LPM Aspirasi -- “Tolak penggusuran Kalumata!” kata salah satu orator massa aksi kamisan di depan Tugu Makugawene, Kelurahan Kalumata, Ternate Selatan, pada Kamis (5/10/2023). Aksi ini sekaligus solidaritas memperingati satu tahun tragedi Kanjuruhan, yang menewaskan 153 suporter klub sepak bola Arema Malang, Jawa Timur.
Aksi yang identik dengan atribut serta busana serba hitam ini dimulai sekira pukul 15.30 WIT. Mereka menolak rencana penggusuran rumah warga Kalumata, serta menganggap tragedi Kanjuruhan sebagai kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).
Amin Yasin, peserta aksi mengatakan problem kemanusiaan di Indonesia hari ini terus berlangsung. Termaksud menyasar warga Kalumata, Kota Ternate. Mereka terancam digusur dari tanah dan rumah yang mereka tempati sejak berpuluh-puluh tahun lamanya secara turun- temurun.
“Kekerasan berwujud perampasan tanah ini dilakukan oleh seorang anggota TNI yang bernama Juarno dengan berdasarkan Egeindom (hak kepemilikan tanah) yang dipegang olehnya,“ ungkapnya.
Kasus ini bermula pada tahun 2016, seorang TNI bernama Juharno mengklaim tanah seluas 1,5 HA di Kelurahan Kalumata, Ternate Selatan. Namun ditentang ahli waris almarhum Buka (pemilik lahan) yang menolak keras tindakan itu dengan berpegang teguh, jika status tanah itu merupakan tanah adat pemberian Sultan dan sudah ditempati puluhan tahun.
Secara legalitas atau historis, Tulilamo (Sekertaris) Kesultanan Ternate, Ilyas Bayau, dalam laporan media mengatakan lahan di Kalumata ini secara umum diketahui merupakan tanah adat.
Pada tahun 1959, Kesultanan Ternate melalui Iskandar Djabir M. Sjah, memberikan sebidang tanah perkebunan kepada alm. Buka atas pengabdiannya sebagai Jogugu (Perdana Menteri) Loloda Kesultanan Ternate.
Pemberian tanah ini tertera dalam surat yang disebut Cucatu (Surat Tanah dalam Kesultanan Ternate), akan tetapi dalam waktu yang lama surat tersebut telah hilang. Kemudian pada 1996, surat itu dibuatkan lagi oleh Mudaffar Sjah yang saat itu menjabat sebagai sultan. Surat yang dibuat dilengkapi dengan stempel sah Kesultanan Ternate beserta tanda tangan Mudaffar Sjah.
Pada tahun 1978, Juharno membuat sertifikat Hak Milik Atas Tanah (SHM) No 229 Tahun 1978 atas namanya. Joharno berdalih tanah itu merupakan tanah negara bekas swapraja/eigendom sesuai SK Panitia Landreform No.06/PL7TRT/78 tanggal 10 Mei 1978, kemudian diproses dengan SK Gubernur No.89/HM/PL7TRT/78 tanggal 1 Desember 1978: Juharno yang diserahkan kepada Dandim 1501 Maluku Utara untuk Anggota Perwira ABRI yang bertugas saat itu sehingga terbitlah SHM Nomor 229 atas nama Juharno.
Atas dasar itu, Juharno menggugat ahli waris alm. Buka yang telah puluhan tahun menempati tanah itu ke Pengadilan Negeri Ternate. Setelah tuntutan oleh Juharno di Pengadilan Negeri Ternate, gelar perkara pertama pun dilakukan dengan perkara Nomor, 34/Pdt.G/2017/PN.Tte dan dimenangkan Juharno.
Amin bilang, yang mau menggusur warga Kalumata hari ini seperti orang yang tidak punya rasa kemanusiaan sedikitpun karena mengusir manusia dari ruang-ruang hidupnya.
Tragedi Kanjuruhan Malang
Tragedi Kanjuruhan terjadi pada 1 Oktober 2022 di Stadion Kanjuruhan Malang, Jawa Timur. Kerusuhan meletus usai pertandingan antara klub bola Arema FC yang kalah 2-3 melawan Persebaya, Surabaya. Sebanyak 135 nyawa melayang dalam Tragedi ini.
Kejadian bermula setelah peluit panjang atau pertandingan berakhir, suporter Arema FC masuk ke dalam lapangan. Hal ini membuat petugas keamanan bersiap mengevakuasi para pemain kedua tim.
Situasi memanas ketika aparat kepolisian menembakkan gas air mata ke tribune penonton. Chaos tak bisa dielakkan. Penonton dilanda kepanikan.
Riuhnya penonton yang berhamburan keluar stadion membuat akses terhambat. Ironis, hanya beberapa pintu keluar stadion yang dibuka. Hal itu membuat massa menumpuk dan terjebak di pintu gerbang stadion. Petaka pun datang. Suporter yang saling berdesakan diperparah dengan asap gas air mata yang ditembakkan ke arah tribune. Banyak penonton bergelimpangan karena sesak napas. Asap gas air mata juga membuat beberapa orang mengalami masalah pada pengelihatan, selain pernapasan yang sudah pasti terganggu.
Tak tanggung-tanggung, Tragedi Kanjuruhan langsung menjadi bencana paling mengerikan kedua di dunia dalam sepak bola, setelah tragedi di Peru pada 1964 yang menewaskan 318 orang.
“Kami menuntut negara harus mengusut tragedi Kanjuruhan, karena ini bagian dari pelanggaran hak asasi manusia,” ungkap Irawati Harun, massa aksi saat berorasi.
Kata Irawati, negara harus menetapkan tragedi Kanjuruhan sebagai kasus pelanggaran HAM berat yang di lakukan oleh negara dan kaki tangannya.
“Genap satu tahun tragedi Kanjuruhan. Ini waktu yang cukup untuk kita memahami bahwa negara memang tidak dalam keadaan untuk mengurusi ihwal kemanusiaan,” ungkap Irawati.
Menurut Irawati, negara, diluar itu semua, yakni dengan memaksakan kekuasaan terhadap rakyatnya melalui kepatuhan absolut. Tidak peduli derita yang dialami rakyat.
“Dalam hal ini kita meyakini bahwa, polisi pembunuh adalah benar dengan tidak menyampingkan setiap kekerasan yang menimpa rakyat,” Tutur Irawati.
Reporter: Ardian M. Djauna
Editor: Darman Lasaidi