universitas Khairun Ternate. Hasilnya pihak kelurahan dan kampus tidak mengetahui persoalan poster tersebut.
“Kami konfirmasi ke Wakil Rektor Unkhair dan pak Lurah Gambesi mereka tidak tahu. Spanduk itu ditempel tanpa sepengetahuan mereka,” ujar Ridwan.
Terkait intimidasi dan kecaman, kata Ridwan, sudah sering dialami teman-teman asal Papua yang kuliah di Ternate. Hal ini dipicu aktifitas peyampaian pendapat, dan diskusi-diskusi terkait masalah demokrasi dan hak asasi manusia di Papua. Aktivitas itu sering dilabeli dengan tudingan makar, memecah bela negara, saparatis, teroris, anti pembangunan dan lain-lain.
Bagi Ridwan, menyampaikan pendapat terkait situasi objektif di Papua bukan tindakan makar sehingga perlu dilindungi. Dalam hukum internasional maupun hukum Indonesia telah menjamin kebebasan berpendapat sebagai perlindungan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.
“Negara melalui kekuatan TNI-POLRI justru selalu melabeli penyampaian pendapat terkait situasi HAM di Papua itu dengan pelebelan makar, memecah-belah bangsa, sparatis, teroris, anti pancasila, anti pembangunan dan sebagainya,” ungkapnya.
Salah satu poster provokasi yang ditempelkan di dinding rumah warga kelurahan Sasa. Foto: Petisi Rakyat Papua |
Dia juga menjelaskan soal poster desakan agar mahasiswa yang bersolidaritas terhadap masalah kemanusiaan Papua di Drop Out dari kampus. Dia bilang masih belum hilang dalam ingatan empat temannya pernah di keluarkan dari kampus. Persoalannya melakukan aksi mendukung penentuan nasib sendiri sebagai solusi demokratis bagi bangsa Papua.
“Justru dalam gugatan hukum ke empat kawan kami, menunjukan kebebasan berpendapat dan berserikat itu bukan tindakan melawan hukum, apalagi makar dan memecah belah bangsa,” tegasnya.
Putusan Mahkamah Agung (MA) membatalkan SK Rektor Universitas Khairun Ternate, No SK : 1860/UN44/KP/2019. Dalam surat itu meminta kepada Rektor Unkhair agar segera memberikan pemulihan status dan nama baik. Tujuannya agar bisa kembali berkuliah dan beraktivitas di dalam Kampus. Keempat mahasiswa itu telah kembali melanjutkan pendidikan dan tiga diantaranya telah lulus.
Ridwan menambahkan, landasan putusan MA berdasarkan Pasal 28 UUD 1945 terkait kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan, dan sebagainya di tetapkan dengan UU. Ada juga Pasal 28E ayat 3, yang berbunyi setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.
“Dengan putusan MA ini membuktikan kalau aksi massa dan menyampaikan pendapat di muka umum bukanlah unsur tindak pidana makar, Kriminal atau memecah-belah Bangsa, seperti yang dituduhkan oleh TNI-POLRI dan Rektor Universitas Khairun Ternate,” tandasnya.
Menguatnya Rasisme dan Kekerasan Terhadap Mahasiswa Papua
“Tindakan penempelan sapnduk dan poster berisi narasi provokatif di Ternate sabagai bentuk nyata wajah negara yang anti demokrasi dan rasis,” ungkap Jeeno Alfred Dogomo, Ketua Umum Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Nasional.
Persoalan ini, bagi Jeeno, karena tindakan kriminalisasi, stigmatisasi, rasisme serta penangkapan menjadi tontonan sehari-hari yang dilakukan negara secara struktural dan berkelanjutan. Hal itu dilakukan instrumen negara seperti aparat, media, pendidikan, hukum dan lainnya. Ini sudah dialami rakyat Papua selama 60 tahun lebih paska aneksasi.
Dia menuding pemasangan poster dan spanduk dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab. Tujuannya mempengaruhi masyarakat Ternate agar membenci mahasiswa Papua dengan segala aktivitasnya.
“Ini sentimen rasis dan sangat provokatif,” tegasnya saat di hubungi via whatsApp.
Jeeno bilang telah koordinasikan dengan teman-teman mahasiswa Papua di Ternate. Mereka memiliki hubungan baik dengan masyarakat dan mahasiswa. Dengan adanya poster dan spanduk ini justru mengganggu mahasiswa Papua.
“Tindakan ini juga berdampak pada terganggunya psikologis mahasiswa Papua di ternate dalam malaksanakan aktivitas keseharianya baik di kampus maupun dalam organisasi,” ungkapnya.
Ketua umum AMP itu menambahkan tindak kriminalisasi dan rasis terhadap mahasiswa Papua dalam kehidupan sehari-hari, maupun dalam menyampaikan aspirasi politiknya sangat sering terjadi.
Kurun waktu tahun 2022-2023 sekira 10 - 11 kasus yang menyasar mahasiswa Papua di berbagai kota. Di Makassar ada kasus pemanggilan paksa awal Januari lalu, kemudian pembubaran paksa dan pemukulan oleh ormas reaksioner di Bali pada April 2023.
Ada juga teror dan kriminalisasi aparat kepolisian dan pihak kampus di Lombok pada Februari. Kemudian penempelan poster dan spanduk provokatif di Jakarta, Surabaya, Jogja, dan malang, serta tindakan-tindakan pembungkaman lainnya.
Jenno bersama mahasiswa Papua lainnya menghimbau masyarakat dan organisasi pro-demokrasi agar tidak terprovokasi, serta mau bersolidaritas bersama untuk melawan balik.
“Oleh karena itu kami memdesak aparat kepolisian agar segera menangkap dan memproses secara hukum terhadap pelaku yang menyebarkan narasi provokatif tersebut,” tegasnya.
Reporter: Darman Lasaidi
Editor: Susi H. Bangsa
Tetap pada posisi
BalasHapus