LPM Aspirasi -- Upacara Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang ke 78 tahun nampak berbeda di pesisir Kelurahan Sulamadaha, Ternate Barat, Kota Ternate.
Warga yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Pulau Hiri (AMPUH) mengibarkan bendera setengah tiang pada Kamis (17/8/2023). Aksi ini dilakukan sebagai bentuk protes atas ketidakjelasan pembangunan dermaga penyeberangan Sulamadaha -Pulau Hiri.
Upacara dilakukan di atas tumpukan tetrapod. Lokasi itu rencananya akan dibangun pelabuhan penyebrangan dari Pulau Ternate ke Pulau Hiri, begitu sebaliknya.
Pantauan LPM Aspirasi di lapangan, tiang yang jadi tempat untuk kibarkan bendera ditancapkan di lubang sela-sela antar tetrapod. Sementara peserta upacara berdiri di atas bebatuan, menghadap ke arah tiang bendera yang berlatar Pulau Hiri.
Tiga pemuda bertugas jadi pengibar bendera. Saat sudah siap, mereka memberi aba-aba. Sontak peserta memberi hormat dan menyanyikan lagu Indonesia Raya. Pengibaran itu berakhir dengan bendera yang dikibarkan setengah tiang.
Upacara ini dirangkaikan dengan pembacaan Pancasila menggunakan bahasa Ternate, dan Manifesto Masyarakat Pulau Hiri yang berisi poin-poin perlawanan dan tuntutan masyarakat Pulau Hiri.
Wawan Ilyas, Koordinator lapangan mengatakan upacara ini untuk memperingati kemerdekaan Indonesia. Kemerdekaan yang dicapai dari perjuangannya rakyat. Indonesia sudah merdeka namun pembangunan dibeda-bedakan.
“Salah satunya pembangunan pelabuhan Hiri yang tak kunjung dilaksanakan, ini sungguh memperihatinkan,” ucapnya.
Dia bilang, upacara ini jadi salah satu bentuk kritik terhadap pemerintah pusat. Harusnya jembatan Hiri sudah menjadi konsumsi nasional, sebab perjuangan rakyat Hiri untuk pembangunan pelabuhan sudah bertahun-tahun dilakukan.
Wawan geram, sudah lebih dari 10 kali aksi yang mereka lakukan. Bahkan sudah lebih dari 10 kali juga mereka audiens bersama pemerintah. Bahkan sudah ada 100 lebih tulisan dari wartawan dan dari pemerhati yang mengingatkan pemerintah untuk membangun pelabuhan Hiri.
“Tetapi hingga saat ini kami tidak merasakan kelayakan pelabuhan Sulamadaha-Hiri,” tegasnya.
Kemarin, kata Wawan, ada masyarakat yang sakit, harus dirujuk melalui pelabuhan ini. Bukanya mendapat kemudahan, pasien harus dipikul masyarakat melalui bebatuan dan batu karang di sini. Kejadian seperti ini sangat disayangkan terjadi.
Situasi pelik macam ini sudah jadi keseharian masyarakat Pulau Hiri. Wawan bersama masyarakat Hiri mendesak agar pelaksanaan pembangunan dermaga harus segera dilaksanakan. Tidak boleh ada ketimpangan pembangunan.
“Sebab masyarakat Pulau Hiri jadi yang paling terdampak, terutama bagi mereka yang bekerja sebagai pengemudi motor kayu, dan masyarakat yang secara langsung menggunakan motor laut sebagai transportasi sehari-hari,” tandasnya.
Wawan mengaku, pengibaran bendera setengah tiang bermakna, rakyat Indonesia, termasuk masyarakat Pulau Hiri belum merasakan merdeka seutuhnya.
“Dilihat dari sisi kejujuran dan transparansi pembangunan maka kami masyarakat Hiri belum merdeka. Maka kami ingin merasakan kemerdekaan juga, dalam hal ini kemudahan akses dengan dibangunnya jembatan,” tutur Wawan.
Wawan berharap aksi ini juga menjadi batu loncatan bagi masyarakat dan pemuda Hiri untuk tetap bersemangat memperjuangkan problem-problem dasar masyarakat.
Sementara itu, Malang Suleman, salah satu pengemudi motor kayu menyangkan belum adanya pelabuhan penyebrangan. Padahal ini menjadi akses utama masyarakat ke Pulau Ternate.
Akibatnya, kata dia, penumpang motor kayu mengalami kesulitan saat naik atau turun dari motor kayu karena ketiadaan jembatan yang memadai. Terutama saat musim ombak dengan gelombang tinggi.
“Penumpang juga susah kalau mau turun dari motor kayu, lain kali penumpang harus turun ke air kalau airnya sedang surut, kalau ombak tinggi penumpang harus turun di Jembatan yang ada di Pantai Jikomalamo,” ucapnya.
Reporter: Susi H Bangsa dan Nurdafni K Hamisi
Editor: Darman Lasaidi