Oleh: Ronald Kinho*
SEBULAN TERAKHIR, serangan Zionis Israel tehadap bangsa Palestina telah menelan belasan ribu warga sipil. Serangan ini dilakukan dengan dalih membela diri setelah Hamas, Pasukan Palestina melakukan serangan pada 7 Oktober lalu ke Israel.
Serangan Zionis Israel terhadap Palestina sebenarnya sudah berlangsung lama, terstruktur dan sistematis. Selain itu Israel didukung sebagian bangsa-bangsa Eropa dan Amerika dalam upaya menguasai tanah Palestina.
Penjajahan ini, jelas tidak terlepas dari kepentingan imperialisme global. Ya, suatu sistem yang ingin menancapkan kekuasaan hegemoninya secara ekonomi-politik pada negara-negara lain yang jadi objek eksploitasi. Tujuannya untuk memasifkan akumulasi modal.
Ada kepentingan Amerika Serikat dan sekutunya melalui Nato. Mereka ingin mengkonsolidasi posisi di middle east atau timur tengah.
Perjanjian Balfour
Kita bisa telisik dari awal pembentukan Negara Israel yang diinisiasi seorang bangkir (kapitalis) Yahudi, Lionel Walter Rotschild dan para pemimpin zionis lainnya seperti Chaim Weizman dan Teodor Herzl yang bekerja sama dengan kanselir (perdana mentri) Inggris Sir Arthour Balfour. Mereka membuat suatu deklarasi pada 2 November 1917 dengan berisi 67 kata.
Perjanjian ini kemudian dikenal dengan perjanjian Balfour. Isinya terkait pembentukan rumah nasional untuk entitas Yahudi secara global. Perjanjian kemudian menjadi legitimasi bagi pendirian Negara Israel dan pengiriman ribuan kaum Yahudi ke tanah Palestina untuk mendirikan pemukiman-pemukiman mereka di sana.
Deklarasi Balfour menjadi dalang dibalik semua ini. Pemicu pendudukan berkepanjangan yang dilakukan Zionis Israel terhadap Palestina. Hingga saat ini agresi militer itu telah menelan korban puluhan bahkan ratusan juta jiwa warga palestina.
Awalnya, Rotschild membuat sebuah kontrak dengan Parlemen Inggris. Dia bersedia mendanai Inggris untuk terjun dalam perang dunia pertama. Imbalannya Inggris harus memberikan wilayah Palestina untuk didirikan Negara Israel. Hasilnya setelah Inggris dan Prancis mengalahkan Turki Utsmani pada perang dunia pertama di Timur Tengah, Palestina —yang semula dikuasai oleh Turki— di bagi menjadi dua wilayah kekuasaan, yakni Prancis dan Inggris berdasarkan perjanjian Sykes-Picot.
Pada perjanjian inilah Inggris memperoleh Palestina sebagai wilayah kekuasaannya. Setelah Palestina dikuasai oleh Inggris, Rotschild lalu menagih janjinya dengan parlemen Inggris. Wilayah itu harus diserahkan untuk didirikan rumah bagi bangsa Yahudi.
Permintaan itu direspon Kanselir Inggris, Sir Arthur Balfour dengan membuat deklarasi Balfaour yang secara tidak langsung menyerahkan wilayah Palestina, wilayah kekuasaan Inggris ke tangan para zionis untuk mendirikan Negara Israel.
Terlepas dari hal ini, kita perlu tahu, zionisme sendiri merupakan gerakan nasionalis Yahudi Internasional yang menginginkan pendirian Negara Israel sebagai rumah bagi etnis Yahudi. Gerakan ini muncul di Eropa tengah dan timur pada akhir abad 19. Mereka menyerukan kepada orang-orang Yahudi untuk bermigrasi ke tanah Palestina dengan tujuan kembali kepada tanah nenek moyang mereka (Eretz Israel) dan menghasilkan masyarakat ekslusif murni Yahudi untuk membebaskan diri dari Antisemitisme dan penganiayaan yang terjadi kepada mereka.
Campur Tangan Nato Dan Amerika dalam Pendirian Negara Israel
Pada tanggal 14 Mei 1948, David Ben-Gurion, kepala Badan Yahudi, memproklamirkan berdirinya Negara Israel. Presiden AS Harry S. Truman mengakui negara baru tersebut pada hari yang sama.
Meskipun Amerika Serikat mendukung Deklarasi Balfour tahun 1917, terkait pembentukan rumah nasional Yahudi di Palestina, namun Presiden Franklin D. Roosevelt telah meyakinkan negara-negara Arab pada tahun 1945. Dia mengungkapkan Amerika Serikat tidak akan melakukan intervensi tanpa berkonsultasi dengan pihak Yahudi dan Arab.
Inggris yang memegang mandat kolonial atas Palestina hingga Mei 1948, menentang pembentukan negara Yahudi dan negara Arab di Palestina, serta imigrasi pengungsi Yahudi tanpa batas ke wilayah tersebut. Inggris ingin menjaga hubungan baik dengan negara-negara Arab untuk melindungi kepentingan politik dan ekonomi vitalnya di Palestina.
Segera setelah Presiden Truman menjabat, ia menunjuk beberapa ahli untuk mempelajari masalah Palestina. Pada musim panas 1946, Truman membentuk komite kabinet khusus di bawah kepemimpinan Dr. Henry F. Grady, Asisten Menteri Luar Negeri, yang mengadakan negosiasi dengan komite paralel Inggris untuk membahas masa depan Palestina.
Pada bulan Mei 1946, Truman mengumumkan persetujuannya atas rekomendasi untuk menerima 100.000 pengungsi di Palestina dan pada bulan Oktober secara terbuka menyatakan dukungannya terhadap pembentukan negara Yahudi.
Sepanjang tahun 1947, Komisi Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Palestina mengkaji permasalahan Palestina dan merekomendasikan pembagian Palestina menjadi negara Yahudi dan negara Arab.
Pada tanggal 29 November 1947, PBB mengadopsi Resolusi 181 (juga dikenal sebagai Resolusi Pemisahan). Isinya berkaitan dengan mandat Inggris yang membagi Palestina menjadi negara Yahudi dan Arab. Hal ini dilakukan sebelum mandat itu berakhir pada bulan Mei 1948. Berdasarkan resolusi tersebut, kawasan penting keagamaan di sekitar Yerusalem akan tetap menjadi corpus separatum di bawah kendali internasional yang dikelola oleh PBB.
Amerika Serikat mendukung Resolusi 181, namun Departemen Luar Negeri negara itu justru merekomendasikan pembentukan perwalian PBB. Mereka ingin pembatasan imigrasi Yahudi dan pembagian Palestina menjadi provinsi-provinsi Yahudi dan Arab yang terpisah, tetapi bukan negara bagian.
AS melakukan ini karena takut kemungkinan meningkatnya peran Soviet di dunia Arab. Ketakutan ini didasari ketakutan akan potensi pembatasan pasokan minyak oleh negara-negara penghasil minyak Arab ke Amerika Serikat. Departemen luar negeri AS kemudian menyarankan agar negaranya tidak melakukan intervensi atas nama orang-orang Yahudi.
Belakangan, ketika tanggal keberangkatan Inggris dari Palestina semakin dekat, departemen luar negeri AS semakin khawatir tentang kemungkinan perang habis-habisan di Palestina. Hal ini karena negara-negara Arab mengancam akan menyerang segera setelah PBB mengeluarkan resolusi pembagian.
Meskipun konflik orang Yahudi Israel dan orang Arab Palestina meningkat, dan meskipun Departemen Luar Negeri AS mendukung adanya perwalian, Truman akhirnya memutuskan untuk mengakui negara Israel.
Penjajahan Bangsa Israel Terhadap Bangsa Palestina
Dari sejarah terbentuknya Negara Israel, kita dapat menyimpulkan jika Negara Zionis Israel merupakan proyek negara-negara Eropa dan Amerika untuk mengkonsolidasi posisi mereka di timur tengah.
Bahkan Antoni Blinken, saat menjabat Menteri Luar Negeri AS mengatakan jika Israel lenyap karena perang, mereka akan membuat Israel yang baru lagi. Statemen ini sudah jelas mengindikasikan pendirian Israel didorong oleh kepentingan hegemoni imperialisme barat (Amerika serikat dan negera-negara eropa) untuk mengkonsolidasikan posisi mereka di middle east.
Pembentukan negara ini, karena Amerika Serikat dan negara-negara Eropa tidak mungkin terjun langsung melakukan okupasi dan invasi militer karena posisi mereka sebagai keanggotaan dewan keamanan PBB. Maka yang ditugaskan menjembatani okupasi terselubung ini, siapa lagi kalau bukan Zionis Israel, kacung Amerika.
Persoalan ini makin jelas setelah serangan 7 Oktober, dua hari setelah penembakan rudal Hamas yang menembus iron dome atau system pertahanan anti rudal Israel —yang menyebabkan ratusan ribu warga sipil di Israel menjadi korban— Amerika dengan sigap langsung menurunkan kapal perang nuklir dan bantuan alutsista ke Israel untuk menyerang Hamas serta rakyat Palestina.
Serangan dengan dalih membela diri dan ditujukan untuk membunuh pejuang Hamas, nyatanya membunuh warga sipil. Serangan berkepanjangan membunuh lebih dari 11.000 warga sipil, baik orang dewasa maupun anak-anak.
Serangan Zionis Israel ke Palestina (Gaza dan West Bank) jelas upaya genosida atau pemusnahan ras karena penggunaan kekuatan senjata berlebihan (over power) seperti bom fosfor putih, artileri, bahkan di dorong kearah penggunaan bom nuklir.
Dari konflik ini, secara garis politik, kita melihat Palestina merupakan wilayah yang dijajah oleh Israel dan didukung imperialisme barat untuk kepentingan ekonomi-politik. Ini mendorong terjadinya pendudukan berkepanjangan dan menyebabkan banyak korban jiwa berjatuhan.
Mengakhiri tulisan ini, sebagai anak Papua, saya lahir dan besar dalam konflik berkepanjangan. Pun juga terindikasi hal yang sama, pendudukan dan genosida. Sehingga perlu untuk bersolidaritas mengecam dan melawan segala bentuk penindasan manusia yang satu terhadap manusia yang lain. Bangsa yang satu terhadap bangsa yang lain.
Solidaritas perlu terus digaungkan untuk Palestina demi merebut kemerdekaan sejati. From the river to the sea, Palestina will be free! []
*Penulis merupakan anggota Aliansi Mahasiswa Papua-Kota Ternate.
Redaksi LPM Aspirasi menerima kontribusi berupa artikel yang dapat dikirimkan kontributor, syarat dan ketentuannya bisa baca di sini.