Massa aksi saat berada di depan gedung DPR, Ibu Kota Provinsi Maluku Utara, Tidore Kepulauan pada Kamis (19/12/2023). Foto: Hasan Azan/LPM Aspirasi. |
LPM Aspirasi--Sejumlah mahasiswa menggelar unjuk rasa di depan kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), Ibu Kota Provinsi Maluku Utara, di Kota Sofifi, Tidore Kepulauan pada Kamis (19/12/2023).
Massa gabungan dari Universitas Khairun (Unkhair) Ternate, Universitas Bumi Hijrah (Unibra) Sofifi dan beberapa organisasi ekstra ini, menolak pengesahan Rancangan Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Maluku Utara menjadi peraturan daerah.
Aksi dimulai sekira pukul 10.00 WIT. Massa menilai revisi RTRW Maluku Utara hanya akan menguntungkan pemodal, terutama industri ekstaktif untuk merampas ruang hidup masyarakat Maluku Utara. Keyakinan ini karena revisi RTRW minim partisipasi publik dan dokumennya tidak dapat diakses.
Risdian Kayang, Koordinator aksi mengatakan revisi RTRW Maluku Utara sudah berlangsung sejak 2019 namun tertunda akibat covid-19. Tetapi tidak ada pemberitahuan pembahasan lanjutan, tiba-tiba dokumen ini akan disahkan 19 desember 2023. Ini proses pengesahan terselubung.
“Proses perumusan yang terselubung mengindikasikan kalau revisi RTRW adalah pesanan industri atas kepentingan korporat,” tegasnya.
Sebelumnya, dalam laporan media proses revisi RTRW ini dimulai sejak tahun 2019. Akan tetapi proses terhenti akibat Covid-19. Kemudian muncul Omnibus Law pada tahun 2020.
Sejumlah aparat kepolisian saat berjaga di depan kantor DPRD Provinsi Maluku Utara. Foto: Hasan Azan/LPM Aspirasi. |
Munculnya Omnibus Law memaksa dokumen Rancangan RTRW kembali ditunda, karena dianggap perlu diselaraskan dengan dokumen Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K).
Proses integrasi itu juga, kemudian ditunda karena harus menunggu penyusunan RZWP3K yang baru diselesaikan pada November 2022 lalu.
Setelah integrasi RZWP3K, proses berlanjut ke tahapan sinkronisasi dengan dokumen Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS).
Dalam laporan yang sama, disebutkan, ada penambahan pulau-pulau baru yang belum terdeteksi sebelumnya untuk masuk dalam RTRW. Data lama mencantumkan hanya ada 805 pulau, sedangkan data terbaru dari BIG menyatakan ada 1.080 pulau di Maluku Utara, sebagian besar di Halmahera Selatan.
“Penambahan pulau-pulau ini disinyalir untuk kepentingan korporasi, sehingga ditakutkan makin banyak industri pertambangan dan makin mengancam kehidupan masyarakat,” duganya.
Dari pantauan LPM Aspirasi, aksi sempat memanas, terjadi saling dorong antara massa dan pihak keamanan. Hal ini dipicu kekecewaan karena tidak ada anggota DPRD Maluku Utara yang menemui mereka.
Al, salah satu massa aksi bilang, seorang petugas Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) membenarkan jika anggota DPRD tidak sedang berada dalam kantor.
“Menurut keterangan petugas Satpol, anggota DPRD sudah tidak berkantor sejak beberapa waktu belakangan sampai hari ini, entah mungkin kampanye pencalonan diri, atau apa, mereka tidak tahu entah apa,” ungkapnya.
Kata dia, petugas itu juga menambahkan akan ada rapat paripurna tentang RTRW dalam minggu ini, namun waktunya belum ditentukan dan untuk hari ini belum ada.
Aksi ini sendiri berakhir dibubarkan oleh gabungan Kepolisian dan Satpol PP. Massa hendak bertahan dan mendesak petugas agar menghadirikan anggota DPRD untuk melakukan hering.
“Permintaan itu tidak diindahkan petugas. Mereka malah melakukan pembubaran paksa, beberapa massa hendak ditangkap, lalu di intimidasi,” ungap Al, salah satu massa aksi.
Reporter Magang: Ismardani Wambes
Editor: Susi H. Bangsa