Upacara memperingati Hari Kemerdekaan ke 78 di Pelabuhan Penyembrangan Sulamadaha-Hiri. Foto: Nurdafni K. Hamisi/LPM Aspirasi |
Agustus telah usai
Mari memulai September dengan tumpukan pilu yang tak pernah pulih
Kita telah merayakan agustus dengan beberapa rintihan yang lirih
Merdeka yang tak pernah
Harapan tinggal kenang, berlalu
Kita adalah kerdil di bawah sepatu besi
Kita dipaksa menuntut hidup di antara bau pesing mulut-mulut para buncit
Bedebah yang tak sadar diri
Berhutang, menumbalkan rakyat dan desa.
Hiri masih miris
Bendera setengah tiang masih berkibar di ingatan
Janji-janji keparat telah hanyut sampai di batas pelabuhan tanpa dermaga
Tetrapot masih tegak dihantam ombak
Rakyat terus bertanya
Anggaran mana yang dibicarakan?
Teknis yang mana yang harus diperbaiki
Bertahun-bertahun merawat egois
Mengorbankan rakyat sebagai kelas tertindas
Beberapa orang di tanah timur, sebut saja kota pulau
Masih berharap pada bendera hitam bergambar Goheba
Tapi tetap kalah, dengan sepotong surat bertanda tangan dan bercap merah
Nasib rakyat ditentukan oleh sepotong materai
Adat tradisi telah terdistorsi
Demi kenyang, sampai mau mati
Alam sumber hidup Rakyat Sagea direbut pasir merah
Boki Maruru sedang berduka
Sebab arogansi dan eksistensi berkedok pembangunan.
Merdeka untuk rakyat yang mana?
Tak menuntut kaya, Rakyat Sagea hanya ingin hidup pantas
Di atas tanah yang menjadi hak dan rumah
Aliran sungai telah kabur
Pertanian sudah jarang subur
Perempuan makin terkungkung
Kebebasan hidup seakan dipasung
Maluku Utara kental dengan adat
Budaya bukan sekadar indentitas
Alam bukan hanya secuil tanah
Ia adalah sebenar-benarnya sumber penghidupan
Jaga dan berjuang sebisa kita
Jaga yang tersisa
Penulis: Empu Filli