Massa aksi saat melakukan orasi di depan kantor Walikota Ternate, jalan Pahlawan Revolusi pada Rabu (1/5/2024). Foto: Sukriyanto Safar/LPM Aspirasi. |
LPM Aspirasi -- Demonstrasi peringati Hari Buruh Internasional atau May Day digelar di kota Ternate pada Rabu (1/5/2024). Gabungan organisasi mahasiswa ini mengatasnamakan Komite Mei Berlawan (KMB). Mereka menyuarakan berbagai persoalan buruh dan rakyat dengan membentangkan spanduk bertuliskan “Perkuat Konsolidasi Gerakan Rakyat, Lawan Kapitalis-Neolib, dan Bangun Kekuatan Politik Alternatif”.
Dalam pantauan, aksi digelar long march dari Dodoku Ali, Soa Sio, Ternate Utara, hingga Landmark, Jalan Pahlawan Revolusi, Muhajirin, Ternate Tengah, Kota Ternate.
Massa menilai ekonomi politik negara saat ini mengarah pada sistem kapitalisme. Alhasil, berbagai aspek, mulai dari kesejahteraan buruh dan rakyat, hingga persoalan kecil terkait hajat hidup orang banyak telah terkapitalisasi dengan masif.
Akibat dari itu, upah buruh murah, ketidakpastian kerja, Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sepihak, dan terkadang dilarang berserikat menjadi beban yang menggerogoti kesejahteraan dan kemerdekaan buruh.
Isra Muhdar, Kordinator aksi mengatakan dalam momentum Mayday kali ini, mereka menyoroti beberapa persoalan mendesak terkait buruh, seperti upah rendah, PHK sepihak bagi buruh kontrak, dan itu menjadi ancaman bagi tenaga kerja buruh hari ini.
“Upah yang didapat masih tergolong rendah untuk memenuhi kebutuhan hidup buruh dan keluarganya, mulai dari biaya makan, anak sekolah dan kebutuhan lainya,” ungkap Isra.
Menurutnya hal ini perlu menjadi pertimbangan, apalagi di area industri biaya tempat tinggal, dan kebutuhan pokok lainnya sangat mahal.
Abdul, salah satu masa aksi juga menilai persoalan upah buruh selama ini tidak memiliki peningkatan. Hal ini juga dipicu sebagian besar buruh di Maluku Utara belum memiliki serikat, sehingga ini mempersulit buruh untuk memperjuangkan hak-haknya.
“Kalaupun misalnya serikat buruh dibentuk, hal itu justru tidak terlepas dari campur tangan perusahan, bukannya memberikan kebebasan bagi buruh, padahal sudah jelas aturan yang melegalkan adanya pembentukan serikat buruh,” tegasnya.
Sehingga momentum Hari Buruh Internasional kali ini, Abdul bilang Komite Aksi Mei Berlawan menyuarakan pentingnya bersolidaritas untuk mencapai kualitas gerakan rakyat tertindas.u
Buruh Perempuan
Massa aksi saat membawa poster tuntutan di depan Pasar Barito pada Rabu (1/5/2024). Foto: Sukriyanto Safar/ LPM Aspirasi |
“Penindasan terhadap buruh nyata adanya, dan paling menderita tentu saja buruh perempuan,” ungkap Anelis, massa aksi.
Dia menilai momentum mayday kali ini juga harus menyuarakan suara buruh perempuan seperti cuti melahirkan yang lebih inklusif tanpa ada diskriminasi di tempat kerja. Cuti tiga bulan menurut UU Ketenagakerjaan sangat tidak relevan. Ibu yang menyusui membutuhkan waktu lebih lama untuk merawat anaknya.
Dilihat dari standar internasional, cuti melahirkan 3 bulan memang masih dibawah standar minimal International Labour Organisation (ILO) yang mengatur bahwa cuti melahirkan setidaknya diberikan dalam jangka waktu 14 minggu. Namun, masalah utama dari ketentuan cuti melahirkan di Indonesia sebenarnya tidak semata soal jangka waktunya, tapi pada penerapannya di lapangan.
Data ILO menunjukkan bahwa kurang dari 10% pekerja perempuan di Indonesia menikmati cuti melahirkan. Hal ini terjadi karena beberapa hal: pertama, banyaknya perempuan yang bekerja di sektor informal yang tidak terlindungi aturan ketenagakerjaan. Kedua, banyaknya perempuan yang bekerja dengan sistem kontrak dan outsourcing yang hubungan kerjanya lebih precarious atau rentan. Ketiga, kurangnya pengawasan di lapangan.
“Di sisi lain harus ada kebijakan pendukungnya karena kemungkinan pemberi kerja makin enggan mempekerjakan pekerja perempuan karena masa cuti yang lama,” tegasnya.
Selain persoalan cuti melahirkan, Anelis bilang persoalan kekerasan seksual di tempat kerja juga marak terjadi. Hal ini perlu jadi perhatian.
“Harusnya sekarang setiap tempat pemberi kerja telah membentuk satgas pencegahan dan penanganan kekerasan seksual sesuai apa yang diwajibkan Kemenaker, serta pengawasannya perlu ditingkatkan,” tandasnya.
Anelis juga mendesak agar RUU PPRT agar segera disahkan, karena aturan itu mendesak. RUU ini krusial untuk melindungi pekerja rumah tangga, yang mayoritas adalah perempuan, dari eksploitasi. Selama ini, ketiadaan payung hukum yang melindungi PRT, menyebabkan mereka berada dalam posisi yang rentan.
“Sudah terlalu banyak kasus penganiayaan dan kekerasan terhadap PRT yang kita baca di media massa,” tegas mahasiswa itu.
Alat Politik Alternatif
Isra bilang, ditengah situasi upah tidak layak, mudahnya PHK sepihak, mahalnya kebutuhan hidup serta berbagai ketidak adilan dan kekerasan berbasis gender, buruh justru tidak punya alat alternatif politik untuk berjuang atau menyuarakan serta pengambil kebijakan untuk memperjuangkan haknya.
“Buruh harus punya alat perjuangan untuk berjuang mendapatkan hak-haknya, salah satunya partai alternatif. Ini perlu di hadirkan, karena akan menjadi tombak perlawan para buruh untuk melawan sistem penindasan yang terus menghisap tenaga kerja mereka,” terangnya.
Salah satu massa aksi saat memegang poster tututan. Foto: Sukriyanto Safar/ LPM Aspirasi. |
Tidak adanya partai dari kalangan buruh ditengah maraknya partai borjuis, kata Isra, melahirkan kebijakan yang timpang, serta tidak berpihak pada kepentingan kelas pekerja. Hal ini sudah marak terjadi, dan yang terbaru mungkin munculnya Omnibus law, yang kemudian disahkan menjadi UU Nomor 11 tahun 2020 tentang cipta kerja.
“Termasuk 49 peraturan turunan dan 45 peraturan pemerintah dan 4 peraturan presiden untuk proyek rencana pembangunan SDM, Investasi, Reformasi, Birokrasi, dan pembangunan APBN,” tegas mahasiswa Fakultas Hukum salah satu perguruan tinggi di Ternate itu.
Ia merasa buruh sudah harus bergerak pada level politik tidak sekadar perjuangan ekonomi. Sebab perjuangan politik kaum buruh dan rakyat bukan hanya berupaya merubah perimbangan kekuatan antara kelompok-kelompok elit di satu sisi, buruh dan rakyat di sisi yang lain, atau merubah beberapa kebijakan yang lebih menguntungkan bagi kebebasan politik dan kesejahteraan kaum buruh dan rakyat.
Kata dia, lebih jauh lagi, sebab perjuangan kaum buruh dan rakyat yang dapat membebaskan buruh dan rakyat itu sendiri sebagai kelompok masyarakat yang tertindas, maupun membebaskan bangsanya dari kekejian ekonomi politik kapitalisme, serta kebengisan militerisme di negeri ini yang menghambat kebebasan politik. Maka kita perlu membangun blok politik buruh dan rakyat.
Partai buruh yang ada, bagi Isra tidak ada bedanya sama partai borjuis hari ini. Mereka masih saja mendukung elit saat ini. Terbaru mereka deklarasikan dukungan terhadap Prabowo - Gibran yang notabenenya bagian dari pemerintahan sebelumnya.
“Tidak ada harapan dengan partai yang ada sekarang, kita perlu membangun partai yang punya prinsip, dan keberpihakan terhadap buruh dan rakyat. Benar-benar blok politik, yang tidak bisa beraliansi atau bekerja sama dengan partai kaki tangan kapitalisme,” tegasnya.
Reporter: Hasan Azan
Editor: Susi H Bangsa