LPM Aspirasi -- Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Komite Kota Ternate dan Pusat Perjuangan Mahasiswa untuk Pembebasan Nasional (Pembebasan) Kolektif Kota Ternate menggelar diskusi bertajuk “Pemilu 2024 untuk Siapa?” pada Minggu (10/12/2023) di Gazebo, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Khairun (Unkhair), Kampus I Kelurahan Akehuda, Kota Ternate.
Agenda yang dimulai sekira pukul 15.00 WIT itu, digelar dalam rangka merespon 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16 HAKtP). Diskusi ini juga bertepatan dengan hari Hak Asasi Manusia (HAM).
Dalam kesempatan itu, Junaidi Marsaoly dari organisasi Pusat Perjuangan Mahasiswa untuk Pembebasan Nasional (Pembebasan) Wilayah Maluku Utara, Ancelina Degey dari Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Komite Kota Ternate dan Rahayu Robo, dari organisasi Pembebasan Kolektif Kota Ternate, sebagai pembicara.
Diskusi ini membicarakan pemilihan umum (pemilu) 2024 dan penindasan terhadap kaum perempuan. Karena perjuangan perempuan selama ini luput dari pembahasan saat pemilu borjuis diselenggarakan. Misalnya kasus pelecehan dan kekerasan terhadap perempuan, dan persoalan-persoalan lain yang berkaitan dengan perjuangan perempuan.
Junaidi Masaoly mengatakan pemilu 2024 merupakan ajang para kelas penguasa berbagi kekuasaan. Tidak adanya keterlibatan masyarakat secara aktif dalam kontestasi. Melainkan hanya punya peran tidak lebih sebagai pemilih saja.
“Tidak ada keterlibatan rakyat secara aktif melainkan sederet angka yang disebut sebagai pemilih. Sehingga ajang ini hanya ajang untuk mempertahankan atau memindahkan kekuasaan di antara para penindas," ungkapnya.
Padahal, kata dia, masyarakat lah yang sebenarnya memegang peranan paling penting dalam menentukan representasi serta arah kebijakan ekonomi dan politiknya sendiri.
Bagi mahasiswa yang akrab disapa Junet itu, pemilu berhasil jadi senjata ampuh bagi para elite politik untuk menaklukkan masyarakat miskin. Rakyat miskin dilihat tidak lebih dari sebuah selembar kertas yang akan mengisi kotak suara. Para elite politik hanya akan sibuk memastikan kampanyenya berjalan dan memastikan saingannya tidak melampauinya.
"Inilah yang dinamakan pemilu borjuasi. Tidak ada ruang bagi kelompok miskin dalam pemilu semacam ini," tambahnya.
Jenet menambahkan, kita dipaksa melihat pergerakan partai politik (parpol) yang sedang menyambut Pemilu 2024. Baik parpol maupun elite nasional telah menyiapkan berbagai hal termaksud koalisi baru. Mereka juga telah mendeklarasikan bakal calon presiden. Kekuatan aliansi bisnis dan politik telah menutup rapat kesempatan calon presiden untuk maju tanpa dukungan mereka.
“Politik Indonesia memang telah berubah setelah Orde Baru (Orba) tumbang, namun wujud aliansi kekuasaannya tetap sama,“ terangnya.
Politik pasca-Orba telah membuka kotak pandora yang selama puluhan tahun dikunci rapat oleh rezim Soeharto, yakni terdistribusi kekuasaan di berbagai ruang politik, tak terkecuali di tubuh parpol.
Parpol yang berkembang selama periode ini hasil aliansi bisnis dan politik, yang menjadi bagian dari proses akumulasi kekuasaan-kapital. Fakta tersebut terlihat dari relasi-relasi di dalam parpol dengan kekuatan kelas borjuasi. Aliansi bisnis dan politik makin kuat dan mendominasi parpol hari ini.
“Realitas politik kepartaian telah menunjukkan ingkarnya janji-janji Reformasi. Warga negara dihadapkan pada harapan kosong atas perubahan politik yang lebih baik pasca-krisis,“ sambung Junet.
Demokratisasi yang disuntikkan melalui agenda ekonomi neoliberal pasca-krisis ekonomi Asia (1997) nyatanya tidak membuat corak kekuasaan kita berubah secara substansial.
Lembaga-lembaga baru, termasuk rezim elektoralnya, hanya membuat terdistribusi nya kekuasaan lama ke medium baru, tak terkecuali parpol. Parpol yang seharusnya menjadi wadah perjuangan politik warga negara lagi-lagi dikuasai kekuatan lama, yakni oligarki.
“Dari fakta tersebut, kita patut skeptis terhadap janji perubahan melalui proses elektoral,” imbuhnya.
Kapitalis dan Penindasan Perempuan Papua
Sementara itu, Ancelina Dagey bilang perempuan Papua makin hari kian tercekik dan hampir tidak berdaya serta tidak lagi bebas mengekspresikan dirinya sebagai manusia. Satu sisi, akibat budaya turun-temurun yang kental seksisme, dan di sisi lain, akibat masuknya kebudayaan baru oleh kapitalisme-kolonialisme.
“Pemilu 2024 ini jelas dimotori kepentingan kapitalisme dan itu akan semakin mengancam torang orang asli Papua, terutama perempuan Papua,” ujar perempuan yang sering disapa Anna itu.
Tanah Papua yang kaya pastinya akan menjadi satu dari berbagai daerah yang jadi proposal tawar-menawar dalam politik 2024. Karena Papua jadi primadona kapitalis untuk membangun kekuasaan modalnya. Ini ancaman bagi Orang Asli Papua (OAP), termaksud perempuan Papua.
Bagi dia masuknya kapitalisme dan kolonialisme selain menyempurnakan tradisi yang sudah lebih dulu berkembang, juga melahirkan bentuk-bentuk penindasan baru terhadap perempuan Papua.
Kolonialisme Belanda misalnya, dalam rangka mengeksploitasi kekayaan alam Papua, agama dikampanyekan untuk meninabobokan rakyat, dibuat sebagai kebenaran tunggal, dan dibuatlah penafsiran untuk menempatkan perempuan sebagai makhluk nomor dua, hanya sebagai pelayan suami, kemudian dibenarkan dan dipraktikkan sejak saat itu hingga kehidupan modern ini.
“Selepas kekuasaan imperialis Belanda dan pencaplokan Indonesia terhadap West Papua, penindasan terhadap rakyat Papua kian meningkat, termasuk juga penindasan terhadap kaum perempuan Papua,“ ujar anggota Aliansi Mahasiswa Papua itu.
Operasi-operasi militer Indonesia untuk memaksa West Papua bergabung dengan Indonesia telah melakukan kekerasan baru terhadap orang-orang Papua, termasuk ke perempuan Papua.
Kata Anna, begitu juga laporan The Good Time to Talk pada Mei 2021, malaporkan pada bulan Maret 1978, militer Indonesia melakukan perbudakan seks terhadap empat perempuan dari desa Piramid mereka dijadikan sebagai budak seks militer Indonesia selama satu bulan, dan kemudian militer Indonesia memasukkan baterai kering ke dalam vagina perempuan Papua itu sebelum kembali ke desa.
Laporan yang sama juga melaporkan, pada Juni 1978 militer memperkosa lalu menembak enam perempuan Papua dan kemudian mengisi vagina mereka dengan daun ubi jalar dan daun buah merah.
Selain kekerasan oleh militer, negara kapitalis republik Indonesia juga mewarisi-melanggengkan seksisme dan rasisme kulit putih, termasuk menerapkannya ke kaum perempuan Papua.
Supremasi kulit putih, meskipun tidak secara terang-terangan menjunjung mitos keunggulan kaukasia atau preferensi kulit kaukasia, namun juga mencekokkan konsep tubuh dan kecantikan yang lebih menghendaki kulit cerah atau putih, rambut lurus, badan langsing, dan semacamnya.
“Kapitalisme mendorong perempuan merasa gelisah dengan tubuhnya agar bisa menjual komoditas yang dipasarkannya seolah-olah sebagai jalan keluar kegelisahan itu,” tandas Anna.
Dengan pelurus rambut, pencerah kulit, dan semacamnya. Kata Anna, ciri-ciri fisik perempuan Melanesia yang alami kurang dikehendaki. Jarang diberi tempat di media, pun bilamana disorot sering kali perempuan Papua (dan juga laki-laki Papua) dipakai sebagai bahan tertawaan.
“Kapitalisme Indonesia maupun kapitalisme global atau imperialisme yang wataknya rakus juga menghancurkan alam dan merusak lingkungan, ini juga mengancam kehidupan orang Papua, termaksud menghacurkan penghidupan mama-mama Papua,” Tegasnya.
Sehingga kata Anna, orang Papua butuh solusi paling demokratis untuk masa depan mereka.
Penyingkiran dan Upaya Pembebasan Perempuan
Rahayu Robo bilang, dalam sejarahnya penyingkiran kaum perempuan terjadi ketika peralihan kerja dari berburu ke pertanian. Sistem produksi bahan makanan yang awalnya dikerjakan secara komunal perlahan dikerjakan perorangan setelah makin berkembangnya teknologi.
“Perubahan ini juga berimbas pada perubahan unit pengaturan masyarakat. Jika tadinya unit pengaturan masyarakat yang terkecil adalah suku maka muncul sebuah lembaga baru, yakni keluarga,” ungkap Ayu, sapaan akrabnya.
Penempatan perempuan pada posisi kelas kedua dalam masyarakat berawal dari tergesernya peranan kaum perempuan dalam lapangan produksi. Dan, pada gilirannya, tergesernya peran ini akibat dari tingkatan teknologi masa lalu yang tidak memungkinkan kaum perempuan untuk memasuki lapangan produksi.
Menurut Ayu, karena ketertindasan perempuan berawal dari sebuah perjalanan sejarah yang objektif, maka upaya pembebasan perempuan dari posisi yang ditempatinya sekarang ini harus pula menemukan kondisi objektif yang memungkinkan dilakukannya pembebasan tersebut.
Kondisi saat ini, kapitalisme telah mengembalikan perempuan ke produksi kolektif. Memungkinkan perempuan kembali berkarya di bidang produksi kebutuhan masyarakat.
“Bahkan, sekarang ini, jika kita melihat sudah jarang sekali ada kaum perempuan yang tidak memberikan sumbangan bagi perolehan kebutuhan hidup keluarganya. Lagipula, kapitalisme telah membuat sistem produksi menjadi semakin lama semakin kolektif,” ungkapnya.
Ayu melanjutkan, kita dapat lihat perkembangan kondisi objektif telah menghasilkan ruang yang sangat terbuka bagi perempuan. Gerakan emansipasi perempuan telah berkembang bersamaan dengan masuknya perempuan-perempuan ke pabrik-pabrik. Kini perempuan telah berhak turut serta dalam berbagai bidang pekerjaan. Kebanyakan perempuan juga telah bebas untuk memilih jalan hidupnya sendiri, termaksud calon legislatif di tahun 2024 ini.
Namun demikian, kondisi objektif ini tidak dapat berkembang menjadi pembebasan perempuan yang sepenuh-penuhnya karena sistem nilai yang ada di tengah masyarakat masih merupakan sistem nilai yang mendukung adanya peminggiran terhadap peran perempuan.
“Masuknya perempuan ke parlemen tidak bisa menjadi jawaban atas apa yang kita perjuangkan. Atau menganggap mereka yang ada di parlemen sebagai hasil akhir dari perjuangan perempuan,” ketusnya.
Dia menjelaskan, sudah banyak pemimpin perempuan di Indonesia. Namun, Ayu mempertanyakan berapa banyak dari mereka yang berjuang untuk membebaskan kaum perempuan dari ke-terpinggir-an dan keterbelakangan.
“Banyak juga manajer dan direktur perempuan di dalam perusahaan-perusahaan, tapi berapa banyak dari mereka yang berjuang agar buruh-buruh perempuan di pabriknya mendapatkan seluruh hak mereka sebagai perempuan?” tanyanya
Contoh paling kongkrit, kata dia, kala Megawati jadi presiden. Dia punya kekuasaan namun sampai saat ini tidak satupun konvensi PBB yang memberikan perlindungan terhadap perempuan yang diratifikasi oleh Indonesia. Padahal, tindakan meratifikasi konvensi PBB termasuk langkah politik yang moderat. Ia juga telah memotong berbagai subsidi barang-barang kebutuhan hidup.
“Pemotongan subsidi ini pasti memukul langsung nasib kaum perempuan Indonesia yang sampai saat ini masih terus terbelit dalam kungkungan tembok-tembok domestik,” tandasnya.
Oleh karena itu, perjuangan pembebasan terhadap perempuan tidaklah dapat dilepaskan dari perjuangan untuk mengubah kendali atas proses produksi (dan hasil-hasilnya) dari tangan perorangan (pribadi) ke tangan masyarakat (sosial).
Sebaliknya, pengalihan kendali ini tidak akan berhasil jika kaum perempuan belum terbebaskan. Tidak mungkin membuat satu pengendalian produksi (dan pembagian hasilnya) secara sosial jika kaum perempuan, yang mencakup setidaknya setengah dari jumlah umat manusia, tidaklah terlibat dalam pengendalian itu.
Ayu menegaskan, perjuangan pembebasan perempuan akan berhasil dengan sempurna jika ia disatukan dengan perjuangan untuk mencapai sosialisme, dan perjuangan untuk sosialisme akan juga berhasil dengan sempurna jika perjuangan ini menempatkan pembebasan perempuan sebagai salah satu tujuan utamanya.
“Kedua perjuangan ini tidak boleh dipisahkan, atau yang satu didahulukan daripada yang lain. Keduanya harus berjalan bersamaan dan saling mengisi,” ungkap mahasiswa itu.
Kata dia, hanya dengan demikianlah kaum perempuan akan dapat dikembalikan pada posisi terhormat dalam masyarakat - sejajar dengan laki-laki dalam segala bidang kehidupan, ekonomi, sosial dan politik.
“Sehingga Pemilu 2024 tidak bisa menjadi solusi karena disokong kepentingan borjuis nasional dan kapitalis global,” tegas Ayu.
Reporter: Sukriyanto Safar
Editor: Darman Lasaidi