LPM Aspirasi -- Aktivis Kamisan Ternate kembali menggelar aksi di depan Kantor Walikota Ternate, Jalan pahlawan Revolusi, Muhajirin, Ternate Tengah, Pada kamis (19/10/2023) sore. Isu yang diangkat kali ini, terkait penangkapan Antonius (Anton) Latumutuany dan dua masyarakat Papua yang alami kekerasan seksual.
Aksi dimulai seperti biasanya, sekira pukul 15.00 WIT. Massa mengenakan pakaian dan atribut serba hitam, mulai dari kaos, hingga payung sebagai wujud belasungkawa atas berbagai peristiwa yang mencederai kemanusiaan.
Massa menilai apa yang dilakukan Antonius merupakan upaya mempertahankan hak atas tanah, namun dikriminalisasi dengan sangkaan makar. Sementara mereka juga mengutuk dan mendesak agar kasus kekerasan seksual serta pembunuhan yang terjadi di Papua segera diusut tuntas.
“Apa yang dilakukan Anton dan warga adat Piliana merupakan upaya untuk mempertahankan hak dan telah sesuai dengan UU yang semestinya di lindungi oleh negara bukan malah di kriminalisasi apalagi di tuduh sebagai makar,” ungkap Saukris, salah satu massa Aksi Kamisan.
Penangkapan terhadap Antonius Latumutuany terjadi pada 18 Maret 2023. Kepolisian menangkap dan langsung menahannya sampai saat ini dengan tuduhan makar.
Kejadian ini bermula pada akhir tahun 2022 dan awal tahun 2023. Balai Taman Nasional Manusela dan Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Maluku memasang palang perluasan tapal batas Taman Nasional Manusela. Palang tersebut dipasang sampai masuk ke dalam Petuanan (Wilayah kelola adat sejumlah negeri atau desa adat). Perluasan itu juga mengklaim kebun warga di tengah Pulau Seram, Maluku.
Salah satu negeri yang Petuanan nya dipasang palang ialah negeri adat Piliyana, Kecamatan Tehoru, Kabupaten Maluku Tengah di Pulau Seram.
Pencaplokan wilayah kelola masyarakat adat itu memicu protes masyarakat. Pada tanggal 28 February 2023, Antonius bersama warga Piliyana dan warga negeri adat lainnya melakukan aksi protes atas pemasangan palang tersebut.
Aksi itu diikuti dengan upacara adat berupa pemasangan Sasi (larangan) di Dusun Lukaihata, Petuanan negeri Piliyana. Anton dan beberapa saudara sekampungnya kemudian mengambil tempat sendiri. Mereka melanjutkan aksi protes dengan mengikatkan dan mengibarkan sehelai bendera Benang Raja (bendera RMS) pada sebuah dahan kayu.
“Anton kemudian memotret dan mengunggah foto tersebut di media sosial. Dia mungkin meyakini ini adalah bentuk protes terhadap kesewenang-wenangan Pemerintah RI, namun dia ditangkap karena dianggap makar,” ungkap Saukris.
Bulan Agustus 2023 lalu, kasus ini memulai persidangannya di Pengadilan Negeri (PN) Masohi. Jaksa tetap mendakwa Antonius dengan tuduhan makar. Lalu hari Senin, 16 Oktober 2023, sidang dilanjutkan dengan agenda menghadirkan saksi ahli, yaitu Usman Hamid, dari Amnesty International Indonesia, dan Ghazali Ohorella, dari Indigenous People's Council PBB.
Saukris menilai dakwaan makar yang dituduhkan Jaksa merupakan dakwaan yang keliru. Sebab mereka percaya apa yang dilakukan Antonius sudah selayaknya protes warga kepada pemerintah.
“Kami percaya Anton warga biasa yang berjuang mempertahankan wilayah tenurialnya, sama seperti warga lain dari berbagai kampung di Kepulauan Maluku dan Indonesia yang dirampas hak tenurialnya oleh negara, sehingga kami mendesak agar Anton dilepas dan dipulihkan dari sangkaan makar,” ujarnya.
Kekerasan Seksual dan Pembunuhan di Papua
Ronal, aktivis Aksi Kamisan asal Papua bilang situasi hari ini di Papua sudah memasuki masa Genosida, yaitu pemusnahan ras secara terstruktur.
“Kemarin kita telah mengetahui, situasi di Kabupaten Yahukimo bahwa ada dua orang mama Yahukimo pergi ke kebun, tidak melakukan makar tidak melakukan separatis, tetapi dengan tujuan untuk mengambil Kasbi atau ubi. Tetapi mereka diperkosa,” terangnya.
Dalam laporan media, kejadian ini terjadi pada 11 Oktober 2023 lalu. Dua perempuan di Kabupaten Yahukimo, Provinsi Papua Pegunungan, berinisial AK dan IS alami penganiayaan dan dugaan kekerasan seksual saat pergi ke kebun.
AK diketahui tewas di tempat kejadian. Sedangkan IS sempat dilarikan ke rumah sakit dengan sekujur tubuh penuh luka tusukan. Namun akhirnya tidak bertahan lama dan meninggal dunia. Korban IS dan AK diduga diperkosa, hingga tubuhnya dicabik dan kemaluannya ditusuk benda tajam.
“Ini adalah bentuk tindakan penistaan terhadap kemanusiaan, seolah nyawa rakyat Papua tidak ada harganya sama sekali,” tegasnya.
Ronal mengutuk dan mendesak agar kasus ini segera diusut tuntas. Kejadian ini juga menambah daftar panjang kasus pembunuhan dan kekerasan seksual terhadap perempuan Papua. Ia berharap agar investigasi dilakukan secara transparan agar tidak menyudutkan kelompok-kelompok tertentu, melainkan menangkap dan mengadili pelaku sebenarnya.
Reporter: Adrian M Djauna
Editor: Darman Lasaidi